Matahari mulai menyingsing menyelimuti ladang itu seperti selimut tipis dari cahaya lembut dan udara hangat. Aku duduk di rerumputan bersama anak-anak itu. Mereka mulai lebih cair, tak lagi hanya menatap dari jauh. Satu-dua tertawa pelan ketika Ethan mengajakku bermain lempar bunga kering yang jatuh dari pohon randu. Ethan sendiri duduk di sebelahku, mengunyah sesuatu dari kantong bajunya—kelihatannya seperti permen jahe yang entah dari mana ia dapat.
“Kamu masih suka makan itu?” tanyaku geli.
“Rasanya... mengingatkanku sama sore-sore waktu kecil,” jawabnya sambil tersenyum. “Kadang, rasa bisa lebih jujur dari ingatan.”
Aku mengangguk. Kami duduk diam sejenak. Angin membawa suara burung dan desir daun. Salah satu anak, perempuan kecil berambut keriting dan mengenakan gaun kuning pudar, duduk di pangkuanku. Ia tak bicara, hanya menyandarkan kepala di bahuku. Aku mengelus rambutnya perlahan. Lalu satu dari mereka menyodorkan bunga rumput ke tanganku.
“Bagaimana caranya aku bisa bantu dia?” tanyaku pelan. “Anak itu... yang mirip kamu.”
Anak-anak di sekitarku diam. Sebagian menunduk, sebagian menatapku lama, seolah mencari kata. Lalu, salah satu dari mereka—anak laki-laki kurus dengan wajah tertutup daun ilalang, yang sejak tadi duduk memeluk lutut, berdiri —menunjuk ke arah pondok.
Mataku mengikuti arah telunjuknya.
Aku bangkit. Langkahku pelan, nyaris ragu. Tapi ada dorongan aneh yang membuatku membuka kembali pintu bambu itu. Langkahku menuju pondok terasa seperti berjalan ke dalam kenangan. Rerumputan menyentuh betis, suara tanah yang kupijak terdengar jelas. Begitu masuk ke dalam, cahaya matahari masuk lebih terang. Menyusup lewat celah-celah dinding bambu, menari di antara bayangan.
Di sudut ruangan, di bawah lantai bambu yang sedikit terangkat, ada sesuatu yang bersinar.
Aku mendekat. Membungkuk. Mengangkat papan itu perlahan.
Dan di sana...
Sebuah kalung. Liontin batu giok berwarna emerald yang sangat jernih, seolah menyimpan cahaya di dalamnya. Di permukaannya, ada ukiran rumit berwarna keemasan, seperti pola akar dan angin. Kalung itu memantulkan sinar dengan lembut, tapi terasa... kuat. Seperti menyimpan sesuatu yang lebih dari sekadar keindahan.
Aku menelan ludah.
“Aku... ingat ini,” gumamku. “Kita nemu ini waktu main di sungai, kan?”
Ethan mengangguk di pintu pondok. “Beberapa saat sebelum air bah datang.”
Aku menggenggam kalung itu. Tanganku gemetar. Waktu itu kami menemukan benda ini tersangkut di bawah batu besar di dasar sungai. Saat aku mencoba mengangkatnya, suara gemuruh datang dari hulu. Ethan sempat menarik tanganku, tapi arus terlalu cepat. Semua berubah setelah hari itu.
Dan sekarang—kalung itu kembali.
Aku masih menatap liontin itu, ketika sebuah suara menerobos pagi seperti alarm dari dunia lain.
“Bulan! BULAN!”
Aku terlonjak.
Suara ayahku. Keras dan mendesak.
Aku berlari keluar pondok. Dari sela-sela ilalang, kulihat sosoknya berdiri di pematang sawah, napas terengah, wajahnya cemas.
“Ayo cepat! Pakde Raka drop lagi. Kita harus ke rumah sakit sekarang!”
Jantungku berdegup keras. Secepat mungkin aku menghampirinya, kalung itu masih kugenggam erat.
Kami berlari melewati jalan setapak berkerikil, debu menempel di kulit. Saat sampai di rumah Pakde Raka, ambulans sudah terparkir di depan. Ibuku sudah masuk ke dalam mobil, tangannya sempat menjulur ke arahku.
“Kamu di rumah saja ya, Bulan. Temani sepupu-sepupumu. Ibu harus ikut ke rumah sakit.”
Aku hanya mengangguk. Masih terengah. Masih memegang kalung yang kini terasa hangat di tangan.
Dunia magis dan dunia nyata saling bertubrukan pagi itu. Tapi aku tahu... dua-duanya sedang memanggilku. Dan mungkin—untuk bisa menolong yang satu, aku harus berdiri teguh di antara keduanya.
***
Aku masuk pelan ke dalam rumah. Suasana lengang, nyaris kosong. Anak-anak Pakde Raka duduk di ruang tengah, wajah mereka tegang tapi diam. Televisi menyala tanpa suara, memperlihatkan gambar kartun yang seolah tidak ada hubungannya dengan dunia kami saat ini.
Aku duduk di lantai, tak jauh dari mereka. Tanganku masih memegang kalung itu, dan saat kuperhatikan lagi, ukiran pada batu gioknya terlihat begitu... akrab. Garis-garis keemasannya mengalir seperti peta—seperti pola sungai dan akar.
Lalu, tiba-tiba, aku teringat sesuatu.
Aku bangkit, berjalan cepat menuju rak tua di sisi ruang tamu. Di sana, terselip sebuah album foto berdebu, yang sering dilihat Pakde Raka saat sedang duduk sendirian sore-sore. Kubuka perlahan. Lembar demi lembar penuh dengan foto masa mudanya: mahasiswa, gunung, hutan, dan beberapa wajah teman-teman lama.
Dan di halaman keempat, aku menemukannya.
Satu foto usang berwarna sepia. Sebuah potret kelompok mahasiswa KKN di depan sebuah klinik. Di sudut foto, berdiri seorang wanita muda, mengenakan kalung batu giok yang sama persis.
Aku membeku.
Batu itu... sama. Bentuknya, warnanya, bahkan pola emasnya yang berkelok. Tidak mungkin kebetulan.
Wanita itu berdiri agak jauh dari Pakde Raka, tapi tatapannya lurus ke arah kamera. Tatapan tajam, tapi tidak marah. Seperti sedang menyimpan sesuatu. Rahasia, mungkin. Atau luka.
Aku kembali duduk di lantai, menatap kalung ini. Jantungku berdegup perlahan tapi berat, seakan tubuhku sedang bersiap untuk memasuki ruang yang lebih dalam dari sekadar kenangan.
“Siapa kamu?” bisikku, entah pada kalung, entah pada wanita di foto itu.
Salah satu anak Pakde, si bungsu yang belum lama bisa bicara, mendekatiku pelan.
“Kak Bulan...” katanya, sambil menatap kalung itu. “Kalung itu bisa nyala lho kalau malam, ... Tapi cuma kalau rumah ini sepi.”
Aku menoleh cepat. “Kamu pernah lihat?”
Dia mengangguk pelan. “Iya. Waktu listrik mati dan semua tidur... kalung itu kayak... napas.”
Aku diam. Tak tahu harus percaya atau menertawakan imajinasinya. Tapi anak-anak punya mata yang belum ditutup logika.
Saat itulah aku sadar: mungkin kalung ini bukan cuma benda. Mungkin ini adalah kunci.
Dan wanita dalam foto itu—si pemilik kalung—bisa jadi adalah bagian dari kisah yang belum pernah selesai. Kisah yang entah bagaimana berkaitan dengan Pakde Raka... dan Ethan.
Aku mendongak. Hari masih terang, tapi bayangan di dinding mulai memanjang. Malam akan datang. Dan mungkin... malam ini, kalung itu akan berbicara.
***
Malam turun perlahan seperti tirai tebal. Rumah Pakde Raka terasa lebih sunyi dari biasanya. Anak-anak sudah tertidur, hanya suara jangkrik dan kipas angin tua yang mengisi ruang. Aku duduk di lantai kamar tamu, cahaya lampu belajar menyinari kalung giok yang kini digantungkan di paku kecil di dinding bambu.
Warna emerald-nya berkilau pelan.
Seolah bernapas.
Aku memandangi kalung itu sambil menarik selimut hingga batas pundak. Tapi sebelum sempat memejamkan mata, sesuatu membuatku menoleh.
Dari jendela kayu yang tertutup rapat, aku merasa dilihat.
Perlahan, aku bangun. Melangkah pelan menuju jendela. Tak ada suara. Tak ada angin. Tapi hawa ruangan berubah, menjadi lebih dingin, dan... sepi. Sepi yang bukan hampa—tapi penuh isyarat.
Lalu...
Di balik kisi-kisi jendela yang tertutup rapat, samar-samar muncul bayangan seorang wanita.
Aku tertegun.
Mata kami bertemu—meski jendela tertutup, seolah penghalang itu tak berarti apa-apa. Wajah wanita itu jelas: cantik, pucat, mengenakan gaun merah berenda. Gaya klasik, bangsawan zaman dahulu. Rambutnya digelung rapi, tapi kusut di sisi-sisinya, seperti sudah terlalu lama menunggu.
Matanya sayu, namun tajam.
Lalu, wanita itu bicara. Pelan, namun terdengar begitu jelas di telinga.
"Rembulan...
maukah kau membantuku?
Anakku... anakku...
Dia akan menghilang... seutuhnya..."
Suara itu menyayat hati. Ada kesedihan yang tidak bisa dijelaskan, seolah setiap kata membawa beban seribu tahun. Aku menggigil, merinding, jantungku berpacu dengan waktu.
Untuk pertama kalinya, aku merasa takut.
Bukan takut pada hantu. Tapi takut pada kehilangan yang tidak bisa dicegah. Dan pada rasa bahwa ini... benar.
Seolah tidak punya pilihan lain, Aku mengangguk.
Begitu aku melakukannya, wanita itu perlahan masuk ke dalam tubuhku. Tanpa suara, tanpa rasa sakit. Hanya semburan dingin dan denting kalung giok yang mengayun pelan.
Namun wanita itu tidak menggerakkan tubuhku. Tidak mengambil alih.
Sebaliknya...
Dunia di sekitar mulai melarut.
Lantai menghilang, dinding melengkung, langit-langit memudar. Aku merasa tubuhku melayang, lalu perlahan... jatuh ke dalam sesuatu yang hangat dan lembut, seperti mimpi, seperti kenangan.
Aku membuka mata—dan menemukan diriku berdiri di tepi sungai kecil, aliran air jernih, suara burung, dan cahaya matahari pagi yang hangat. Di seberangku, terlihat dua anak kecil: diriku sendiri dan Ethan, sedang bermain batu dan tertawa.
Akhirnya aku paham—wanita itu memberiku satu-satunya hal yang tersisa dari dirinya:
Ingatan.
Dan kisah yang belum selesai.