“Terima kasih sudah datang, Pak.” Aku mengantar Pak Ghaisan ke parkiran. Tadi kami berangkat kesini dengan mobilnya. Ia berbalik sebelum masuk mobilnya. Ia menatapku sesaat.
“Tidak masalah, Kanaya. Saya harus kembali ke kantor. Kamu tak perlu kembali lagi.” Putusnya tegas. Oke, pekerjaanku hari ini selesai begitu saja.
“Baik, Pak. Terima kasih.”
Ia tak begitu saja masuk mobil, seperti ada yang akan dibicarakan lagi, tapi diurungkannya.
Kadang aku merasa, sikapnya sama seperti bos-bos pada umumnya. Tapi kadang juga, agak melenceng juga begini ini. Yah, menjenguk orang tua karyawan bukan salah satu tugasnya. Tapi ia terus menekankan sisi kemanusiaan. Oke, terserah anda saja, pak.
“Aya.” Aku dikagetkan dengan sosok Praja, saat akan kembali ke kamar Papa. Aku tak bisa membaca ekspresinya.
“Kak Praja masih disini?” Aku mengajaknya duduk di kantin. Karena aku belum makan siang. Memesan nasi langgi. Praja hanya minum jus jeruk. Ia hanya melihatku menyuap nasi langgi-ku, dengan senyum kecil.
“Aku belum sempat ngobrol dengan Oom Yudha.”
“Ohya? Aku kira sudah,”
Ia menggeleng. “Aku bertemu Alfian di pintu kamar.”
Aku terdiam sesaat. “Kakak kenal Alfian?”
“Dulu adik kelas di SMA, kami sama-sama OSIS. Aku engga duga, kalian kenal dekat.” Ada nada menuduh disana. What? Menuduh kenapa?
“Kami teman di BEM dulu. Al kakak tingkatku. Dan, kami baru ketemu lagi minggu kemarin. Waktu Sasi mengajak ke Cimory.” Jelasku. Aku sudah menandaskan nasi langgi-ku. Kini meminum teh hangat yang kupesan.
“Kelihatannya Rifa suka sekali padamu,”
Aku meringis. Siapa juga yang tak suka dengan bocah semanis Rifa?
“Namanya juga anak-anak, Kak. Semuanya disukain. Kami pernah makan es krim bersama juga.”
“Oohhh, kalian sedekat itu ya.” Lagi-lagi nada itu.
“Maksud Kakak apa?” tanyaku pasti. Aku juga tak suka seperti ada yang salah dengan kedekatan kami.
“Tak apa, Aya. Aku merasa kamu menghindariku, karena sudah dekat dengan Alfian.” Aku melongo mendengar hipotesis nya.
“Ada yang ingin Kakak sampaikan? Maaf kalau Kakak merasa aku menghindar selama ini. Bukan karena siapapun. Aku hanya… merasa perlu begitu.”
“Kenapa?” Nah, dia menuntut jawaban lagi.
“Yah, soal obrolan terakhir kita. Kakak bilang akan kembali dengan Bella. Aku hanya tak ingin menganggu.” Akhirnya aku bilang juga apa alasannya. Patah hati kemarin.
”Menganggu bagaimana?” Kerut dahinya tampak sekali.
“Ya, menganggu, Kak.” Menganggu hatiku yang kau patahkan.
“Jangan pernah berpikiran begitu, Aya. Kamu dan Bella berbeda.” Tentu saja, kami berbeda orang juga haloooo.
“Jadi, Kakak mau menikahi Bella?” tanyaku pelan.
“Aku belum cerita ya, orang yang menghamili Bella sudah melamar Bella minggu kemarin.” Good news. “Bella yang mengabarkan padaku. Ya, mengabarkan sebagai teman.” Praja mengangguk-angguk. Layaknya infonya sudah benar.
“Apa Kakak menyesal?”
“Tentu saja tidak, Aya. Itu yang terbaik untuk Bella.” Ia bicara dengan menerawang. Apa masih ada rasa dengan Bella? Aduh, kenapa rasanya sakit sekali dadaku? Rasaku masih sama untuknya ya?
>.<
“Maaf ya menganggumu, Kanaya.” Itu kalimat pertama Alfian saat bertemu muka denganku, begitu masuk mobil SUV nya. Teriakan Rifa lebih mendominasi suasana dalam mobil.
“Tanteeeeee.” Rifa sudah minta pangku dengan refleks nya.
“Rifa,” geram Alfian. Mereka kompak memakai kaos berwarna putih. Rifa dengan celana jeans biru, sementara Alfian dengan celana jeans hitam. Tetap ganteng seperti biasa. Ups. “Maaf menganggu minggu mu, Kanaya. Harusnya kamu ke RS kan?”
Aku menggeleng. “Aku di rumah kok. Seharian ini Mama sama Mbak Rika yang jaga. Engga mau diganti.”
“Tuh kan Pap, Tante emang udah mesti jalannya sama kita.” Rifa tersenyum super lebar padaku. Kuciran duanya bergoyang.
“Emang kita mau kemana sih?” tanyaku pada Rifa.
“Jalan-jalan dong, Tanteee. Kemana, Pap?” Giliran menjawab, ia melempar pandang pada Alfian.
“Sebenarnya sambil mencari perabotan, Nay. Keberatan kalau kita ke IKEA?” Hati-hati Alfiaan mengatakannya. Aku menggeleng.
“Aku free hari ini kok. Mau cari perabotan apa?”
“Horeeeeee.” teriak Rifa.
IKEA Alam Sutera lumayan sesak juga di hari minggu. Alfian mencari lemari pakaian untuk Rifa. Katanya lemari yang lama sudah tak muat lagi untuk menampung pakaian Rifa. Setelah berdebat panjang dengan Rifa, dipilihlah lemari bergambar princess Elsa biru dengan tiga daun pintu besar dan sebuah kaca dibagian pinggir.
Rifa mengajak makan siang di IKEA dan disinilah kami. Dengan Chicken Cordon Bleu untukku, Swedish Meatballs untuk Rifa dan Ayam Panggang Bali untuk Alfian.
Kulihat Rifa makan dengan lahapnya.
“Makasi ya Nay, meluangkan waktu buat kami.” Tiba-tiba Alfian mengatakanya sembari menaruh es teh didekatku.
“Tak apa, Al. Toh aku juga free kok. Makasi es tehnya.”
“Aku cukup kaget kemarin ketemu Praja.” Alfian pun pasti bertanya-tanya. “Tak kusangka, kalian dekat,”
“Karena Praja teman Kakakku sejak SMA, Al. Jadi sering ke rumah dulu.” Ya, dan sejak dulu aku menyimpan rasa untuknya.
“Aku juga tak sangka, Redho itu kakakmu ya, Nay?”
Ups. Tentu saja, mereka teman SMA walau kakak adik kelas. Paling tidak saling mengenal. Ternyata dunia sesempit itu ya?
“Kalian sempat ketemu ya?”
Alfian mengangguk seraya mulai menyendok, sembari mengawasi makan Rifa. “Hanya sebentar, sebelum dia buru-buru keluar kamar. Sepertinya menerima telepon.”
“Alfian?” Sosok perempuan yang muncul tiba-tiba didepan kami, mengagetkanku. Tubuhnya tinggi dan ramping, dengan dress marun yang melambai. Dipadu dengan sweater tipis sebatas siku. Overall nice. Wajahnya pun nampak ramah.
“Tante Jessi!” Rifa langsung teriak.
“Hai, Rifa.” Ia melambai pada Rifa.
“Sama siapa, Jes?” Tanya Alfian, ia berdiri, refleks.
“Sama Mami.” Ia nyengir sambil melirikku.
“Ooh, ini Kanaya. Nay, ini Jessi.” Alfian mengenalkan kami. Kami saling berjabat tangan.
“Maaf ya aku engga bisa lama, ditunggu Mami.” Ia pamit, setelah berbasa-basi denganku.
Kami kembali diam, menekuri makanan kami.
“Jessi itu tetanggaku sejak dulu. Sekarang masih jadi tetangga Mama di BSD.” Alfian menjelaskan tanpa diminta. Apa mukaku menandakan aku ingin tahu soal Jessi?
“Tante Jessi baik deh, sering kasih Rifa kue kue gitu.” gantian Rifa yang bicara. Jelas, hubungan mereka tetangga dekat. Alfian sibuk membersihkan mulut belepotan Rifa. “Boneka juga ya, Pap.” Rifa menengadah mencari persetujuan Alfian.
“Iya, boneka panda itu kan?”
“Iya, pas ulang tahun Rifa ya, Pap.”