“Mama pulang aja ke rumah.” Kak Redho datang sejam setelahnya. Sebelum ke rumah sakit, mengantarkan Mbak Rika ke rumah orang tuanya di Bekasi. Ya, Kak Redho berkeras akan menunggui Papa. Dan menyuruh Mama pulang. Aku tahu, usahanya akan sia-sia saja melihat betapa keukeuh-nya Mama.
Mereka sempat bersitegang. Aku dan Erlan hanya jadi penonton. Papa tidur beberapa saat yang lalu.
“Jangan bantah Mama.” Mama melebarkan bola matanya. Tanda sudah sangat sebal. Bibirnya tak ada senyum sama sekali sejak Kak Redho mulai berargumen.
Mama dan Kak Redho memang sering berselisih paham begini. Maksudnya mereka baik semua, hanya saja tak bisa mengerti satu sama lain. Sama-sama tak mau mengalah.
Tas ku bergetar. Siapa yang meneleponku jam sebelas malam? Aku beringsut keluar ruangan. Erlan melihatku keluar ruangan dengan tak rela.
Praja calling…
“Halo, Kak,”
“Belum pulang, Aya?”
“Belum, Kak. Mama dan Kak Redho masih rebutan menginap disini.” Akhirnya aku kesal juga. Menghadapi tingkah mereka.
“Redho cerita mau menginap.”
“Iya, Kak. Mama disuruh pulang engga mau.”
“Oh begitu.” Telepon terputus, setelah sekali lagi memintaku pulang untuk istirahat.
Ada chat dari Alfian.
Alfian : Hai
Kanaya : Hai, maaf baru bls. Aku di rs.
Hitungan detik saja, dan langsung dibalas.
Alfian : Siapa yg sakit?
Kanaya : Papa kena stroke ringan.
Alfian : Ya Allah, yg sabar Kan,
Kanaya : InsyaAllah, Kak
Alfian : Sma siapa di rs?
Kanaya : Semuanya disini kok. Ini mau pulng.
Alfian : Careful ya. Boleh aku tahu di rs mana?
Kanaya : RS Sehati, bougenvill 2
Alfian : Insyaallah bsok aku kesna, toh sabtu.
Kanaya : Ga perlu repot, Al
Alfian : No repot kok Kan
Aku menghembuskan nafasku. Kenapa begini berat rasanya?
>.<
“Mbak.” Erlan menyenggol bahuku. Membuyarkan lamunanku. “Mama udah ribut itu.” Mukanya memelas.
“Sana ke RS dulu, makanannya udah disiapin Bik Tami kan?”
“Mbak, pleaseee, aku ada janji sama Risma ini,” pantas, masih jam tujuh pagi dihari sabtu dan Erlan sudah berpakaian rapi begini. Aku bersedekap. “Aku terlanjur janji mau antar ke Bogor, ke rumah neneknya.” Raut mukanya tak berdaya dengan rengekan Risma.
“Bilanglah Papa masuk RS.”
“A, aku engga bisa, Kak. Neneknya juga lagi sakit,” ia meringis.
Stupid Erlan.
“Sekarang begini, penting Papamu atau nenek dia?” aku memberinya pilihan. “Kalo penting Papamu, tetap disini.”
“Tapi kan ada Mama, Kak redho, Kak Kanaya juga.” Ni bocah kayak engga tahu gimana sifat Mama aja.
“Kalo penting nenek si Risma itu, keluar dari rumah,” desisku.
Wajahnya pias.
“Kakak bukannya nakutin kamu. Tapi kamu tahu sendiri gimana Mama. Bisa marah besar kalau tahu kamu malah pergi.”
“Kak, tolong bantu aku lah.” Wajahnya memelas.
“Kakak engga bisa bantu, Lan. Kakak harus ke kantor bentar, ada urusan urgent sebentar. Terus ke RS.”
“Non, ini makannya Ibu sama Mas Redho.” Bik Tami menata beberapa wadah diatas meja.
“Makasih, Bik.” Aku menuntaskan nasi gorengku. Segera bangkit. Menyeret tas tangan. “Bawa ini ke RS, Lan.” Berlalu dari Erlan yang tampak sangat merana.
>.<
“Kenapa tak katakan kalau orangtua mu masuk RS, Kanaya?” Pak Ghaisan menatapku tajam disela rapat. Siapa yang bilang? Tentu aja Sasi. Ia melengos dari tatapanku.
“Maaf, Pak. Saya rasa tidak perlu diketahui.” Kini giliran aku yang disorot. Semua mata menatapku.
“Kita break,” Pak Ghaisan berjalan keluar ruang rapat. Raut wajahnya tak bisa tebak.
Beberapa berbasa-basi menanyakan sakit Papa, sebelum keluar ruangan. Aku masih diam ditempat saat Sasi beringsut ke samping.
“Maaf ya Nay, aku keceplosan tadi. Em, aku lagi teleponan sama Okan, engga tahu kalau Pak bos dideketku.” Sasi berkata lirih. “Ya, dia denger deh.”
“Ya, engga apa, Sas. Engga perlu minta maaf juga. Toh itu yang terjadi.” Aku tersenyum menenangkan Sasi.
Sudah jam sepuluh lewat. Tadi Mama melaporkan kalau makanannya sudah sampai RS. Dan yang tak diduga, Erlan minta ijin Mama ke Bogor. Yah, pakai debat sebentar, sebelum diperbolehakn sama Mama, dengan catatan tak sampai malam. Sungguh beruntungnya kamu, Lan.
Yang paling tak kusangka, tengah hari setelah selesai rapat darurat, Pak Ghaisan memintaku mengantarkan ke RS, menjenguk Papa. Sasi menatapku dalam. Seakan bilang, aku bilang juga apa. Apa apaan coba?
>.<
Yang paling tak kuduga terjadi. Aku berpapasan dengan Praja dan Alfian di lobby RS. Sepertinya mereka bertemu di kamar Papa. Karena jam besuk di RS ini terbatas, tentu saja semua bisa berbenturan begini.
“Tanteeee.” Rifa berlari kecil ke arahku. Rok merahnya berkibar. Senyumnya sangat lebar. Dua kucirnya bergoyang lucu. Mau tak mau aku tersenyum geli.
“Hai Rifa.” Aku berjongkok, dan Rifa langsung memelukku erat. Pak Ghaisan tampak takjub melihat pemandangan ini.
“Rifa kangennnn, tau engga?” tanyanya dengan polosnya.
“Iya, Tante tahu.” Gemasnya, aku menjawil hidung kecilnya.
“Ihhh kangen engga?” rengeknya, mulai dengan manyunnya.
“Kangen, Rifa,”
Seketika Rifa berbalik kearah Alfian, “Tuh denger, Pap, Tante Naya kangen Rifa juga,”
Alfian hanya tersenyum kecil. “Iya, Rifa. Sekarang biarin Tante tengok Kakek Yudha dulu.”
Aku melongo, Kakek Yudha?
“Kakek Yudha bilang, udah sembuh kok. Besok bisa pulang. Terus main-main di taman sama Rifa deh.”
“Iya, Rifa. Nanti kita makan es krim lagi.”
“Janji ya, Tante?” setelah berjanji kelingking, barulah Rifa mau berlalu digandeng Alfian.
>.<
Si Kakek Yudha tampak segar bugar melayani tiap obrolan Pak bos. Aku sudah duga, Papa akan cepat recovery. Tak perlu menunggu lama. Karena Papa tipe yang tak bisa diam.
Mama beringsut mendekatiku. Kak Redho keluar katanya.
“Itu pak bos, apa semua orang tua karyawannya ditengok?” bisik Mama. Kontan aku menggeleng. Mama mesem. “Mama jadi bingung.”
Aku mengeryit. “Bingung kenapa, Ma?”
“Mana yang pantes buatmu.”
“Pantes apaan,” celetukanku tak penting, sesungguhnya aku pun berdebar. Menunggu ocehan Mama soal banyaknya laki-laki yang datang. Untung Mama tak mengabari Bima.
“Mama engga buta, Kanaya. Mereka semua mencoba menarik perhatianmu.” Mata Mama berkilat.
Please, Ma… jangan diperjelas begitu.
>.<