“Jadi?” Lusi menanyaiku sambil menopang dagu.
“Apanya?”
“Kenapa engga jadi bawa Praja kesini?” Kini nadanya seolah menodongku. Matanya berkilat.
Aku memang janji membawa Praja ke Kafe Lusi, tapi timing nya tak bagus. “Lain kali ya, Lus. Serius.”
“Ada apa?”
“Bella datang kemarin.”
“Bella?”
“Iya, mantan Praja yang hamil itu. Dia teriak-teriak kayak orang kesurupan. Sampe manggil satpam kompleks.”
Kini Lusi memandangiku ngeri.
“Dia masih bersikeras kekeuh bilang kalo anak yang dikandungnya itu anak Praja. Tapi Praja diam saja.”
“Dia engga ngelak?”
“Aku merasa, Praja kasian pada Bella. Bahkan mengantarkannya pulang, walaupun tahu gimana garangnya Bella.” Ya, saat itu rasa sakit di dada itu ada. Apa aku masih ada hati dengannya?
Lusi sukses melongo.
“Aku… entahlah.” Aku sendiri tak bisa mengartikan rasa hatiku sendiri.
“Hmm si bos gimana?”
“Bos?”
“Sasi cerita, bos kecilmu itu flirting in terus ya?”
“Ampun deh, kalian berdua bergosip dibelakangku ya,” tuduhku. Lusi hanya cengengesan.
>.<
“Nay.” Mama menyenggol lenganku. Matanya menari-nari.
“Eh iya, hai juga.” Akhirnya aku membalas salam Bima juga. Ia tersenyum ragu. Pasti merasakan aku malas bicara dengannya.
“Kok sendirian aja, Nak Bima?” Memang kami bertemu di dalam Mall, saat aku pulang kerja dan diseret Mama menemaninya belanja buat cucu pertamanya.
“Iya, Tante. Baru pulang kerja tadi, terus ketemu teman disini.” Dia memang masih memakai kemeja biru laut yang ditekuk sebatas siku. Rambutnya sudah berantakan.
“Kebetulan sekali ketemu disini ya, sudah makan belum?”
Aduh, akal-akalan Mama muncul ini…
“Belum, Tante. Tadi cuma ngopi aja.”
“Ayo bareng, kita makan ramen ya, Tante yang traktir.”
Dan disinilah kami berakhir, di dalam resto ramen. Aku berhadapan dengan Bima.
“Kenapa engga balas whatapp ku kemarin? Aku engga tahu kalau istrinya Kak Redho mitoni di rumah.” Bima menodong pertanyaan saat Mama ke kamar mandi.
Aku memang sengaja tak membalas, karena aku sedang bersama Praja saat itu. “Oh, maaf, kemarin lagi agak ribet di rumah.”
“Iya ga apa. Kamu apa kabar?”
“Baik, kamu?”
Ia mengangguk. “Baik kok.”
Kami terdiam. Dia seperti tahu aku malas membalas ucapannya. Sampai Mama kembali.
>.<
“Kak Praja?” aku terkaget saat menemukan sosoknya duduk dibangku teras. Saat aku baru pulang dari kantor. Ini bahkan sudah jam delapan lebih.
Ia tersenyum. “Aku hanya mampir. Tadi Tante suruh nunggu di dalam, tapi aku lebih suka nunggu disini.”
Aku ikut duduk. “Ada apa, Kak? Kok engga kasitahu mau kesini?”
“Engga apa, cuma pingin ngobrol aja. Sekalian kasih kue bikinan Mama tadi.”
“Oh ya? Makasih ya Kak.”
“Lembur ya?”
“Iya, lumayan lemburnya, daripada kena jam macet juga kan.”
“Aya, aku ingin minta maaf.” Tiba-tiba saja ia mengatakannya.
“Soal apa, Kak?”
“Soal Bella kemarin, dia sedang tidak stabil.” Maksudnya? Dia gila? “Dia hamil dan tak tahu siapa ayah anaknya.”
“Apa?”
“Bella cerita, kalau dia pernah main di club dan mabuk. Kemudian itu terjadi.”
“Apa Kakak bersimpati padanya?”
Praja menatapku. “Apa aku harus membencinya?”
“Menurut Kak Redho, dia sudah gonta ganti cowo beberapa kali sejak Kak Praja di UK.” Suaraku mencicit. Lebih kepada ingin ia tahu, apa yang sebenarnya terjadi.
“Aku tahu dia kesepian, Aya. Dia tak bisa berhubungan jarak jauh.” Ada nada kepasrahan disana.
Aku mulai gemetaran. Jadi apa maksudnya curhat soal Bella disini?
“Lalu?”
“Aku sedang mempertimbangkan untuk menikahinya.”
Deg.
“Apa? Aku salah dengar ya? Padahal itu bukan salahmu, Kak.”
“Tapi, aku tak bisa terus melihatnya begitu.” Dia tampak dilemma. Tapi sungguh, aku yang lebih dilemma.
“Apa Kak Praja masih sayang dia?”
Ia mengejap. “Ya, mungkin begitu.”
Aku tercekat. Apa sih yang aku harapkan. Tentu saja, dia pacarnya selama bertahun-tahun.
“Selamat kalau begitu,”
>.<
“Sialan banget si Praja itu. Bisa-bisanya bilang begitu padamu.” Sasi mencak-mencak setelah aku menceritakan apa yang barusan saja aku dengar dari Praja. Belum ada tiga puluh menit sejak ia pulang. Aku sudah menghabiskan beberapa lembar tisu untuk menangisinya. Sambil menelepon Sasi.
Sebenarnya, apa yang aku rasakan padanya?
“Heh, udah, jangan nangis terus, bisa bengkak ntar matamu,” tegur Sasi. Mimiknya khawatir.
Aku menyedot ingusku lagi. “Ha, habis gimana, Sas.” Lagi-lagi aku mengerang. Dan mengatakan habis gimana.
“Habisin aja dia, Kay. Udah ah cowok ga cuma dia di dunia ini. Sudah sudah. Engga perlu nangis lagi. Apa aku perlu kesana?”
Aku menggeleng.
“Berhentilah menangis. Besok ikut aku ya.”
“Kemana?” Besok adalah sabtu berhargaku.
Bukan Sasi namanya kalau tidak pemaksaan. Aku sudah diseret dari kasurku sejak jam enam pagi. Menatap ngeri padaku. Pasti begitu mengerikan wajahku, sampai ia begitu.
Ia menyeretku paksa. Memaksaku memakai baju pilihannya, lalu mendorongku ke kamar mandi.
Aku memandang orang yang tengah menatapku dibalik cermin. Wajahnya sangat mengerikan. Lingkaran hitam jelas di matanya. Rambutnya kusut dan berantakan.
Ya ampun.