Sudah seminggu aku tak bertemu lagi dengan Praja. Sejak makan siang itu. Weekend ku diisi dengan belanja kebutuhan mitoni Mbak Rika yang jatuh diawal bulan depan.
“Heh, mau kemana? Mobilnya mau Mbak bawa,” ujarku, seraya memepet Erlan yang siap mengambil kunci Jazz merah Mama.
“Lha mau kemana, Mbak?” celetuknya kecewa. Kelihatannya dia siap pergi sama pacarnya. Sabtu pagi udah necis aja. Biasanya masih goleran di kamar.
“Mau belanja sama Mama.” Aku mengambil kunci, berniat memanasi mobil lebih dulu. Sebelum Mama mulai ribetin minta berangkat.
“Nay, bilang Rika ya, nanti siang kesini,” Mama lewat dari dapur kearah kamarnya. “Papa mu nih, dihubungin engga bisa!” gerutu Mama. Papa memang sedang dinas ke Pekanbaru sejak hari selasa.
“Lagi rapat kali, Ma.”
“Rapat apaan, ini hari sabtu. Janjinya mau pulang.”
“Mungkin di pesawat.” Aku tahu, Papa lebih suka bertindak daripada bilang sama Mama. Karena apa, karena males denger rewelnya Mama. Aku masih mendengar panjang pendek dumelan Mama saat memencet dial Mbak Rika.
“Halo, Nay,” sapa Mbak Rika.
“Mbak, nanti siang bisa kesini? Ini ditanyain Mama soal baju acara mitoni.”
“Oiya, nanti ya, Mas Redho lagi main tenis sama temannya.”
“Ah, nanti aku jemput aja deh, Mbak. Nunggu Mas Redho mah kapan tahun pulang kalo lagi main tenis.”
Kudengar Mbak Rika terkikih diseberang sana. “Iya emang sih. Aku mau pergi sendiri juga engga dikasih.” Bukan salah Mbak Rika juga kalau engga dikasi pergi. Karena kandungannya lemah, saat umur kandungan tiga bulan, Mbak Rika sempat miskram. Hingga membuat Mbak Rika resign dan Mas Redho lebih protektif pada Mbak Rika.
“Oke, nanti sepulang aku sama Mama belanja, kita kesana, Mbak. Kira-kira tengah hari ya Mbak.”
“Oke, Nay.”
Kadang aku penasaran, apa yang membuat Mbak Rika yang lemah lembut itu mau menerima Mas Redho yang mirip beruang berang begitu. Tapi kalau melihat mereka bersama, itu menjawab semua pertanyaan di kepalaku.
Haduh, rasanya love is in the air…
>.<
Acara Mitoni berjalan lancar, dan selama mempersiapkan acara, aku tak bertemu dengan Praja lagi. Ya, selama itu. Kak Redho cuma cerita kalau mengundang Praja saat acara.
“Nyari sapa?” Wulan, sepupuku tengil satu ini menowel bahuku. Apa dia melihatku yang celingukan macam burung aja ya?
Aku menggeleng. “Engga, mana Tante Tina?” Aku mengalihkan pertanyaan dengan menanyakan mamanya.
Wulan malah terduduk di kursi. “Tuh, sama Mbak Rika.” Wajahnya nampak bosan. Aku duduk juga disebelahnya.
“Kenapa?”
“Tauk tuh, Mama ribut aja nyuruh nikah.”
“Lho, kan ada pacarmu itu. Sapa namanya?” Yang kutahu, memang Wulan sudah pacaran lama sama pacarnya itu.
“Rudi mah engga bisa diharapkan.” Wulan kini bersedekap.
“Kenapa?”
Wulan menghela nafas keras. “Belum bisa serius, Nay. Omongannya masih ngelantur. Belum ada visi masa depan. Tapi Mama nodong aja deh. Bikin males.” Ia tampak menggerutu.
Aku jadi ingat soal Bima. Untung Mama lupa sejenak, karena mengurusi acara mitoni ini.
“Aya.” Aku terpaku, melihat seseorang yang aku tunggu kehadirannya, muncul di depanku. Ia tersenyum dengan kemeja biru mudanya.
“Kak Praja, sendiri?” sapaku.
Ia menoleh kearah Mama dan Tante Lily tengah duduk di beranda rumah.
“Sama Mama itu.”
Aku merasakan senggolan dilenganku. Ternyata si Wulan yang melotot padaku.
“Kak, ini sepupuku, Wulan. Lan, ini temannya Kak Redho, Praja.” Akhirnya aku memperkenalkan mereka juga. Wulan mengulurkan tangan dengan malu-malu. Praja membalas dengan cepat.
“Halo,” sapa Praja. “Aya, bisa bicara sebentar?” Praja menoleh padaku.
“Bi, bicara apa, Kak?” Aku bingung sendiri. Wulan melipir dengan tak rela. Menyisakan aku dan Praja duduk berdampingan.
Aduh, kenapa saat dekat dengannya deg-deg an ini masih ada?
“Aya, maaf ya aku lama engga menghubungimu,”
“Em, engga apa, Kak. Aku juga sibuk menyiapkan mitoni ini, jadi sama engga menyapa Kakak,” ujarku. Belibet sendiri rasanya mengatakannya. Bagaimana bisa konsen bicara, kalau wangi parfumnya terendus hidungku?
“Rencananya besok senin, aku ada wawancara di gedung kantormu.”
“Oh, yang kantor konsultan itu?”
Praja mengangguk. ”Iya,”
“Semoga lancar, Kak,”
“Nay!” Aku menoleh pada suara itu. Sasi dan Okan datang. Mata Sasi bertanya padaku. Aku berdiri juga, memperkenalkan mereka.
“Okan? Ooh yang teman Aya sedari kuliah ya?” Ternyata Praja ingat. Padahal mereka hanya bertemu sekelebatan saja.
“Iya, Okan yang itu.” Okan engga kalah kocaknya membalas begitu dengan wajah datar.
“Sasi ini teman kantorku, Kak.” Sasi hanya tersenyum kecil.
“Bisa pinjam Kanaya sebentar ya, Kak.” Sasi menarikku menjauh ke dalam rumah. Acara memang di halaman depan rumah.
“Apa sih, Sas?” Akhirnya Sasi melepaskanku, setelah sampai dekat taman belakang. Dan dirasa sepi orang. Hanya beberapa orang catering lalu lalang.
“Ih, serius itu Praja yang kamu kasih hati sejak lima belas tahun lalu?”
“Iya, Sas. Engga perlu bingung begitu dong.” Sasi memang belum pernah bertemu dengan Praja sebelumnya.
Sasi melotot. “Kok bisa sih, yang begitu bisa bernasib malang nian??”
Gantian aku yang memandangnya aneh. “Lha, apa hubungannya?”
“Ya Ampun, ganteng juga ya.” Yaampun, ternyata itu komen terbaiknya Sasi.
Yaelah, cuma mau bilang begitu aja, sampe narik ke dalem begini. “Lalu?” tanyaku bosan.
“Sasi? Kok disini? Engga makan di depan?” Nah lho, sebelum Sasi berucap, Mama keburu datang, menyeret tangan Sasi ke halaman depan. Hanya bisa diam sambil memandangiku minta tolong. Aku hanya mengangkat bahu.
“Naya, katanya ada Praja ya?” Papa turun dari lantai atas. Tadi setelah acara, Papa memang bilang mau istirahat ke kamar atas.
“Iya, Pa. Di depan.” Papa tentunya sudah kenal betul dengan Praja, karena sudah sejak lama berteman dengan Kak Redho. Dan pastinya sudah dengar kabar dari Mama. “Ada Tante Lily juga kok,”
“Oh, sudah sembuh ya?”
“Kelihatannya masih pemulihan, Pa.” Yang kudengar dari Mama, Tante Lily memulai kemoterapi didampingi Praja.
“Papa dengar, Tegar memutuskan untuk ekspansi ke China, dan lebih sering di China, ketimbang di sini.” Papa memang berhubungan baik dengan Papanya Praja juga. Walaupun mereka sempat bersitegang karena kesehatan Tante Lily, nyatanya mereka mencoba memahami satu sama lain lagi.
“Barusan Praja cerita, senin ada wawancara di kantor konsultan di gedungku, Pa.”
Papa mengeryitkan dahi. “Sungguh? Dia tak tertarik dengan perusahaan ekspor impor Papanya?”
Aku hanya menggeleng. “Naya engga tahu, Pa.”
Papa manggut-manggut. Berjalan ke depan, mendekati Praja yang sudah duduk dengan Tante Lily.
>.<