Okan : dimana si?
Kanaya : RS
Okan : sapa sakit?
Kanaya : Mamanya Praja
“Heh, serius? Praja lagi?” suara Okan memenuhi gendang telingaku saat mengangkat panggilan Okan.
“Diem deh,”
“Dia dah balik?”
“Udah beberapa hari yang lalu,”
“So? You wanna back?”
“Back apaan? Aku hanya jenguk Mamanya, Kan.” Aku celingukan. Berusaha bersuara sekecil mungkin, takut membangunkan Tante Lily. Praja keluar sebentar tadi dipanggil dokter.
“Oke, jangan nangis-nangis lagi lho ya, aku engga bersedia memberi bahuku lagi.”
“Dih, bukannya bahumu buat Sasi sekarang?”
Okan tertawa kencang. “You know that, darling.”
“Darling, darling, pergi sono, ga usah ribetin aja,” telepon Okan terputus.
Ya, selain Lusi, Okan adalah bahuku yang lain. Dia tahu bagaimana perasaanku pada Praja. Bahkan dia tahu ceritaku lima belas tahun lalu. Cinta monyet yang terasa nyata sekarang.
~~
“Sudah sampai?”
“Sudah, Kak.”
“Oiya. Makasih ya bunganya, Mama senang sekali.”
“Oke, Kak. Sama-sama. Ehm, kalau butuh teman, bisa hubungi aku, Kak. Jangan sungkan.”
Diam disana.
“Kak?”
“Iya. Makasih, Aya.” Telepon ditutup. Aku menghela nafasku.
Aku memang bisa merasakan bagimana menderitanya ia, aku juga tak ingin ia terus merasakan itu. Apalagi sendiri. Paling tidak, ada teman disisinya.
Apakah aku egois untuk terus dekatnya?
“Kok ngelamun?” Mama menepuk bahuku. “Tadi dari mana?”
“Jenguk Tante Lily, Ma.”
“Lily? Ibunya Praja? Sakit apa?”
~~
Dan Mama memaksaku menjenguk Tante Lily lagi.
“Maaf, Kak. Mama memaksa.” Setengah berbisik, aku mengatakannya. Praja hanya tersenyum maklum.
“Engga apa. Mama malah senang ada yang menjenguk.” Ada suara dering telepon, membuat Praja pamit keluar menerima telepon.
Tak lama, ia masuk dengan wajah tertekan. Ada apa?
“Aya, bisa minta tolong jaga Mama sebentar?”
“Ada apa, Kak?”
“Luna… tak sadarkan diri,” seketika aku mengerti apa yang membuatnya stress.
“Biar Mama yang menemani Tante Lily, kalian pergilah.” Mama memandangi kami dengan yakin. Tante Lily pun hanya mengangguk. Walau aku yakin, beliau pun bingung.
Kemarin malam, aku menceritakan semuanya pada Mama. Tentu saja membuat Mama lebih bersimpati dengan apa yang terjadi pada Praja.
~~
Kenapa Bogor jauh sekali sih? Seakan mobil engga ada habisnya melaju. Sampai kami sampai di panti rehabilitasi yang tampak asri sekali. Dipinggir Bogor.
Dijalan Praja tak mengeluarkan suara sedikitpun. Aku hanya mengirim pesan pada Kak Redho.
Kak Redho : Mama temani Tante Lily. Naya ke Bogor sama Praja. Luna ga sadarkan diri.
Mereka tak memperbolehkanku masuk. Harus cukup puas dengan menunggu di taman luar.
Sejam mungkin aku bengong disini. Praja duduk disampingku.
“Makasih udah menunggu, Aya.”
“Gimana Luna?”
Praja menghela nafasnya. “Syukurlah dokter segera merawat Luna. Sekarang sudah sadar. Masih histeris. Sebenarnya ia tak ingin di rehab. Tapi Papa berkeras. Itu pun demi kebaikannya.”
“Syukurlah kalau begitu. Semoga Luna segera membaik ya,”
Praja mengangguk. Dan keluarlah bunyi dari perutku. Memalukan sekali. Praja hanya tersenyum seraya bangkit, “Ayo kita makan,”
~~