“Jadi? Dia udah balik?” Lusi duduk didepanku, menyodorkan orange juice pesananku.
“Iya, baru beberapa hari datang.”
“Terus?”
“Hm?” Aku menatap Lusi. Yang ditatap menatapku ingin tahu.
“Gimana? Rasanya?”
Lima tahun lalu aku berterus terang pada Lusi soal perasaanku yang selalu sebelah tangan ini. Tapi kini, saat melihatnya kembali. Entah apa perasaan itu masih ada.
Aku hanya mengangkat bahu. “Entahlah. Dia sedikit berbeda.”
Lusi tampak gusar, “Berbeda gimana? Dia masih nyapa kan? Masih ngobrol kan?”
“Kukira raut lelahnya karena kecapean aja. Ternyata dia banyak masalah. Itu kata Kak Redho.”
“Masalah?”
“Iya, masalah keluarga dan pacarnya.”
“Dia punya pacar? Katamu dia selalu jomblo.”
“Iya, aku pun shock mendengarnya, Lus.” Aku menutup wajahku, frustasi juga mendengar semua cerita Kak Redho tadi.
“Apa? Apa yang bikin shock?”
~~
“Dia lagi banyak masalah, Nay. Kasian sekali.” Kak Redho tampak menerawang. “Banyak masalah di UK. Belum lagi masalah keluarganya. Dia bersitegang sama Papanya. Bikin Mamanya anfal di RS. Adiknya make.”
“Adik? Maksudnya Luna?” Aku ingat sekali dewi kecantikan kampus kami dulu.
“Iya, adiknya cuma satu, Nay. Lagi mulai rehab di Bogor, katanya. Belum lagi keluarga pacarnya nuduh menghamili.”
“Pa, pacar?” Ini baru berita paling baru.
“Iya, namanya Bella, dulu teman kantor Praja. Kakak tahu sih, dia memang player. Dia selingkuh dibelakang Praja. Selama Praja di UK, Kakak tahu dia sering jalan sama beda cowo. Kakak diam bukan karena tak kasian pada Praja. Tapi Kakak tahu, Praja pun banyak masalah di UK.” Kak Redho menghela nafas. “Dan beginilah, pulang-pulang, malah dituduh keluarga Bella. Padahal mereka lama engga ketemu. Dan gila namanya. Gimana caranya menghamili coba?”
Ya Tuhan… semoga Praja kuat…
“Itu mah triknya aja kali, Mas. Cewe begitu mah engga pantes buat Praja.“ Mbak Rika ikut duduk dengan kami. Mengelus perut buncit enam bulannya. Menyodorkan air es untuk Kak Redho.
“Mungkin kalau dia engga malu, Kakak udah suruh dia nangis, Nay. Tapi dia gengsi.” Yah, cowo nangis memang aneh. Tapi tak ada salahnya menangis saat benar-benar jatuh.
~~
Lusi terdiam. Speechless.
Tau kan sekarang kenapa tampangku mirip orang kena sawan? Karena terlalu shock.
“Ya ampun, cobaan datang bertubi-tubi sekali ya, Nay.” Lusi mengurut dada. Padahal itu cobaan Praja.
“Iya, Lus. Aku engga tahu mau bilang apa. Mau menghibur pun, apalah aku ini.”
“Jadi, Praja lagi urus orangtuanya sekarang?”
“Sepertinya begitu. Mamanya yang terutama. Lagi pengobatan kanker pankreas stadium dua.” Aku pernah beberapa kali bertemu Tante Lily. Senyumnya sehangat senyum Praja. Tiba-tiba aku merindukannya.
Kanaya : Kak, dimana tante Lily dirawat?
Kak Redho : RS Sehati, Ruang Bougenville 3
Aku bangkit. “Aku harus pergi, Lus. Doakan aku.”
“Minum dulu Orange juice mu,”
~~
Praja mengangsurkan kopi dalam kertas padaku. Ekspresinya tak dapat kubaca.
“Terima kasih sudah datang, Mama tampak sangat senang.” Ia berusaha tersenyum.
Ya, aku benar-benar bisa melihat wajah berseri Tante Lily tadi. Apalagi aku membelikan bunga lily kesukaannya. Tak henti memandangi bunga itu, saat kuganti di pot kecil. Kutempatkan disamping kiri ranjangnya. Nakas tinggi samping jendela. Hingga Tante Lily bisa melihat dengan leluasa, sambil memandang keluar jendela.
“Sama-sama, Kak. Hmm, maafkan aku engga tahu Tante dirawat. Bahkan tak tahu Tante Lily sakit selama ini.” Aku menyesali tak pernah berusaha main ke rumahnya. Karena sakit hatiku pada Praja.
“Tak apa, Aya.” Terjadi jeda lama. Kami sibuk dengan pikiran masing-masing. “Mungkin Redho sudah cerita banyak. Tapi-“
“Aku sama sekali engga kasian dengan Kak Praja!”
Mata Praja melebar.
“Dengar, Kak. Aku hanya simpati dengan apa yang terjadi dengan Kakak. Aku tak sangka, ini yang terjadi padamu. Aku… aku… “ entah darimana datangnya air mata ini. Kenapa datang diwaktu tak tepat?
Aku merasakan lengan Kak Praja melingkari bahuku.
“Ma, maaf, aku.. “
“Shhh sshhhh sudah, Aya, “ bisiknya di telingaku.
Bukannya berhenti, tangisku makin menjadi.
Praja bergeser kearahku, menempelkan dadanya dibahuku. Hawa hangatnya terasa sekali. Untung selasar ruang VIP ini sepi. Aku tak harus malu dilihat orang.
“Sudah, Aya. Jangan menangis lagi.”
Entahlah, rasanya berat sekali, seperti aku membayangkan bagaimana menjadi Praja. Seperti apa hatinya terhimpit.
Apa aku masih menyukainya?
~~