“Woy! Bengong muluk!” Sasi menowel lengan kiriku. Tak pakai lama, ia langsung memutar kursiku kearahnya. Memelototiku dengan tak sabar. “Ada apa dengan weekend nona satu ini?”
Aku masih malas bersuara.
“Jangan bilang ini ada hubungannya sama Praja-Praja itu ya? Kemarin Okan sempet cerita, tapi engga detail.” Tuduhannya tepat sasaran. Tak ada yang terjadi kemarin, selain kami makan ayam penyet, kemudian kembali ke RS. Tapi hari ini benar-benar aku tak bisa connect dengan pekerjaan.
“Pagi, semua,” sebuah suara membuat kami mendongak. Pak bos Ghaisan tersenyum disana. Untuk ukuran kepala divisi, ia tergolong muda. Hanya beberapa tahun diatasku. Belum menikah lagi. Ditambah dengan ketampanannya. Langsung jadi incaran seantero kantor.
“Pagi, Pak!” si Kharisa menjawab dari kubikel belakangku. “Hari ini indah ya Pak? Happy sekali pagi ini,” celetuknya tak perlu. Dia memang tukang carmuk.
Aku melirik Sasi yang menjulurkan bibirnya kedepan.
“Tentu saja indah, jam delapan kita meeting,” dan pak bos pun berbalik masuk ruangannya. Diiringi suara-suara histeris anak-anak divisi.
“Sukurin deh,” cibir Sasi. Sembari merapikan file untuk meeting. “Eh, kemarin jumat balik sama siapa?” Sasi memang meninggalkanku waktu itu, karena terlanjur janji makan dengan Ibunya.
“Pak Bos,”
“Serius?” Sasi menatapku tak percaya.
Aku mengangguk-angguk. “Iya, dia maksa, yauda daripada juga aku kemalaman nunggu taksi.”
“Naik mobilnya itu?”
“Iyalah, masa naik bemo?”
“Ya ampun, Kanaya! Itu mobil kuda jingkrak!” Sasi tampak tak sabar menghadapi omonganku.
“Terus? masalahnya dimana?”
Sasi garuk kepala. “Masalahnya, kenapa kamu seberuntung itu,”
Really?
Dimana beruntungnya diajak pulang bareng Pak Bos? Aku hanya memikirkan faktor keselamatanku saja. Dia pun demikian. Tak ada lain dan tak ada bukan. Lalu?
~~
“Kamu yakin, Pak Bos engga frilting sama kamu, Nay?” aku melirik Sasi kesekian kalinya. Bersedekap.
“Engga ada pertanyaan lain?” tanyaku bosan.
“Habis, tadi dia melirikmu terus tau, dia engga bilang apa-apa pas jumat?”
Aku menggeleng. “Biasa aja ah. Jangan mengada-ada ya,”
“Heh, orang awam juga tahu, dia lebih intens melihatmu daripada aku yang presentasi tau,”
Aku bukannya tak merasa. Tapi berusaha tak merasa. Aku jelas melihat matanya yang terus menatapku. Walaupun beberapa kali menanyakan pertanyaannya pada Sasi.
Aku berusaha mengabaikannya. Anggaplah itu hanya karena mengantarku pulang kemarin jumat. Atau ia merasa dekat denganku hanya karena itu?
Ah masa. Selama di jalan kemarin, aku hanya menjawab beberapa pertanyaanya. Itu sudah termasuk dimana letak persis rumahku.
Ponselku berdenting.
Praja : Hai, Aya
Kanaya : Ya, Kak. Gimana?
Praja : Mau maksi bareng? Aku dekat kantormu.
Kanaya : jm12 ketemu di loby
~~
“Sibuk ya?” Itu pertanyaan pertama, setelah aku duduk di kursi kantin. Ya, akhirnya janjian makan di kantin kantor, di basement. Praja terlihat santai memakai kaos merah berkerah dan celana jeans kelam. Ia mendorong es teh padaku. “Minum dulu,” katanya. Aku lihat ada dua es teh didepannya. Ternyata yang satu untukku.
“Maaf ya Kak, tadi meeting mendadak.” Aku benar-benar tak enak membuat Praja menunggu lebih dari sejam di kantin.
“Iya, ga apa. Mau makan apa?” Aku celingukan. Kantin masih lumayan ramai padahal udah lewat jam makan siang. “Aku sudah pesan nasi goreng babat.”
“Aku juga deh, Kak.” Dan saat Bu Jiah mengantarkan pesanan Praja, ia memesankan nasi goreng juga untukku.
“Enakkah? Tadi aku lihat antrinya banyak. Jadi nebak aja, kalau enak.” Praja memandangiku ingin tahu.
Aku mengacungkan jempol. “Top pokoknya, Kak.”
“Aku makan dulu, itu ok?”
“Silakan, aku yang engga enak udah buat Kakak nunggu.”
Praja hanya tersenyum kecil. Mulai menyendok nasi gorengnya. “Hmm pantas kamu bilang top. Memang enak.”
~~
Makan siangku hanya bertahan beberapa menit, sebelum Pak Bos menelepon menanyakan soal pekerjaan lagi.
“Dimana kamu?”
“Di kantin, Pak.” Aku masih menyendok nasi gorengku yang masih setengah. Mata Praja melirikku dari ponselnya.
“Yasudah, selesaikan makanmu. Setelah itu kita bahas yang tadi.”
“Iya, makasih, Pak.” Telepon terputus.
“Bos ya?”
Aku meringis. “Iya, Kak. Kerjaan terus.”
Praja mengangguk. “Aku berencana masukin lamaran disini.”
“Disini?” aku melongo. Wah, bakal tiap hari ketemu Praja nih.
“Iya, ada kantor konsultan di lantai enam belas kan?”
Aku mengangguk. ”Iya, aku tahu, Kak.”
“Kemarin lusa, ada teman yang rekomendasikan kesana.”
Aku hanya manggut. “Tante Lily gimana, Kak?”
“Mama sudah pulang rumah kemarin malam. Harus banyak istirahat dan kontrol lagi minggu depan.”
“Oh, syukur alhamdulilah.”
Aku melihat raut muka Praja lebih tak sekusut minggu lalu saat ketemu di rumah Kak Redho. Mungkin benang kusutnya sedikit demi sedikit sudah terurai.
>.<