Cahaya gerbang waktu menyilaukan mata Araka. Sekejap ia terlempar dari Gedong Petir menuju masa paling kelam dalam sejarah Kerajaan Kediri—tahun 1222, saat Perang Ganter pecah dan Kediri runtuh di tangan Ken Arok dari Tumapel.
Ia terbangun di tengah hutan lebat, tubuhnya lelah, telinga masih berdenging karena efek perpindahan waktu. Di kejauhan, ia bisa mendengar dentang gamelan perang dan pekikan rakyat yang melarikan diri.
“ORIGIN, konfirmasi waktu dan lokasi,” bisik Araka.
Waktu: Tahun 1222 M. Lokasi: Hutan Ganter, perbatasan Kediri – Tumapel. Waktu menuju peristiwa utama: 2 hari.
Araka tidak sendirian. Dari balik semak, mata merah menyala mengintainya—Prajurit Kala juga berhasil masuk ke masa ini. Ia sudah lebih dulu bergerak, menyusup ke antara pasukan Tumapel dan membisikkan strategi modern dengan harapan mengacaukan jalannya sejarah.
Araka bertemu kembali dengan Diah Ayuning, yang secara mengejutkan juga ikut terbawa arus waktu. Ia terluka, tapi selamat.
“Jayabaya mengirimku untuk membantumu. Kita harus melindungi satu tempat: Pustaka Ganter.”
Pustaka Ganter adalah perpustakaan rahasia Kediri, tersembunyi di bawah sebuah candi tua di hutan. Di sanalah tersimpan fragmen Spiral Helm kedua, sekaligus naskah ramalan terakhir Jayabaya yang tidak pernah dipublikasikan.
Mereka bergegas ke sana, berhadapan dengan para penjaga tua Kediri yang telah lama bersembunyi. Di tengah reruntuhan candi, mereka menemukan panel kuno dengan ukiran aneh, tampak seperti diagram bintang.
“Ini bukan hanya catatan… ini cetak biru mesin waktu purba,” gumam Araka.
Namun belum sempat mereka membacanya utuh, bumi bergetar.
Prajurit Kala telah tiba. Bersamanya, sekelompok pasukan bayangan—manusia setengah mesin dari masa depan, yang menyamar sebagai siluman dalam legenda rakyat. Mereka membakar Pustaka Ganter, satu per satu gulungan naskah dimakan api.
“Biarkan sejarah mati, dan aku akan menulis yang baru!” teriak Kala dengan suara yang memecah langit.
Dalam kekacauan itu, Araka dan Diah berhasil menyelamatkan sebagian kecil naskah dan fragmen kedua Spiral Helm, namun mereka terluka parah. Araka memutuskan satu hal:
“Kita harus pergi ke akhir... saat Ken Arok naik tahta. Mungkin hanya di sana kita bisa mengakhiri ini.”
Diah memandang Araka dengan pandangan ragu. “Tapi jika kita terus melompat, realitas akan pecah.”
Araka menggenggam tangannya.
“Kalau kita diam, masa depan akan berubah jadi reruntuhan. Aku tak mau hidup di dunia di mana sejarah dikendalikan oleh mesin.”
ORIGIN menghitung koordinat baru. Waktu semakin menipis. Ken Arok telah menang, Kediri akan runtuh. Tapi mungkin… dari reruntuhan itu, Araka bisa menemukan jawaban atas semua yang ia cari—dan apa sebenarnya Spiral Helm itu.
Malam telah turun di Hutan Ganter. Langit menggantung pekat tanpa bulan. Sisa bara dari kebakaran di Pustaka Ganter masih menyala, menimbulkan asap tipis berbau arang dan kertas hangus. Araka dan Diah Ayuning duduk bersandar di batu besar, napas mereka berat, luka di bahu Diah dibalut dengan sobekan kain dari jubah Araka.
“Kita gagal… setengah pustaka hilang,” gumam Diah lirih.
“Tapi tidak semuanya. Lihat ini,” Araka menarik sebuah gulungan yang sebagian hangus dari tas kulitnya. “Ramalan terakhir Jayabaya. Sebagian masih bisa dibaca.”
Naskah itu berisi kata-kata samar, ditulis dengan aksara Kawi kuno dan bercampur kode matematis yang hanya ORIGIN mampu pecahkan. Di tengah-tengah kalimat, ada satu frasa yang berulang:
“Singgasana langit jatuh ke bumi. Dari poros waktu, putra ketujuh akan menyalakan ulang sejarah.”
Diah membacanya dengan suara gemetar. “Putra ketujuh? Apa maksudnya?”
Araka memandang langit gelap. Dalam pikirannya, ada kemungkinan besar bahwa ia sendiri adalah bagian dari ramalan itu—tapi ia belum siap untuk menerimanya.
Fajar menjelang, kabut menyelimuti Ganter. Dari kejauhan, bunyi genderang Tumapel berdentum. Perang telah dimulai. Kediri mempertahankan sisa kehormatannya di bawah komando Raja Kertajaya, yang semakin kehilangan dukungan rakyat dan kaum brahmana akibat arogansinya.
Araka dan Diah menyamar sebagai pengamat. Mereka menyelinap ke bukit kecil, melihat langsung pasukan Kediri yang bertahan dengan peralatan tua dan moril rendah, sementara pasukan Tumapel, dipimpin Ken Arok, tampil dengan senjata modern hasil manipulasi teknologi oleh Kala dan pasukannya.
“Itu bukan teknologi abad 13…” bisik Araka saat melihat senjata panah otomatis dan taktik formasi geometris yang tak lazim pada masa itu.
Kala telah mengubah alur sejarah dengan menyuplai Ken Arok informasi dari masa depan. Jika ini dibiarkan, bukan hanya Kediri yang jatuh, tapi masa depan pun akan terpecah menjadi jalur waktu baru.
“Kita harus menyusup ke markas Tumapel malam ini. Hancurkan pusat kendali Kala,” ujar Araka tegas.
Malam tiba. Araka dan Diah menyelinap ke markas Tumapel yang tersembunyi di balik hutan pinus. Di dalam tenda pusat strategi, mereka melihat Ken Arok sendiri—bukan hanya seorang pemimpin karismatik, tapi tampak seperti orang yang tahu terlalu banyak untuk zamannya.
Tiba-tiba, Araka terkejut. Di leher Ken Arok menggantung pecahan Spiral Helm—pecahan ketiga!
“Itu… milik Jayabaya juga. Tapi bagaimana dia bisa—”
“Karena aku adalah anak dari masa depan juga, Araka,” suara berat menyela.
Dari balik bayangan, Kala muncul, wajahnya separuh logam, separuh manusia. “Ken Arok bukan orang sembarangan. Dialah pion pertamaku. Dan kau… adalah pion terakhir.”
Kala menjelaskan bahwa ia telah menanam benih perubahan sejak berabad lalu. Spiral Helm adalah kunci, pecahan-pecahannya disebar untuk membuka portal waktu menuju Nagara Adhiwiyata—sebuah negeri masa depan di mana sejarah bisa dikendalikan.
“Dengan tiga pecahan ini, aku bisa menulis ulang segalanya. Ken Arok akan menjadi raja pertama dalam sejarah baru… di mana tak ada Kediri. Tak ada Jayabaya. Tak ada kamu,” katanya sambil tertawa.
Araka dan Diah sempat hampir tertangkap, namun dengan bantuan ORIGIN, mereka menciptakan gangguan listrik ringan dari pecahan helm milik Jayabaya yang mereka simpan. Dalam kekacauan itu, mereka berhasil merebut pecahan ketiga dan kabur.
Namun luka mereka semakin parah. Diah mulai lemah. “Araka, kita tak akan bisa terus begini…”
“Kita harus ke Singhasari. Ke masa Ken Arok memproklamasikan dirinya sebagai raja. Hanya di sana kita bisa mengakhiri ini,” jawab Araka, dengan suara getir.
Dari balik semak, mereka menemukan sebuah gua kuno yang dulunya tempat pertapaan pendeta brahmana. Di dalamnya, mereka membuka ketiga pecahan Spiral Helm, dan untuk pertama kalinya, sebuah peta waktu muncul: jaringan garis bercahaya, melingkar dan bercabang, seperti DNA hidup.
“Peta ini… menunjukkan semua kemungkinan sejarah,” gumam Araka.
“Dan di tengahnya… satu jalan utama. Jalan yang seharusnya tidak dilanggar.”
Tahun 1222. Langit Singhasari cerah namun udara terasa berat. Hari ini adalah hari penobatan Ken Arok sebagai raja pertama Singhasari, menandai secara resmi akhir Kerajaan Kediri. Seluruh rakyat berkumpul, membawa persembahan, menyalakan dupa, dan menyanyikan puji-pujian untuk pemimpin barunya.
Tapi Araka dan Diah Ayuning, yang tiba di tempat itu melalui portal waktu dari peta Spiral Helm, tahu bahwa sejarah yang tercatat adalah sejarah yang telah dimanipulasi.
“Jika Ken Arok naik takhta dengan bantuan Kala, masa depan akan berubah drastis. Semua ramalan Jayabaya akan kehilangan makna,” kata Diah, berdiri di antara kerumunan.
Mereka menyamar sebagai peziarah dan menyelinap ke dalam istana kecil tempat penobatan berlangsung. Di atas mimbar batu, Ken Arok berdiri mengenakan jubah emas, dan di belakangnya, tersembunyi dari mata rakyat, adalah Kala, berdiri sebagai penasihat spiritual.
ORIGIN, yang kini mulai menunjukkan kepribadian melalui serpihan hologram dari helm, tiba-tiba bersuara di telinga Araka:
“Waktu telah membuka jalur anomali. Ken Arok bukan hanya perampas takhta. Ia adalah cabang sejarah, dan kamu, Araka, adalah penyeimbangnya.”
Seketika, Araka merasakan dunia di sekitarnya melambat. Di dalam pikirannya, ia melihat kilasan: Jayabaya di masa lalu, Kala di masa depan, dan dirinya—terperangkap di tengah sebagai penjaga keseimbangan.
Kala menyadari kehadiran Araka. Ia turun dari tempatnya dan berhadapan langsung dengannya di tengah ruang takhta yang sunyi. Penjaga istana mendadak membeku, waktu berhenti.
“Araka… kau anak yang gagal. Pecahan helm hanya akan membuatmu gila. Kembalilah ke abadmu dan biarkan sejarah ditulis oleh yang kuat.”
Araka menjawab, suaranya penuh keberanian:
“Sejarah bukan milik satu orang. Dan takdir tak boleh dimonopoli.”
Dalam ruang yang telah menjadi ruang-waktu antara, pecahan helm yang dimiliki Araka dan Diah bersinar terang. Kala mengeluarkan manik waktu—sebuah alat yang menciptakan ilusi sejarah. Ia menyerang dengan memunculkan ilusi masa lalu: prajurit Kediri, wajah ayah Araka, bahkan sosok Jayabaya dalam bentuk bayangan.
Araka bertarung bukan hanya secara fisik, tapi juga secara mental. Ia melawan keraguan, ketakutan, dan trauma masa kecilnya sebagai yatim piatu akibat perang.
Diah berdoa dalam Bahasa Kawi, mengaktifkan peta waktu untuk menyerap energi yang muncul dari konflik batin Araka.
“Araka! Kau bukan hanya penjaga! Kau… putra ketujuh! Pewaris darah rahasia Jayabaya!” teriak Diah, menunjukkan naskah yang ia selamatkan dari Pustaka Ganter.
Araka terpaku. Di dalam naskah itu, tertulis silsilah tersembunyi. Bahwa Jayabaya memiliki anak yang disembunyikan, dan dari garis keturunan itu lahirlah seorang anak dalam bayang-bayang: Araka sendiri.
Kala terguncang. Ia tak menyangka bahwa anak yatim yang ia anggap sebagai pion, justru pewaris darah sejati dari Raja Kediri.
“Itu tak mungkin. Keturunan Jayabaya lenyap!”
“Dan justru karena itu, sejarah tak bisa kau pegang!” teriak Araka.
Araka menggabungkan ketiga pecahan Spiral Helm. Helm itu bersinar menyilaukan, membentuk mahkota holografis yang memperlihatkan garis waktu yang tak terganggu—di mana Jayabaya menyelesaikan ramalannya, Kediri jatuh secara alami, dan Singhasari berdiri tanpa manipulasi teknologi dari masa depan.
Kala mencoba kabur, namun Diah mengaktifkan segel dari manik waktu yang dicuri dari markas Tumapel sebelumnya. Portal terbalik terbuka dan menyedot Kala kembali ke abad yang entah di mana.
Waktu kembali berjalan. Ken Arok berdiri linglung di hadapan rakyat, seakan baru sadar dari mimpi panjang.
“Aku… di mana?” katanya, suaranya rendah.
Araka mendekat, menyerahkan mahkota emas pada Ken Arok, lalu membisikkan sesuatu di telinganya:
“Tulis sejarahmu sendiri. Tapi jangan ulangi kesalahan Kediri. Rakyat lebih penting dari ambisi.”
Ken Arok mengangguk, dan untuk pertama kalinya dalam sejarah, Singhasari berdiri bukan sebagai hasil kudeta semata, tapi sebagai kerajaan baru yang sadar akan luka sejarah yang ia timpa.
Kilatan cahaya dari Spiral Helm memantul ke segala arah. Araka dan Diah terlempar kembali ke dunia mereka, tepat di ruang bawah tanah Museum Nasional yang selama ini menjadi tempat penyimpanan peninggalan Jayabaya.
Namun saat mereka berdiri kembali, dunia terasa… berbeda.
Bukan hanya udara yang lebih bersih atau arsitektur yang berubah, tapi pameran utama di museum kini tak lagi menampilkan "Kejatuhan Kediri", melainkan "Transisi Kediri Menuju Singhasari: Sebuah Evolusi Damai".
Diah menyentuh layar interaktif pameran dan membaca keras-keras:
"Penemuan terbaru naskah Pustaka Ganter membuktikan bahwa Ken Arok diangkat oleh dewan rakyat dan keturunan Jayabaya yang tak dikenal—seseorang bernama Araka."
Mereka saling menatap. Sejarah telah berubah, namun tak sepenuhnya. Spiral Helm hanya membetulkan simpul waktu yang dipelintir oleh Kala. Dunia tetap mengenal Singhasari, namun tanpa darah dan pengkhianatan yang mengaburkan kebenaran.
Di laboratorium ORIGIN, layar-layar mulai menampilkan sinyal gangguan waktu. Diah memperbesar salah satunya dan melihat… China, tahun 1279. Kekaisaran Song di ambang keruntuhan. Sebuah simbol yang sama dengan Spiral Helm muncul di layar—dengan pola baru.
Araka bergumam:
“Ini belum selesai. Spiral Helm bukan sekadar peta waktu… tapi sistem navigasi sejarah yang selalu berubah.”
Diah menambahkan:
“Dan selama ada yang mencoba menulis ulang sejarah demi kepentingan sendiri, kita harus terus menjaga porosnya.”
Di reruntuhan gua waktu tempat Araka pertama kali menemukan pecahan helm, sesosok siluet berdiri. Bayangannya menyatu dengan batu, tapi matanya menyala merah—Kala belum benar-benar lenyap. Ia tersenyum samar.
“Mereka pikir ini tentang Kediri… padahal ini hanyalah bab pertama dari teka-teki.”
Lalu ia memanggil sebuah nama yang hanya terdengar oleh angin:
“Kubilaikhan.”