Loading...
Logo TinLit
Read Story - 7°49′S 112°0′E: Titik Nol dari Sebuah Awal yang Besar
MENU
About Us  

Kabut tipis menyelimuti lereng Gunung Kelud ketika matahari mulai mengintip malu-malu di balik pepohonan jati yang menjulang. Di sinilah Bayu berdiri, remaja 16 tahun itu menatap ke arah lembah, tempat di mana suara gemericik air dan desir angin membawa kenangan yang tak pernah hilang—kenangan tentang Araka.

Simbah berdiri di belakangnya, mengenakan baju batik dan jaket lusuhnya yang setia menemani sejak masa muda. Di tangannya tergenggam sebuah gulungan lontar yang telah menguning, satu dari sekian banyak peninggalan kuno yang mereka kumpulkan selama bertahun-tahun dalam pencarian Araka.

"Sudah hampir dua tahun sejak dia menghilang..." gumam Bayu lirih.

Simbah hanya mengangguk, pandangannya tajam menelusuri perbukitan di kejauhan.

"Aku masih yakin, Bayu... Araka tidak menghilang. Ia melakukan perjalanan waktu. Kau ingat tanda-tandanya, kan?"

Bayu mengangguk pelan. Ia masih ingat hari terakhir melihat Araka. Sejak saat itu, Araka menghilang begitu saja, tanpa jejak. Namun sejak itulah pula Bayu dan Simbah memulai pencarian besar, menjelajahi desa demi desa, hutan demi hutan, hingga perpustakaan tua yang menyimpan sejarah kerajaan-kerajaan Jawa kuno.

Kali ini, mereka berada di kaki Gunung Kelud, mengikuti petunjuk baru dari sebuah prasasti yang ditemukan warga Dusun Pagerwojo—prasasti yang menyebutkan nama seorang "anak muda dengan kekuatan cahaya" yang bertemu langsung dengan Kublai Khan, cucu legendaris Jenghis Khan dan penguasa Dinasti Yuan dari Mongol.

Simbah membentangkan gulungan lontar itu. Di sana tergambar peta kasar, dengan simbol naga berkepala dua dan tulisan aksara Kawi yang samar. Bayu menatapnya lekat-lekat, mencoba membaca makna di baliknya.

"Simbol ini... sama seperti yang ada di ukiran Candi Surowono!" seru Bayu tiba-tiba.

Simbah tersenyum puas. "Tepat. Dan kau tahu apa artinya?"

Bayu menarik napas panjang. "Jejak Araka... membawanya ke masa ketika Kublai Khan mengirim pasukan ke Jawa."

"Dan jika benar dia berada di masa itu," lanjut Simbah dengan suara berat, "maka waktu kita tak banyak. Kau tahu sendiri apa yang terjadi setelah ekspedisi itu. Perang. Kekacauan. Pengkhianatan."

Bayu menelan ludah. Jantungnya berdegup lebih cepat. Selama ini ia mengira Araka hanya tersesat di masa lalu. Tapi jika Araka benar-benar berada di masa Dinasti Yuan, di antara gejolak perebutan kekuasaan Mongol dan kerajaan-kerajaan Nusantara, maka keselamatannya tak bisa dijamin.

Simbah menatap Bayu dalam-dalam. "Kau sudah siap, Nak?"

Bayu mengangguk mantap. "Sudah, Simbah. Demi Araka... dan demi kebenaran sejarah yang ingin dia perlihatkan kepada kita semua."

Dan di sanalah mereka berdiri, dua generasi berbeda, namun satu tujuan: menemukan kembali Araka yang hilang di antara lipatan waktu—dan menghadapi sejarah yang mungkin lebih gelap dan penuh rahasia daripada yang selama ini diajarkan di sekolah.

Angin dingin gurun bertiup kencang, membawa butiran pasir yang memukul-mukul wajah seorang pemuda bertubuh kecil namun sorot matanya tajam—Araka. Rambutnya kini panjang tak terurus, wajahnya lebih dewasa dari usianya yang seharusnya, meski dalam jiwanya, ia masih anak muda dari Kediri yang haus akan petualangan dan ilmu.

Sudah tiga bulan waktu berlalu sejak ia pertama kali terbangun di benteng Karakorum—ibu kota kekaisaran Mongol. Sebuah prasasti kuno di candi tua membawa dirinya secara misterius ke masa lalu, dan kini ia berada di tengah kekuasaan dunia yang asing namun mengagumkan. Ia belajar bahasa Mongol Kuno dari seorang biksu Tibet, belajar strategi perang dari seorang jenderal Uighur, dan diam-diam—mencatat semua yang ia lihat dalam gulungan bambu yang selalu ia sembunyikan di balik bajunya.

Tapi yang paling mengejutkan dari semua itu adalah... Kublai Khan tahu namanya.

"Araka dari tanah selatan," ucap sang Khan suatu malam, dari takhta emasnya yang dikelilingi permadani sutra dan ukiran naga. "Kau bukan dari dunia ini, bukan pula dari zaman ini. Namun aku melihat masa depan di matamu."

Araka hanya bisa terdiam. Tubuhnya menggigil bukan karena takut, tapi karena beratnya beban pengetahuan yang ia bawa.

"Aku tidak tahu bagaimana aku bisa sampai di sini, Yang Mulia," jawab Araka dengan bahasa campur aduk. "Tapi aku ingin kembali."

Kublai Khan tertawa pelan. "Kembali? Dunia tidak mengenal 'kembali', anak muda. Tapi kau bisa memilih. Tetap di sini, belajar dariku, menjadi penulis sejarah, atau... pergi ke selatan, ke Jawa, tempat negerimu berada. Tapi ketahuilah, armadaku sedang menuju ke sana. Raja kalian menolak tunduk. Darah akan tumpah."

Araka merasa jantungnya berdentum keras. Ia tahu masa yang ia masuki adalah masa sebelum invasi Mongol ke Jawa—saat Jayakatwang mengkhianati Kertanegara, dan Majapahit belum bangkit. Semua itu… sejarah yang dulu hanya ia hafalkan demi nilai ujian, kini menjadi kenyataan pahit di hadapannya.

"Aku harus memperingatkan mereka... Kediri, Singhasari, siapa pun yang mau mendengar."

"Tapi jika kau pergi," lanjut Kublai Khan tajam, "kau akan kehilangan perlindungan dan mungkin... jalan pulang ke zamanmu."

Araka memejamkan mata. Dalam benaknya, wajah Bayu dan Simbah melintas. Ia ingat janji mereka bertiga—mengungkap sejarah Indonesia dengan cara yang belum pernah dilakukan siapa pun. Tapi sekarang, ia sendirian, dan di pundaknya... masa depan tanah airnya mungkin sedang dipertaruhkan.

Malam itu, langit Karakorum mendung. Araka menatap langit dan bertanya dalam hati—apa yang harus ia lakukan? Bertahan dan belajar sejarah dari sumbernya? Atau mempertaruhkan segalanya untuk kembali ke Jawa dan mengubah arah sejarah yang akan datang?

Dan jauh di masa depan, di Kediri, Bayu mulai membaca gulungan lontar kuno yang memuat simbol dan peta—gulungan yang perlahan membentuk... jejak Araka.

Langit sore Kediri mulai memerah, menyisakan semburat jingga di balik reruntuhan candi tua. Bayu menggenggam erat gulungan lontar yang baru saja mereka temukan bersama Simbah. Lembarannya tua dan berbau debu, tapi simbol-simbolnya masih jelas—bahasa Sansekerta bercampur tulisan Cina Kuno. Ini bukan naskah biasa.

"Simbol ini... bukan dari zaman Singhasari," ucap Bayu, menunjuk lambang yang menyerupai cap kerajaan dengan karakter 元—Yuan.

Simbah mendekat, matanya tajam menelusuri setiap garis. "Bayu, ini bukan hanya naskah... ini semacam pesan. Lihat bagian bawah ini." Ia menunjuk pada goresan samar yang, bila diterawang ke cahaya, membentuk peta pulau Jawa dengan titik terang di bagian utara—di sekitar Tuban dan Lasem.

“Tempat armada Mongol mendarat...” gumam Bayu pelan.

“Betul,” Simbah mengangguk. “Ini bukan sekadar sejarah, Bayu. Ini peringatan. Dan aku curiga, Araka meninggalkan ini sebagai tanda bahwa dia pernah... atau sedang... berada di masa itu.”

Bayu terduduk di atas batu sambil menatap langit. Semakin hari semuanya menjadi nyata, jauh dari sekadar petualangan seru atau cerita rakyat yang biasa ia dengar dari Simbah. Ini adalah sejarah yang hidup—dan Araka berada di pusatnya.

"Kenapa dia pergi ke masa itu?" tanya Bayu pelan.

Simbah terdiam lama sebelum menjawab, "Mungkin bukan dia yang memilih waktu itu, tapi waktu itu yang memilih dia. Dan bisa jadi... Araka adalah bagian dari penyeimbang sejarah."

Malam pun turun perlahan. Mereka menyalakan obor dan melanjutkan penelusuran ke bagian terdalam candi, di mana relief batu mulai menunjukkan cerita perang besar antara pasukan asing dan prajurit Jawa. Di salah satu panel, terlihat sosok asing berwajah muda dengan rambut panjang dan baju tak lazim. Bayu mendekat, menyinari wajah pada relief itu dengan obor.

"Itu... wajah Araka," bisiknya kaget.

Simbah memejamkan mata. "Araka tidak hanya pergi ke masa lalu, Bayu. Ia ikut menjadi bagian dari sejarahnya."

Kini semuanya menjadi jelas: jika mereka ingin menemukan Araka dan membawanya kembali ke masa sekarang, mereka tak hanya harus memahami sejarah... tapi juga menelusuri sejarah yang berubah karena kehadirannya.

Bayu memandangi lambang di liontin itu yang kini bersinar terang, menyatu dengan cahaya yang memancar dari batu berukir di kaki Gunung Lawu. Cahaya itu makin menguat, lalu berputar membentuk pusaran bercahaya emas—seperti pintu langit yang terbuka di antara kabut.

“Pegang tanganku, Bayu!” seru Simbah, yang tubuhnya mulai terangkat ringan oleh pusaran energi.

Bayu menggenggam tangan Simbah erat. Lalu dalam sekejap, dunia di sekeliling mereka berputar cepat—warna-warni cahaya, suara gamelan bertumpuk-tumpuk, teriakan perang yang bergema entah dari mana. Dan tiba-tiba...

Hening.

Mereka berdiri di tengah hutan bambu, suasana sunyi namun terasa sangat... tua. Pepohonan menjulang dengan akar menggembur, dan suara aliran air dari sungai kecil terdengar jauh di kejauhan. Langit sedikit keunguan, seperti saat senja.

“Di mana ini...?” bisik Bayu.

“Kalau dugaanku benar,” jawab Simbah, “kita telah kembali ke abad ke-13. Sekitar masa Dinasti Yuan dan Kerajaan Singhasari.”

Tiba-tiba terdengar derap kaki kuda dari arah selatan. Bayu dan Simbah cepat-cepat bersembunyi di balik semak. Pasukan berpakaian asing—bermata sipit, berzirah logam, dan mengenakan panji naga biru—melintas cepat. Salah satu di antara mereka membawa bendera bertuliskan karakter Tiongkok: 大元 (Dà Yuán).

“Itu... pasukan Kubilai Khan?” gumam Simbah.

“Berarti kita sudah sangat dekat... dengan Araka.”

Mereka mengikuti alur sungai, hingga tiba di sebuah dataran kecil dengan batu datar besar di tengahnya. Dan di sana—berdiri seorang pemuda berpakaian aneh, setengah modern, setengah tradisional. Ia memandangi langit senja sambil menancapkan semacam benda ke tanah: kompas digital rusak yang telah dibongkar dan disatukan ulang.

Bayu menahan napas. “Itu dia…”

Pemuda itu menoleh perlahan, seperti merasakan sesuatu. Matanya membelalak. “Bayu...? Simbah...?!”

Tubuh Bayu bergetar. “Araka!!”

Dalam sekejap, mereka berlari dan berpelukan. Waktu terasa berhenti.

“Bagaimana... kamu bisa di sini?” tanya Araka dengan suara tercekat.

“Kami mencarimu. Selama bertahun-tahun. Kami menemukan lontar itu... dan petunjuk dari Bapak,” jawab Bayu sambil menatap kakaknya yang kini tampak lebih dewasa, penuh luka dan lelah, namun hidup.

Simbah tersenyum haru. “Kau tak sendiri lagi, Nak. Kami datang menjemputmu.”

Araka menghela napas panjang. “Sebenarnya aku sedang menunggu saat ini... karena ada sesuatu yang lebih besar dari yang kita kira. Bukan hanya soal kembali ke masa depan. Tapi tentang sejarah yang akan berubah... dan pilihan yang harus kita buat.”

Angin malam bertiup pelan. Di kejauhan, nyala api dari perkemahan pasukan asing mulai tampak. Bayu menggenggam erat liontin Araka.

“Kita hadapi bersama,” ucapnya pelan.

Dan malam pun menjadi saksi—bahwa waktu tak mampu memisahkan darah dan tekad. Tiga generasi, terhubung oleh rahasia sejarah, kini bersatu kembali... tepat saat badai perang dan kebangkitan Majapahit mulai mendekat.

Langit mulai berubah warna dari merah lembayung menjadi kebiruan pekat. Araka berdiri di antara Simbah dan Bayu, mengamati lingkaran batu yang kini memendar samar. Waktu telah memberi mereka kesempatan untuk bertemu kembali—namun juga memanggil mereka untuk kembali ke tempat asal.

“Sudah waktunya, Nak,” bisik Simbah sambil menepuk bahu Araka.

Araka mengangguk pelan. Ia membuka liontin kecil pemberian Ibunya, menyentuh batu kristal di tengahnya. Seketika cahaya putih menyelimuti tubuh mereka bertiga. Suara angin kencang menderu, lalu semuanya gelap.

Ketika cahaya itu menghilang, mereka mendapati diri mereka berdiri di tengah sawah, di pinggir Desa Panataran, Kediri. Angin sore berhembus lembut, bau tanah basah menyeruak, dan suara burung kembali terdengar.

Bayu terduduk di tanah. “Kita pulang…”

Simbah tersenyum haru. “Alhamdulillah. Kali ini, lengkap.”

Araka menatap rumah joglo tua di kejauhan—rumah Simbah. Sudah bertahun-tahun ia tinggalkan, tapi aroma kayunya masih sama, dan suara angin di sela gentengnya tetap membisikkan kenangan masa kecil.

Mereka bertiga kembali menetap di rumah Simbah. Warga desa menyambut dengan hangat meski penuh tanya. Araka, yang sempat dinyatakan hilang saat berusia 18 tahun, kini kembali sebagai lelaki dewasa, membawa kisah yang hanya bisa ia simpan bersama keluarganya.

Hari-hari mereka kini tenang. Araka membantu Simbah bertani dan menjaga rumah, Bayu melanjutkan sekolahnya di SMA negeri di kota, namun kini dengan tekad dan semangat yang lebih besar. Ia sering menulis diari, mencatat seluruh petualangan mereka—bukan untuk dibukukan, melainkan untuk dikenang sebagai warisan keluarga.

Pada suatu sore, saat mereka duduk bersama di serambi rumah, Simbah berkata,
“Waktu itu tak selalu lurus, kadang berputar dan menuntun kita ke tempat yang tak pernah kita duga. Tapi keluarga... selalu jadi titik pusatnya.”

Araka tersenyum. “Apa yang terjadi dulu... mengubah caraku memandang dunia. Kita tak bisa mengubah sejarah, tapi kita bisa belajar darinya.”

Bayu menatap ke langit sore. “Dan mungkin, suatu hari... kalau waktu memanggil lagi, kita siap menjawabnya.”

Di kejauhan, matahari terbenam di balik Gunung Kelud. Cahaya oranye membelah cakrawala, seolah menutup lembaran kisah yang telah mereka jalani—namun juga menyisakan ruang bagi petualangan baru.

Karena waktu... tak pernah benar-benar berakhir.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Kainga
1125      660     12     
Romance
Sama-sama menyukai anime dan berada di kelas yang sama yaitu jurusan Animasi di sekolah menengah seni rupa, membuat Ren dan enam remaja lainnya bersahabat dan saling mendukung satu sama lain. Sebelumnya mereka hanya saling berbagi kegiatan menyenangkan saja dan tidak terlalu ikut mencampuri urusan pribadi masing-masing. Semua berubah ketika akhir kelas XI mereka dipertemukan di satu tempat ma...
Unframed
464      350     5     
Inspirational
Abimanyu dan teman-temannya menggabungkan Tugas Akhir mereka ke dalam sebuah dokumenter. Namun, semakin lama, dokumenter yang mereka kerjakan justru menyorot kehidupan pribadi masing-masing, hingga mereka bertemu di satu persimpangan yang sama; tidak ada satu orang pun yang benar-benar baik-baik saja. Andin: Gue percaya kalau cinta bisa nyembuhin luka lama. Tapi, gue juga menyadari kalau cinta...
Lantunan Ayat Cinta Azra
805      529     3     
Romance
Perjalanan hidup seorang hafidzah yang dilema dalam menentukan pilihan hatinya. Lamaran dari dua insan terbaik dari Allah membuatnya begitu bingung. Antara Azmi Seorang hafidz yang sukses dalam berbisnis dan Zakky sepupunya yang juga merupakan seorang hafidz pemilik pesantren yang terkenal. Siapakah diantara mereka yang akan Azra pilih? Azmi atau Zakky? Mungkinkah Azra menerima Zakky sepupunya s...
TANPA KATA
18      17     0     
True Story
"Tidak mudah bukan berarti tidak bisa bukan?" ucapnya saat itu, yang hingga kini masih terngiang di telingaku. Sulit sekali rasanya melupakan senyum terakhir yang kulihat di ujung peron stasiun kala itu ditahun 2018. Perpisahan yang sudah kita sepakati bersama tanpa tapi. Perpisahan yang tidak pernah terbayangkan sebelumnya. Yang memaksaku kembali menjadi "aku" sebelum mengenalmu.
BestfriEND
32      28     1     
True Story
Di tengah hedonisme kampus yang terasa asing, Iara Deanara memilih teguh pada kesederhanaannya. Berbekal mental kuat sejak sekolah. Dia tak gentar menghadapi perundungan dari teman kampusnya, Frada. Iara yakin, tanpa polesan makeup dan penampilan mewah. Dia akan menemukan orang tulus yang menerima hatinya. Keyakinannya bersemi saat bersahabat dengan Dea dan menjalin kasih dengan Emil, cowok b...
Hello, Me (30)
19185      893     6     
Inspirational
Di usia tiga puluh tahun, Nara berhenti sejenak. Bukan karena lelah berjalan, tapi karena tak lagi tahu ke mana arah pulang. Mimpinya pernah besar, tapi dunia memeluknya dengan sunyi: gagal ini, tertunda itu, diam-diam lupa bagaimana rasanya menjadi diri sendiri, dan kehilangan arah di jalan yang katanya "dewasa". Hingga sebuah jurnal lama membuka kembali pintu kecil dalam dirinya yang pern...
VampArtis United
924      599     3     
Fantasy
[Fantasi-Komedi-Absurd] Kalian harus baca ini, karena ini berbeda... Saat orang-orang bilang "kerja itu capek", mereka belum pernah jadi vampir yang alergi darah, hidup di kota besar, dan harus mengurus artis manusia yang tiap hari bikin stres karena ngambek soal lighting. Aku Jenni. Vampir. Bukan yang seram, bukan yang seksi, bukan yang bisa berubah jadi kelelawar. Aku alergi darah. B...
40 Hari Terakhir
500      415     1     
Fantasy
Randy tidak pernah menyangka kalau hidupnya akan berakhir secepat ini. Setelah pertunangannya dengan Joana Dane gagal, dia dihadapkan pada kecelakaan yang mengancam nyawa. Pria itu sekarat, di tengah koma seorang malaikat maut datang dan memberinya kesempatan kedua. Randy akan dihidupkan kembali dengan catatan harus mengumpulkan permintaan maaf dari orang-orang yang telah dia sakiti selama hidup...
Perjalanan yang Takkan Usai
322      267     1     
Romance
Untuk pertama kalinya Laila pergi mengikuti study tour. Di momen-momen yang menyenangkan itu, Laila sempat bertemu dengan teman masa kecil sekaligus orang yang ia sukai. Perasaan campur aduk tentulah ia rasakan saat menyemai cinta di tengah study tour. Apalagi ini adalah pengalaman pertama ia jatuh cinta pada seseorang. Akankah Laila dapat menyemai cinta dengan baik sembari mencari jati diri ...
Jadi Diri Sendiri Itu Capek, Tapi Lucu
1741      713     5     
Humor
Jadi Diri Sendiri Itu Capek, Tapi Lucu Buku ini adalah pelukan hangat sekaligus lelucon internal untuk semua orang yang pernah duduk di pojok kamar, nanya ke diri sendiri: Aku ini siapa, sih? atau lebih parah: Kenapa aku begini banget ya? Lewat 47 bab pendek yang renyah tapi penuh makna, buku ini mengajak kamu untuk tertawa di tengah overthinking, menghela napas saat hidup rasanya terlalu pad...