Angin berembus pelan, membawa aroma kayu basah dan dupa dari kejauhan. Ketika Araka membuka mata, ia tidak lagi berada di bukit itu.
Ia berdiri di tengah pasar yang hidup—di mana pedagang menawar kain sutra dari India, pemuda-pemuda memikul kendi air, dan suara gamelan terdengar samar dari keraton di kejauhan. Matahari menyorot dari atas, tapi terasa berbeda—seolah waktu sendiri menjadi lebih tua, lebih lambat.
“Selamat datang di Dhaha, pusat Kerajaan Panjalu,” suara ORIGIN terdengar, kali ini lembut dan datar.
“Tahun ini adalah 1135 Masehi. Raja Jayabaya baru saja naik takhta.”
Araka melangkah pelan, terperangah. “Jayabaya? Raja yang bisa melihat masa depan?”
“Benar. Di sinilah ramalan-ramalan yang mengguncang nusantara lahir.
Tapi ada sesuatu yang tidak tercatat dalam sejarah.”
Tiba-tiba, dari gang sempit muncul seseorang—berjubah kelana, matanya tajam, dan tongkat yang nyaris serupa dengan milik Araka di tangannya. Ia menatap Araka sejenak, lalu menyeringai kecil.
“Tak kusangka akan melihat penerus di sini,” ujarnya dalam bahasa Jawa kuno yang secara ajaib bisa Araka pahami.
“Siapa kamu?” tanya Araka, waspada.
“Aku... Mpu Ranubhaya. Penjaga Waktu sebelum kau. Dulu aku adalah penasihat rahasia Sri Jayabaya.”
ORIGIN membisikkan,
“Ia menghilang dari sejarah setelah Pralaya Dhaha—peristiwa yang disembunyikan dari catatan sejarah.”
Ranubhaya memimpin Araka menuju sebuah lorong rahasia di bawah pura tua. Di sana tergambar relief cerita panjang:
Relief itu bercerita:
- Tentang Kerajaan Kahuripan yang pecah menjadi Janggala dan Panjalu (Kediri) setelah Raja Airlangga turun takhta.
- Tentang bagaimana Kediri berkembang pesat dalam perdagangan, kesusastraan, dan militer.
- Dan tentang Raja Jayabaya, yang mempersatukan kembali tanah Jawa dan menjadi simbol kebangkitan.
Namun, di akhir relief, ada sesuatu yang tidak biasa: gambar seorang raja dengan mata menyala, berdiri di hadapan pusaran waktu—dengan tiga artefak mengambang di sekitarnya.
“Jayabaya bukan hanya seorang raja,” ujar Ranubhaya.
“Ia adalah Penglihat Masa. Ia menulis ramalan bukan berdasarkan ilham semata... tapi karena ia pernah melihat masa depan dengan Spiral Helm.”
Araka terdiam. “Jadi... helm itu pernah dipakai oleh dia?”
Ranubhaya mengangguk. “Dan itu hampir menghancurkan tanah Jawa.”
“Helm itu adalah awal sekaligus akhir,” kata Ranubhaya, suaranya berat saat ia menyentuh bagian relief yang menggambarkan Spiral Helm—sebuah benda berwarna hitam keemasan yang melingkar, hampir seperti mahkota dewa.
“Jayabaya menemuinya bukan dalam perang... tapi dalam meditasi panjang di Gua Wilis. Ia mengaku mendengar suara-suara dari masa depan, melihat mesin, kapal terbang, dan manusia yang berbicara lewat cahaya.”
Araka mencatat setiap kata. Sejarah yang ia ketahui terasa seperti hanya permukaan dangkal dari samudra yang lebih dalam.
Ranubhaya melanjutkan, “Ia menciptakan ramalan-ramalan yang kelak dikenal luas—termasuk ramalan tentang kedatangan penjajah asing dan sosok ‘Ratu Adil’. Tapi yang tak pernah ditulis adalah satu hal: Jayabaya pernah mencoba mengubah sejarah.”
“Ia ingin menghapus perang saudara antara Kediri dan Janggala sebelum pecah. Tapi ketika ia melangkah terlalu jauh, waktu menolak.”
Pusaran waktu itu, ujar Ranubhaya, hampir menelan kota Dhaha. Dan sejak saat itu, Jayabaya menghilang dari catatan resmi—dikabarkan “moksha” atau mencapai keabadian.
Tapi menurut Ranubhaya, Jayabaya dikurung oleh waktu itu sendiri, di sebuah dimensi batas antara masa lalu dan masa depan.
Langkah mereka berhenti di depan ruang bawah tanah tua. Di dalamnya, dinding-dinding penuh dengan aksara Kawi yang bercahaya samar, dan di tengah ruangan, sebuah fragmen logam spiral melayang di atas tatakan batu.
Araka berjalan mendekat.
“Itulah pecahan pertama Spiral Helm,” kata Ranubhaya.
“Jayabaya memecah helm itu menjadi tiga bagian dan menyebarnya ke tiga zaman—agar tak seorang pun dapat menyatukannya lagi.”
“Lalu kenapa aku dibawa ke sini?”
Ranubhaya menatap Araka dalam-dalam. “Karena sejarah sedang mengulang dirinya. Dan orang-orang yang sama—dengan niat yang sama—sedang mencarinya lagi.”
Tiba-tiba, tanah bergetar. Relief pada dinding menyala satu demi satu. Angin dingin menguar.
ORIGIN memperingatkan: “Waktu tak stabil di wilayah ini. Interferensi terdeteksi.”
Ranubhaya mendesak, “Ambil pecahannya. Sekarang! Sebelum waktu menolak keberadaanmu!”
Dengan gemetar, Araka menyentuh pecahan Spiral Helm. Sesaat, semuanya lenyap dalam cahaya putih yang menyilaukan.
Cahaya menyilaukan memudar, dan dunia di sekeliling Araka berubah. Ia tidak lagi berada di ruang bawah tanah, melainkan… di puncak sebuah bukit, di kejauhan terlihat kota tua dengan dinding batu bata merah dan bendera kerajaan berkibar lamban.
"Ini… Kediri?" bisiknya, tak percaya.
“Kau di masa lalu,” suara ORIGIN terdengar di telinganya, kini lebih halus.
“Sambungan lintas waktu terpicu akibat kontak langsung dengan fragmen Spiral Helm. Kita hanya punya waktu singkat.”
Angin membawa aroma dupa dan tanah basah. Kota yang terbentang di hadapannya adalah Dhaha, ibu kota Kerajaan Kediri di masa jayanya. Ia melihat iring-iringan prajurit berjalan menuju alun-alun, dipimpin oleh seorang lelaki berjubah putih keemasan—wajahnya tegas, mata tajam.
Itulah Sri Maharaja Jayabaya.
Araka berdiri terpaku, menyadari bahwa ia sedang menyaksikan salah satu peristiwa penting dalam sejarah: hari di mana Jayabaya secara rahasia mengumumkan proyek rahasia kerajaan yang tak pernah ditulis dalam sejarah manapun—"Dharma Langit", atau Proyek Langit".
Bersama ORIGIN yang mulai beradaptasi dengan waktu lokal, Araka menyelinap ke bagian belakang istana, dibantu oleh seorang pengawal wanita muda bernama Diah Ayuning yang ternyata bisa melihat semacam kilatan aneh saat Araka muncul.
“Kau… bukan dari zaman ini,” katanya dengan lirih, sambil menatap mata Araka. “Kau bagian dari ramalan itu, bukan?”
Diah Ayuning adalah keturunan para penjaga rahasia Jayabaya—sebuah garis keturunan yang telah bersumpah untuk melindungi Spiral Helm dan mencegah kehancuran waktu.
Di sebuah ruangan rahasia yang disebut Gedong Petir, Jayabaya ternyata telah mengembangkan alat aneh berbentuk cakram perunggu, yang diduga bisa membuka “gerbang lintas zaman”—peninggalan dari leluhur jauh, yang bahkan lebih tua dari Majapahit, bahkan Atlantis versi Jawa: Sundapura.
Namun, ada satu masalah:
“Seseorang dari masa depan juga kembali ke sini, mencari fragmen kedua,” ujar Diah, matanya gelap.
“Namanya Prajurit Kala. Ia datang dengan api. Ia ingin membangkitkan Kediri bukan untuk kejayaan, tapi sebagai imperium waktu.”
Saat malam turun, Araka akhirnya bertemu langsung dengan Jayabaya—yang menatapnya seolah telah menunggu sejak lama.
“Kau anak dari garis pengembara,” kata Jayabaya.
“Kita berdua adalah penjaga, bukan penguasa. Tapi kali ini, sejarah meminta kita untuk memilih.”
Jayabaya menyerahkan sebuah peta lintas waktu dan satu kalimat kunci:
“Jika kau ingin menyelamatkan masa depanmu, pergilah ke tempat di mana Kediri jatuh… dan bangkit lagi. Tempat itu bukan hanya kota, tapi ingatan.”
Tiba-tiba, dari langit muncul cahaya merah—Prajurit Kala telah menemukan mereka.
Langit pecah. Araka hanya punya satu pilihan.
“ORIGIN, buka gerbang waktu. Tujuannya: masa keruntuhan Kediri. Aku harus ke sana sebelum dia!”