Loading...
Logo TinLit
Read Story - 7°49′S 112°0′E: Titik Nol dari Sebuah Awal yang Besar
MENU
About Us  

Angin dini hari berembus melewati celah-celah dinding papan rumah Simbah. Bau embun dan kayu basah memenuhi udara. Di luar, Bayu masih terlelap, satu kaki menggantung dari ranjang anyaman. Tapi Araka sudah duduk di beranda, memandangi foto Polaroid di tangannya.

“ChronoShield Unit...” gumamnya pelan. Kata itu terasa asing namun akrab, seperti lagu masa kecil yang terlupa nadanya tapi membekas iramanya.

Foto itu telah mengubah segalanya.

Setiap malam, ORIGIN menambahkan sedikit demi sedikit informasi ke dalam pikirannya. Tapi Araka sadar, sistem itu bekerja seperti luka yang mengering perlahan, tak bisa dipaksa, tak bisa dipercepat. Dan malam ini, untuk pertama kalinya, suara ORIGIN terdengar jelas.

“Araka Thales, kamu bukan hanya operator. Kamu adalah Sang Pewaris: individu terakhir dari garis utama Project Temporal Nexus. Misi ini bukan hanya koreksi, tapi penyambung kesinambungan peradaban.”

Araka terdiam. Sang Pewaris? Kalimat itu terlalu berat untuk seseorang yang baru belajar menumbuk ketela seminggu lalu.

“Kenapa aku?” tanyanya, setengah berbisik.

“Karena kau satu-satunya yang bisa menanggung ingatan dua masa, tanpa hancur.”

Ia mendongak. Di langit, bintang-bintang mulai meredup, perlahan ditelan sinar fajar. Tapi satu bintang, paling terang, tetap bertahan. Araka menatapnya lama, lalu turun dari beranda.

Hari itu, ia memilih jalur berbeda dari biasanya. Bukan ke sawah bersama Bayu, bukan ke pasar membantu Bu Minah. Ia berjalan ke arah hutan kecil di belakang bukit. Sesuatu di dalamnya terasa... menarik. Seperti panggilan diam yang hanya bisa didengar oleh kesadaran yang terhubung lintas waktu.

Langkahnya melewati pohon-pohon jati tua, akar-akar yang menjulur seperti urat bumi, dan suara dedaunan yang berdesir seperti bisikan. Hingga ia tiba di sebuah batu besar, hampir seperti altar alami, yang ditumbuhi lumut dan anggrek liar. Tapi bukan itu yang membuatnya berhenti.

Ada seseorang di sana.

Lelaki tua, berjubah coklat lusuh, duduk bersila di atas batu, seperti sudah menunggunya sejak lama.

“Araka Thales,” ucapnya pelan, namun suaranya menggetarkan udara sekitarnya.

Jantung Araka berhenti sepersekian detik. “Kamu siapa?”

Orang tua itu membuka matanya perlahan. Mata kelamnya seperti menyimpan refleksi ribuan musim yang telah lewat. “Aku adalah Pendahulu. Salah satu dari Tujuh Penjaga sebelum Nexus runtuh.”

Araka bergeming. “Kau... tahu tentang ChronoShield?”

Lelaki itu tersenyum. “Kau lahir di dalamnya. Tapi kau dilahirkan kembali di sini, di waktu yang salah, dengan alasan yang belum sepenuhnya kau mengerti.”

“Kenapa aku tak ingat apa-apa?”

“Karena kamu ditanam. Seperti benih yang harus tidur dalam tanah sebelum tumbuh.”

Araka melangkah pelan, mendekat. “Apa yang terjadi dengan masa depan? Aku melihat—kehancuran.”

Pendahulu mengangguk pelan. “Karena satu jalur telah menyimpang. Seseorang menulis ulang sejarah kecil dan dari percikan itu, api besar muncul. Tapi waktumu untuk memahami semuanya belum tiba. Hari ini, aku hanya akan memberikan satu hal.”

Ia membuka gulungan kain dari tas kulit di sampingnya. Di dalamnya: sebatang logam panjang, mirip tongkat, tapi berpendar samar seperti menyimpan cahaya dalam.

“Scepter Temporal,” ucap sang Pendahulu. “Bukan senjata. Tapi kunci. Ia hanya menyala jika digunakan oleh pewarisnya.”

Araka ragu, lalu menyentuh benda itu. Seketika, seberkas cahaya biru menyusup dari logam itu ke tangannya, menyusuri pembuluh darahnya, membuat jantungnya berdebar tak karuan. Cahaya itu bukan menyilaukan tapi menenangkan. Seperti kembali ke rumah.

“Ini milikmu,” ujar sang Pendahulu. “Dan mulai hari ini, kamu harus bersiap. Sebab gerbang waktu hanya bisa dijaga oleh mereka yang mengingat siapa dirinya.”

Araka mencoba bicara, bertanya lebih banyak. Tapi saat ia mengangkat kepala Pendahulu itu sudah tak ada. Seakan menghilang bersama kabut pagi yang menelan hutan. 

Araka berjalan menuruni bukit dengan langkah berat, menggenggam Scepter Temporal yang kini tampak meredup, seolah tertidur kembali. Ia tak tahu harus memercayai siapa, bahkan dirinya sendiri pun terasa asing. Langkahnya terhenti di tepi sungai kecil, aliran airnya jernih dan dingin, memantulkan cahaya pagi yang perlahan menghangat.

Ia membasuh wajahnya. Di balik semburat cahaya air, ia melihat sesuatu. Sekilas bayangan dirinya, tapi bukan dengan pakaian desa dan tubuh remaja. Sosok itu mengenakan zirah tipis berwarna gelap, helm transparan tergantung di pinggang, dan lambang Nexus Spiral terpampang jelas di dadanya. Ia tersentak mundur.

“Penglihatan sisa,” kata ORIGIN.
“Jejak identitasmu yang mulai bangkit.”

Araka duduk diam di bebatuan tepi sungai, menatap air mengalir. Ia tahu hidupnya tak akan kembali normal. Tapi ia juga tahu: ia belum bisa memberitahu siapa pun, termasuk Bayu.

Langkah kaki dari balik semak membuatnya refleks menutup tongkat logam itu dengan kain. Bayu muncul, tergopoh-gopoh.

“Araka! Kau ke mana saja? Bu Minah bilang kau nggak ke pasar. Kupikir kau diculik jin gunung!”

Araka tertawa kecil, meski nada khawatir Bayu nyata. “Cuma cari udara segar.”

Bayu melirik bungkusan kain di pangkuan Araka. “Itu apa?”

“Tongkat bambu,” jawabnya cepat. “Nemulah, tadi ketendang pas jalan.”

Bayu mendekat dan mengerutkan dahi. “Itu bukan bambu, bro. Itu... logam?”

Sebelum Araka bisa menjawab, sebuah suara lirih menyusup dari kejauhan—tidak manusia, tapi juga bukan angin. Nada tinggi, bergetar seperti dengungan serangga dalam tempo cepat.

ZzzzZZZttt—tttrrr—

Langit sedikit menggelap, meski belum waktunya hujan. Araka langsung berdiri. Ia mengenal suara itu. Atau lebih tepatnya, tubuhnya mengenal suara itu.

“Anomali temporal terdeteksi,” bisik ORIGIN.
“Resonansi kelas minor. Tapi tak biasa terjadi di daerah ini.”

Bayu melihat sekeliling. “Kau denger itu?”

Araka mengangguk, matanya menajam. “Kita harus balik.”

Mereka berlari menuruni bukit menuju desa. Tapi saat mereka tiba, sesuatu sudah berubah. Rumah Pak Juwari yang biasanya terbuat dari bilik bambu—sekarang berdinding bata putih bersih dengan jendela kaca modern. Dan di depannya... motor listrik tanpa pengemudi terparkir diam.

Bayu berhenti. “Apa-apaan ini?!”

Warga desa berkumpul, bingung. Beberapa anak menunjuk-nunjuk alat aneh di tangan mereka—mirip tablet, tapi lebih tipis dan tanpa tombol.

Araka mencengkeram lengan Bayu. “Ini... interferensi waktu. Seseorang menggeser serpihan masa depan—dan menempelkannya di sini.”

“Ini bukan kebocoran alami,” gumam ORIGIN.
“Seseorang dengan akses Nexus mencoba memancing deteksi.”

Bayu menarik napas. “Lo ngomong apa sih, Rak? Jelasin!”

Tapi sebelum Araka sempat menjawab, sebuah retakan tipis, seperti kaca pecah di udara kosong, muncul di atas sawah. Dari retakan itu, muncul siluet kabur. Seorang perempuan berambut pendek, mengenakan seragam hitam dengan garis perak di lengan. Ia tidak terlihat sepenuhnya nyata, seolah proyeksi dari tempat lain.

Matanya menatap lurus ke arah Araka. Dan untuk sepersekian detik, bibirnya bergerak.

“Hati-hati, mereka sedang mencari...”

Retakan itu menghilang. Suara berdesing menutup sisa kalimatnya.

Araka membeku. Warga desa panik. Anak-anak menangis. Sementara motor listrik yang tadi diam, kini mulai bergerak sendiri... ke arah tempat Araka berdiri.
 

Motor listrik itu melaju pelan, tanpa pengendara, namun gerakannya pasti, mengarah lurus ke tempat Araka berdiri. Bayu mundur gugup.

“Rak... itu motor bisa nyamperin sendiri. Aku nggak suka ini...”

Araka tak menjawab. Tangannya secara refleks meraih Scepter Temporal yang tersembunyi di balik kain. Saat ia menyentuhnya, tongkat itu berdenyut ringan, seolah merespons ancaman yang tak kasat mata.

“Unit rekognisi,” desis ORIGIN dalam benaknya.
“Kendaraan itu bukan untuk transportasi. Itu pemindai temporal.”

Bayu memegang bahunya. “Kita harus pergi.”

Tapi sebelum mereka bisa bergerak, motor itu berhenti. Dari bagian tengahnya, menyembul sesuatu yang lebih mirip kamera bola kecil dengan lensa memutar cepat—menyapu sekeliling, lalu memusat ke arah Araka.

Klik.

Suara mekanis terdengar. Sebuah cahaya biru menyilaukan menyorot Araka. Seketika tubuhnya tertarik ke belakang, seolah waktu melambat. Kaki-kakinya terasa berat, seperti ditarik ke dua arah berbeda, ke masa kini dan masa yang belum datang.

Bayu menjerit. “RAKA!”

“Tenang,” ujar ORIGIN cepat.
“Aku aktifkan Temporal Cloak. Kau harus pegang tongkatnya erat. Sekarang!”

Araka mengangkat tongkat itu tinggi-tinggi, dan seketika, udara sekitarnya bergetar. Suara klik dan dengungan mesin hilang—motor itu membeku di tempatnya, dan cahaya biru padam seperti lilin yang ditiup.

Udara kembali tenang. Burung kembali berkicau. Waktu berjalan lagi.

Bayu melongo, berkeringat dingin. “Apa barusan...?”

Araka berbalik padanya. “Itu bukan teknologi dari dunia ini. Bukan... dari waktu ini.”

Bayu memicingkan mata. “Aku butuh penjelasan lebih dari ‘itu bukan dari waktu ini’, Rak.”

Araka menghela napas panjang, lalu duduk di tanah. “Bay... kalau aku bilang, aku mungkin bukan cuma anak desa, lo percaya?”

“Aku udah liat motor kesurupan, alat scan aneh, dan langit pecah kayak kaca. Percaya aja sekalian, Rak.”

Araka membuka bungkusan kainnya. Untuk pertama kalinya, ia menunjukkan bentuk asli Scepter Temporal, logam berwarna gelap dengan ukiran aneh yang berubah-ubah seperti aliran sungai di bawah cahaya bulan.

Bayu memandangi tongkat itu. “Itu... apa, Rak?”

“Scepter Temporal,” bisik Araka.
“Kunci antara masa lalu dan masa depan. Dan katanya... aku adalah ‘penerusnya’.”

Sebelum Bayu sempat bertanya lebih jauh, suara berat menggema dari dalam tongkat itu, bukan suara ORIGIN, tapi suara baru, lebih tua dan lebih dalam.

“Akses awal diterima. Validasi sidik waktu: Darah Penerus terkonfirmasi.
Inisiasi Visi Awal dimulai.”

Araka dan Bayu terpaku. Tiba-tiba, seluruh dunia di sekitar mereka memudar. Alam sekitar berubah menjadi ruang kosong penuh bintang. Dan di hadapan mereka, muncul gambaran tiga sosok berdiri di bawah menara spiral raksasa yang mengambang di langit. Salah satu dari ketiganya membawa Scepter Temporal—dan wajahnya... mirip Araka.

Bayu berbisik, “Itu... lo?”

Araka nyaris tak bernapas. “Atau... leluhurku.”

Gambaran itu menghilang secepat ia muncul. Mereka kembali ke tepi sungai, ke tanah dan rumput dan motor yang kini mati total.

“Itu hanya sebagian kecil dari sejarahmu,” kata ORIGIN.
“Dan hanya awal dari yang akan datang.”

Araka berdiri. Wajahnya tak lagi ragu seperti tadi pagi.

Ia belum tahu siapa dirinya sepenuhnya.
Tapi ia tahu—ia tak bisa lagi berpura-pura menjadi orang biasa.
 

Langit mulai memerah. Senja menelan perbukitan kecil itu perlahan-lahan. Tapi tak satu pun dari mereka memedulikan keindahan langit. Mata Araka kosong, pikirannya penuh tanda tanya.

Bayu masih duduk, menatap motor yang kini tampak seperti barang rongsokan. “Jadi... tongkat itu bukan cuma warisan. Tapi juga... pemicu?”

Araka mengangguk perlahan. “Entah bagaimana, ini membuka sesuatu. Memori, mungkin. Atau... jalur ke masa yang bukan milik kita.”

“Bukan milik kita, tapi menjadi tanggung jawab kita,” ujar ORIGIN, suaranya kini lebih dalam, lebih terlibat.
“Araka. Kau adalah bagian dari sebuah garis waktu yang bercabang. Dan tongkat itu, adalah satu dari tiga artefak penentu.”

“Artefak?” tanya Bayu, cepat.

“Tiga Penjaga Waktu,” lanjut ORIGIN.
“Setiap artefak terhubung dengan satu wilayah waktu. Scepter Temporal: masa lalu. Chrono Prism: masa kini. Dan Spiral Helm: masa depan.”

Araka menelan ludah. “Jadi... dua lagi masih ada di luar sana?”

“Ya. Dan mereka tidak selalu berada di tangan yang tepat.”

Bayu berdiri, menepuk-nepuk celananya. “Oke. Aku udah cukup pusing. Tapi kamu tahu Aku nggak bakal ninggalin kamu sendirian. Kita cari dua artefak itu?”

Araka menatap temannya. “Kalau aku tanya kamu kenapa?”

Bayu menyeringai, walau matanya masih menyimpan rasa takut. “Karena kalau dunia mau kacau, mending aku lihat dari barisan depan bersamamu.”

Araka tersenyum tipis. Untuk sesaat, semuanya terasa ringan—sebelum bumi di bawah kaki mereka sedikit bergetar.

“Apa itu gempa?” tanya Bayu cepat.

“Bukan,” kata ORIGIN.
“Itu efek resonansi waktu. Seseorang baru saja mengaktifkan artefak kedua. Jalur waktu bergeser.”

Langit yang semula jingga perlahan berubah menjadi abu-abu kehijauan. Awan menggulung seperti pusaran air. Angin berembus kencang. Waktu terasa... melambat.

Di kejauhan, terdengar ledakan kecil—diikuti oleh gema teredam, seperti suara sesuatu yang ambruk… dari langit.

Araka menoleh tajam. “Itu datang dari arah kota.”

“Jakarta,” ujar ORIGIN.
“Dan itu hanya awal. Spiral Helm... telah bangkit.”

Bayu menatap langit. “Tebakanku, kita nggak bakal tidur nyenyak malam ini.”

Araka mengepalkan tangannya di sekitar tongkat.

Ia belum tahu ke mana semua ini akan membawanya.
Tapi ia tahu satu hal pasti:
Ia tak bisa mundur lagi.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Je te Vois
561      397     0     
Romance
Dow dan Oi sudah berteman sejak mereka dalam kandunganklaim kedua Mom. Jadi tidak mengherankan kalau Oi memutuskan ikut mengadopsi anjing, Teri, yang merupakan teman baik anjing adopsi Dow, Sans. Bukan hanya perihal anjing, dalam segala hal keduanya hampir selalu sama. Mungkin satu-satunya yang berbeda adalah perihal cita-cita dan hobi. Dow menari sejak usia 8 tahun, tapi bercita-cita menjadi ...
Simfoni Rindu Zindy
563      470     0     
Inspirational
Zindy, siswi SMA yang ceria dan gigih, terpaksa tumbuh lebih cepat sejak ayahnya pergi dari rumah tanpa kabar. Di tengah kesulitan ekonomi dan luka keluarga yang belum sembuh, Zindy berjualan di sekolah demi membantu ibunya membayar SPP. Bermodal keranjang jinjing dan tekad baja, ia menjadi pusat perhatian terkadang diejek, tapi perlahan disukai. Dukungan sahabatnya, Rara, menjadi pondasi awal...
Main Character
1004      642     0     
Romance
Mireya, siswi kelas 2 SMA yang dikenal sebagai ketua OSIS teladanramah, penurut, dan selalu mengutamakan orang lain. Di mata banyak orang, hidupnya tampak sempurna. Tapi di balik senyum tenangnya, ada luka yang tak terlihat. Tinggal bersama ibu tiri dan kakak tiri yang manis di luar tapi menekan di dalam, Mireya terbiasa disalahkan, diminta mengalah, dan menjalani hari-hari dengan suara hati y...
CTRL+Z : Menghapus Diri Sendiri
120      107     1     
Inspirational
Di SMA Nirwana Utama, gagal bukan sekadar nilai merah, tapi ancaman untuk dilupakan. Nawasena Adikara atau Sen dikirim ke Room Delete, kelas rahasia bagi siswa "gagal", "bermasalah", atau "tidak cocok dengan sistem" dihari pertamanya karena membuat kekacauan. Di sana, nama mereka dihapus, diganti angka. Mereka diberi waktu untuk membuktikan diri lewat sistem bernama R.E.S.E.T. Akan tetapi, ...
Senja di Balik Jendela Berembun
18      18     0     
Inspirational
Senja di Balik Jendela Berembun Mentari merayap perlahan di balik awan kelabu, meninggalkan jejak jingga yang memudar di cakrawala. Hujan turun rintik-rintik sejak sore, membasahi kaca jendela kamar yang berembun. Di baliknya, Arya duduk termangu, secangkir teh chamomile di tangannya yang mulai mendingin. Usianya baru dua puluh lima, namun beban di pundaknya terasa seperti telah ...
A Sky Between Us
35      30     2     
Romance
Sejak kecil, Mentari selalu hidup di dalam sangkar besar bernama rumah. Kehidupannya ditentukan dari ia memulai hari hingga bagaimana harinya berakhir. Persis sebuah boneka. Suatu hari, Mentari diberikan jalan untuk mendapat kebebasan. Jalan itu dilabeli dengan sebutan 'pernikahan'. Menukar kehidupan yang ia jalani dengan rutinitas baru yang tak bisa ia terawang akhirnya benar-benar sebuah taruha...
Langit Tak Selalu Biru
67      57     4     
Inspirational
Biru dan Senja adalah kembar identik yang tidak bisa dibedakan, hanya keluarga yang tahu kalau Biru memiliki tanda lahir seperti awan berwarna kecoklatan di pipi kanannya, sedangkan Senja hanya memiliki tahi lalat kecil di pipi dekat hidung. Suatu ketika Senja meminta Biru untuk menutupi tanda lahirnya dan bertukar posisi menjadi dirinya. Biru tidak tahu kalau permintaan Senja adalah permintaan...
Kaca yang Berdebu
92      73     1     
Inspirational
Reiji terlalu sibuk menyenangkan semua orang, sampai lupa caranya menjadi diri sendiri. Dirinya perlahan memudar, seperti bayangan samar di kaca berdebu; tak pernah benar-benar terlihat, tertutup lapisan harapan orang lain dan ketakutannya sendiri. Hingga suatu hari, seseorang datang, tak seperti siapa pun yang pernah ia temui. Meera, dengan segala ketidaksempurnaannya, berjalan tegak. Ia ta...
Ada Apa Esok Hari
200      155     0     
Romance
Tarissa tak pernah benar-benar tahu ke mana hidup akan membawanya. Di tengah hiruk-pikuk dunia yang sering kali tak ramah, ia hanya punya satu pegangan: harapan yang tak pernah ia lepaskan, meski pelan-pelan mulai retak. Di balik wajah yang tampak kuat, bersembunyi luka yang belum sembuh, rindu yang tak sempat disampaikan, dan cinta yang tumbuh diam-diamtenang, tapi menggema dalam diam. Ada Apa E...
Finding My Way
573      393     2     
Inspirational
Medina benci Mama! Padahal Mama tunawicara, tapi sikapnya yang otoriter seolah mampu menghancurkan dunia. Mama juga membuat Papa pergi, menjadikan rumah tidak lagi pantas disebut tempat berpulang melainkan neraka. Belum lagi aturan-aturan konyol yang Mama terapkan, entah apa ada yang lebih buruk darinya. Benarkah demikian?