Loading...
Logo TinLit
Read Story - 7°49′S 112°0′E: Titik Nol dari Sebuah Awal yang Besar
MENU
About Us  

Ia tidak tahu berapa lama ia duduk di gang sempit itu. Suara pasar masih terdengar dari kejauhan: tawa bocah, panggilan pedagang, derak gerobak kayu. Tapi di sudut kecil yang teduh, ia sendiri—mengunyah perlahan tempe curian yang sudah dingin, merasakan rasa bersalah menelan rasa lapar. Ia menyeka mulut dengan lengan bajunya, matanya menerawang. Tidak ada yang mencarinya. Tidak ada yang memanggil namanya. Sebab ia belum punya nama.

Ketika matahari sudah mulai condong ke barat, ia bangkit dan mulai berjalan tanpa arah. Setiap sudut desa ini terasa akrab namun asing. Seolah ada versi lain dari dirinya yang pernah melewati jalan-jalan ini, menyentuh pagar bambu yang sama, atau mencium aroma nasi jagung dari tungku yang kini menyala di dapur warga. Tapi itu semua hanya perasaan—tak ada kenangan yang nyata. Hanya getaran samar di dada, seperti gema dari masa lalu yang terkubur dalam-dalam.

ORIGIN tetap diam. Hanya sesekali muncul sebagai suara samar dalam pikirannya, lebih sebagai intuisi ketimbang perintah. Ia tahu bahwa sistem itu menyimpan sesuatu yang besar—memori, mungkin—tapi masih terkunci, menunggu sesuatu untuk memicunya. Sebuah tempat, suara, atau pertemuan.

Langkahnya membawanya ke tepi desa, ke pinggiran sawah yang sudah mulai menguning. Di sana, ia duduk di bawah pohon randu besar. Daunnya rimbun, dan akarnya mencuat dari tanah, menciptakan ruang kecil seperti sarang perlindungan. Ia memejamkan mata.

Bayangan kembali datang. Kota masa depan. Kristal dalam genggaman. Teriakan. Cahaya putih menyilaukan. Kemudian gelap.

Ia tersentak. Masih di sini. Masih sendiri.

"Kamu siapa?"

Suaranya lembut, tapi mengejutkan. Seorang anak laki-laki berdiri tak jauh dari pohon. Umurnya mungkin sepuluh tahun, bertopi lusuh dan membawa tongkat kayu seperti sedang menggembala kambing, meskipun tak ada kambing di sekitarnya.

Ia diam. Anak itu mendekat.

"Kamu bukan orang sini, ya? Bajumu aneh. Kamu nginep di mana?"

Pertanyaan itu membentur kesadarannya. Ia tidak bisa menjawab. Kata-kata tercekat di tenggorokan.

"Namamu siapa?"

Ia mencoba berpikir. Haruskah ia mengatakan yang sebenarnya? Tapi yang sebenarnya pun tidak jelas. Akhirnya ia menggeleng.

"Aku nggak tahu."

Anak itu mengerutkan kening. "Kok bisa? Kamu amnesia?" Ia tampak berpikir keras, lalu duduk di sebelahnya. "Bapak pernah bilang kalau orang bisa lupa semuanya kalau jatuh dari motor. Kamu jatuh dari mana?"

Ia nyaris tertawa, tapi tidak bisa. Jatuh dari motor? Tidak. Ia jatuh dari waktu.

"Aku... nyasar," jawabnya pelan.

"Wah, nyasar sampai ke sini?" Anak itu menunjuk sekeliling. "Ini namanya Desa Kalibendo. Kediri. Kalau kamu nggak punya rumah, kamu ikut aku aja. Aku tinggal sama simbah. Nggak papa nambah satu orang."

Ia memandang anak itu. Wajahnya bersih, matanya jernih. Tidak ada rasa takut atau curiga, hanya kepolosan yang tulus. Untuk pertama kalinya, ia merasa dilihat bukan sebagai penyusup, tapi sebagai seseorang yang bisa diajak pulang.

"Namamu siapa?" Ia balik bertanya.

"Bayu." Anak itu tersenyum lebar. "Yuk, pulang. Sebelum Maghrib, nanti disangka diculik wewe gombel."

Ia mengikuti Bayu melewati jalan tanah yang mulai berdebu, melewati rumah-rumah yang menyalakan lampu minyak, suara adzan Maghrib mulai berkumandang dari surau kecil. Satu per satu jendela tertutup, anak-anak dipanggil masuk, ayam-ayam naik ke kandang.

Rumah Bayu berdiri di pinggir desa, berdinding papan dan beratap seng yang sudah berkarat di beberapa bagian. Tapi halamannya luas, dengan pohon kelapa dan kandang ayam di belakang. Seorang perempuan tua menyambut di depan pintu.

"Mbah, ini orang nyasar. Dia lupa namanya. Bisa tinggal di sini nggak?"

Nenek itu menatapnya lama. Matanya redup tapi tajam, seperti bisa melihat menembus kulit. Kemudian ia mengangguk pelan. "Kalau dia niat baik, rumah ini selalu ada tempat."

Malam itu, ia tidur di atas tikar pandan, di ruang depan yang hangat oleh bau kayu dan minyak kayu putih. Untuk pertama kalinya sejak ia terbangun di reruntuhan masa depan, ia tidur dengan tenang.

Dan di dalam mimpinya, ia melihat dirinya sendiri—berlari di antara menara-menara kaca, membawa sesuatu yang dikejar oleh waktu.

"Bangkitlah, Pewaris. Ingatanmu adalah kunci."

Ia bangun pagi-pagi, suara ayam dan bau kayu bakar memenuhi udara. Bayu sudah duduk di depan rumah, menggenggam segenggam nasi dengan lauk tahu bacem. Ia menawarkan sebagian dengan senyum lebar.

"Kalau kamu mau tinggal di sini, kamu harus bantu simbah, ya," katanya ringan. "Biasanya aku ke sawah pagi-pagi, bantu nyabit atau ngambil air."

Ia mengangguk. Tidak tahu harus ke mana, jadi ia mengikuti alur yang mengalir di hadapannya.

Hari-hari berikutnya berjalan lambat tapi nyata. Ia ikut Bayu ke sawah, belajar menanam padi, mengangkat air dari sumur, bahkan sesekali membantu menghalau bebek dari pematang. Sinar matahari menghitamkan kulitnya. Jari-jarinya lecet. Tapi ada ketenangan dalam setiap pekerjaan yang menguras tenaga—seperti sedang menyatu kembali dengan bumi.

Ia mulai mengenal nama-nama orang: Pak Sarto, yang pandai memperbaiki sepeda; Bu Minah, penjual sayur yang suka berseloroh; dan tentu saja Simbah, yang selalu menatapnya dengan sorot penuh rahasia, seolah tahu sesuatu yang belum ia sadari.

Di malam-malam lengang, ketika seluruh desa sudah tertidur, ia duduk sendiri di beranda, menatap bintang. ORIGIN terkadang berbisik—kode-kode singkat, seolah sedang mencoba menyalakan ulang sistem.

"... koordinat sinkron ... 7°49′S 112°0′E ... kesesuaian 3% ... fragmen memori rusak ..."

Suara itu tidak stabil, tapi ia terus mendengarkan. Dan setiap malam, suara itu menjadi sedikit lebih jelas.

Lalu, sesuatu mulai berubah.

Di pekan ketiga, ketika ia sedang membantu Simbah menumbuk ketela di belakang rumah, seorang tamu datang. Pria muda, berkemeja rapi, turun dari sepeda motor dan menyapa dengan nada ramah. Tapi ada ketegangan dalam sorot matanya.

"Maaf, Bu, saya sedang mencari seseorang..." katanya sambil menunjukkan foto buram dari ponsel tua. "Orang ini sempat terlihat di sekitar pasar tempo hari. Katanya amnesia."

Simbah melirik sekilas, kemudian tersenyum tenang. "Banyak orang lupa di pasar, Nak. Tapi kalau dia baik dan tidak mengganggu, biarkan saja dia istirahat."

Pria itu mengangguk pelan, tapi sorotnya tertahan lama ke arah pria yang kini menjadi cucu angkat Simbah.

Malamnya, ORIGIN kembali bicara.

"Ancaman terdeteksi. Entitas pengintai. Protokol aktivasi ingatan tahap 1 dimulai."

Dan malam itu, ia bermimpi tentang ruang observasi. Tentang layar-layar berpendar. Dan seseorang—mirip dirinya—berkata:

"Kalau kamu gagal, kita semua hilang."

Ia terbangun dengan peluh dingin.

Dan untuk pertama kalinya, ia ingat sesuatu.

Namanya.

 

Satu kata itu muncul di benaknya seperti gema yang lama tertahan, menggema di dalam ruang kesadarannya yang kosong. “A…” Ia terdiam, jantungnya berdegup kencang. “A…ra…” Lalu, jelas. Tegas.

“Araka.”

Ia memegang sisi kepala, seolah nama itu bukan hanya label, melainkan kunci yang membuka pintu-pintu ingatan yang selama ini terkunci. Kilasan cahaya. Suara ledakan. Sebuah stasiun ruang-waktu. Dan… suara seorang perempuan, menangis, menyebut namanya sambil menggenggam sesuatu yang pecah: seperti lencana. Kemudian semuanya kembali gelap.

Ia terisak pelan, bingung antara lega atau takut. Di luar, bulan mengintip di sela dahan bambu. Angin dingin menggerakkan tirai tipis di jendela kamar kecil itu. Dari dapur, suara batuk Simbah menyadarkannya: ia masih di sini, di dunia ini, di Kediri yang hangat namun terasa asing.

Pagi harinya, ia membantu menjemur gabah di halaman. Setiap butir beras yang bergulir di atas terpal biru itu seperti mengingatkannya pada keutuhan—bahwa segala sesuatu yang besar dimulai dari serpihan kecil. Araka tak lagi sekadar bertahan. Kini, ia ingin mencari tahu.

ORIGIN menjadi lebih aktif sejak malam itu. Suaranya masih pecah-pecah, namun fragmennya semakin banyak:

“... kamu adalah Araka Thales, operator utama Project Temporal Nexus ...”
“... misi: koreksi jalur waktu yang menyimpang akibat Intervensi Kelas Omega ...”
“... fragmen memori masih 92% rusak. Koneksi masih tidak stabil ...”
“... perhatikan anomali: pria bermantel abu dengan insignia bulat di kerah ...”

Hari demi hari, anomali mulai muncul.

Pada hari Senin, langit cerah tiba-tiba menjadi gelap tanpa awan. Lima menit yang tidak bisa dijelaskan oleh siapapun, bahkan radio cuaca. Orang-orang bilang itu hanya awan mikro, tapi Araka tahu ada sesuatu yang salah.

Hari Kamis, jam dinding di balai desa mendadak berhenti berdetak, meskipun baterai baru diganti kemarin. Waktu terasa melambat. Araka, yang sedang menyapu halaman, menyadari suara jangkrik berhenti. Dunia seperti membeku selama beberapa detik. Ia merasa sesak, lalu semuanya kembali normal.

Dan kemudian—datanglah surat.

Simbah menerima surat dengan cap pos dari luar kota. Tidak ada nama pengirim, hanya tulisan tangan rapi di amplop kuning gading: “Untuk Araka, yang belum ingat sepenuhnya.”

Ia membukanya dengan tangan gemetar. Di dalamnya, selembar foto Polaroid pudar, memperlihatkan dirinya di sebuah tempat yang mirip seperti planetarium. Di belakangnya, sebuah tulisan di dinding besar: “Department of Temporal Ethics - ChronoShield Unit.”

Dan tulisan kecil di belakang foto itu:

"Waktu adalah cermin. Tapi kamu—kamu adalah retakan yang menyelamatkan pantulan."

Araka kini tahu: ia tidak gila. Masa lalunya bukan khayalan. Tapi musuh dari masa depan bisa saja sudah menjejakkan kaki di desa ini. Dan ia harus bersiap.

Pada malam minggu ketiga, saat bulan purnama menggantung sempurna di atas Gunung Wilis, suara ORIGIN mengaktifkan “Protokol Ingatan Emosional.”

Dan Araka mengalami kilatan baru: ia melihat dirinya di ruang pelatihan militer ruang-waktu, bersama lima individu lain dengan seragam berbeda. Mereka semua membawa simbol yang mirip dengan yang pria bermantel itu kenakan—tapi berwarna biru, bukan hitam.

Ia ingat suara pelatih mereka, lantang:

“Jika kau kembali ke masa lalu, jangan ubah apapun—kecuali jika perubahan itu mencegah kehancuran.”

Kini ia mengerti. Ia dikirim bukan hanya karena kecelakaan atau pelarian. Ia adalah bagian dari misi. Tapi ia belum tahu apa yang harus diubah.

Di hari ke-27 sejak kedatangannya, desa digemparkan oleh kejadian tak biasa: sumur tua yang sudah lama kering, tiba-tiba penuh air dan memancarkan cahaya aneh di malam hari. Warga sekitar menganggapnya berkah. Tapi Araka tahu lebih baik.

Ia mengendap malam-malam ke arah sumur itu. Dan benar, cahaya itu berasal dari alat yang asing—semacam temporal beacon yang rusak. Sebuah sinyal navigasi waktu, tersembunyi selama puluhan tahun, mungkin terpendam sejak awal kejadian waktu.

“ORIGIN, aktifkan pemindaian.”

“... perangkat Temporal Beacon Model RX-77 ... status: rusak parah ... energi residual mengganggu dimensi lokal ...”

Ia mencoba menyentuhnya. Seketika kilatan energi menyambar tubuhnya, membuatnya terlempar mundur. Tapi dalam satu detik itu—ia melihat masa depan.

Kota Kediri dalam kehancuran. Langit merah. Sungai kering. Anak-anak berlarian mencari makanan. Dan dirinya, tua, memegang kapsul waktu sambil berkata:

“Aku gagal.”

Araka terbangun dari benturan itu dengan luka bakar kecil di tangan dan napas memburu. Ia tahu, waktunya hampir habis. Beacon ini bisa saja menjadi pemicu gangguan besar di masa depan.

Dan ia sendirian.

Atau tidak?

Di hari ke-30, Simbah berkata sesuatu yang aneh:

“Kamu tahu, kamu mengingatkanku pada seseorang… seseorang yang juga datang entah dari mana, puluhan tahun lalu. Dia juga diam-diam mencari sesuatu. Dan dia juga menghilang begitu saja.”

Araka menatap mata tua itu. “Simbah… siapa dia?”

Simbah menghela napas, menggenggam cangkir teh hangat di tangannya. “Namanya Arkian. Dan dia meninggalkan ini sebelum pergi.”

Simbah menyerahkan sebuah liontin kecil. Di dalamnya—sebuah chip data holografik.

Saat Araka menyambungkannya ke ORIGIN malam itu, pesan hologram muncul. Suara pria tua, tetapi akrab.

“Jika kau melihat ini, maka kau adalah penerusku. Aku adalah kamu, versi sebelumnya, dari iterasi pertama. Kita telah mencoba mencegah kehancuran ini berkali-kali. Tapi kita selalu gagal. Namun kali ini… aku percaya padamu, Araka. Karena aku percaya pada harapan.”

Mata Araka basah. Ia melihat langit dari jendela kecil kamar bambunya.

Dunia ini memang terlupa.

Tapi ia akan mengingatkannya kembali.

Dan mungkin, semuanya memang harus dimulai dari sini.

Dari Kediri.

Dari titik nol.

How do you feel about this chapter?

0 1 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Yu & Way
129      106     5     
Science Fiction
Pemuda itu bernama Alvin. Pendiam, terpinggirkan, dan terbebani oleh kemiskinan yang membentuk masa mudanya. Ia tak pernah menyangka bahwa selembar brosur misterius di malam hari akan menuntunnya pada sebuah tempat yang tak terpetakan—tempat sunyi yang menawarkan kerahasiaan, pengakuan, dan mungkin jawaban. Di antara warna-warna glitch dan suara-suara tanpa wajah, Alvin harus memilih: tet...
Layar Surya
1236      738     17     
Romance
Lokasi tersembunyi: panggung auditorium SMA Surya Cendekia di saat musim liburan, atau saat jam bimbel palsu. Pemeran: sejumlah remaja yang berkutat dengan ekspektasi, terutama Soya yang gagal memenuhi janji kepada orang tuanya! Gara-gara ini, Soya dipaksa mengabdikan seluruh waktunya untuk belajar. Namun, Teater Layar Surya justru menculiknya untuk menjadi peserta terakhir demi kuota ikut lomb...
Hello, Me (30)
19201      901     6     
Inspirational
Di usia tiga puluh tahun, Nara berhenti sejenak. Bukan karena lelah berjalan, tapi karena tak lagi tahu ke mana arah pulang. Mimpinya pernah besar, tapi dunia memeluknya dengan sunyi: gagal ini, tertunda itu, diam-diam lupa bagaimana rasanya menjadi diri sendiri, dan kehilangan arah di jalan yang katanya "dewasa". Hingga sebuah jurnal lama membuka kembali pintu kecil dalam dirinya yang pern...
Unframed
465      351     5     
Inspirational
Abimanyu dan teman-temannya menggabungkan Tugas Akhir mereka ke dalam sebuah dokumenter. Namun, semakin lama, dokumenter yang mereka kerjakan justru menyorot kehidupan pribadi masing-masing, hingga mereka bertemu di satu persimpangan yang sama; tidak ada satu orang pun yang benar-benar baik-baik saja. Andin: Gue percaya kalau cinta bisa nyembuhin luka lama. Tapi, gue juga menyadari kalau cinta...
Glitch Mind
43      40     0     
Inspirational
Apa reaksi kamu ketika tahu bahwa orang-orang disekitar mu memiliki penyakit mental? Memakinya? Mengatakan bahwa dia gila? Atau berempati kepadanya? Itulah yang dialami oleh Askala Chandhi, seorang chef muda pemilik restoran rumahan Aroma Chandhi yang menderita Anxiety Disorder......
Sweet Punishment
164      99     9     
Mystery
Aku tak menyangka wanita yang ku cintai ternyata seorang wanita yang menganggap ku hanya pria yang di dapatkannya dari taruhan kecil bersama dengan kelima teman wanitanya. Setelah selesai mempermainkan ku, dia minta putus padaku terlebih dahulu. Aku sebenarnya juga sudah muak dengannya, apalagi Selama berpacaran dengan ku ternyata dia masih berhubungan dengan mantannya yaitu Jackson Wilder seo...
Smitten Ghost
179      146     3     
Romance
Revel benci dirinya sendiri. Dia dikutuk sepanjang hidupnya karena memiliki penglihatan yang membuatnya bisa melihat hal-hal tak kasatmata. Hal itu membuatnya lebih sering menyindiri dan menjadi pribadi yang anti-sosial. Satu hari, Revel bertemu dengan arwah cewek yang centil, berisik, dan cerewet bernama Joy yang membuat hidup Revel jungkir-balik.
Epic Battle
474      368     23     
Inspirational
Navya tak terima Garin mengkambing hitamkan sepupunya--Sean hingga dikeluarkan dari sekolah. Sebagai balasannya, dia sengaja memviralkan aksi bullying yang dilakukan pacar Garin--Nanda hingga gadis itu pun dikeluarkan. Permusuhan pun dimulai! Dan parahnya saat naik ke kelas 11, mereka satu kelas. Masing-masing bertekad untuk mengeliminasi satu sama lain. Kelas bukan lagi tempat belajar tapi be...
Kembali ke diri kakak yang dulu
810      616     10     
Fantasy
Naln adalah seorang anak laki-laki yang hidup dalam penderitaan dan penolakan. Sejak kecil, ia dijauhi oleh ibunya sendiri dan penduduk desa karena sebuah retakan hitam di keningnya tanda misterius yang dianggap pertanda keburukan. Hanya sang adik, Lenard, dan sang paman yang memperlakukannya dengan kasih dan kehangatan. Ini menceritakan tentang dua saudara yang hidup di dunia penuh misteri. ...
RUANGKASA
41      37     0     
Romance
Hujan mengantarkan ku padanya, seseorang dengan rambut cepak, mata cekung yang disamarkan oleh bingkai kacamata hitam, hidung mancung dengan rona kemerahan, dingin membuatnya berkali-kali memencet hidung menimbulkan rona kemerahan yang manis. Tahi lalat di atas bibir, dengan senyum tipis yang menambah karismanya semakin tajam. "Bisa tidak jadi anak jangan bandel, kalo hujan neduh bukan- ma...