Hari-hari berlalu dalam irama yang baru. Aku semakin tenggelam dalam dunia Penulisan Kreatif di Central Washington University. Membaca lebih banyak buku, menulis cerpen-cerpen baru, bahkan sesekali ikut seminar daring tentang dunia sastra. Ada rasa damai yang aneh. Seolah, meskipun satu pintu tertutup, pintu yang lain ini memang ditakdirkan untukku.
Hubunganku dengan Maya dan Mayadi pun semakin erat. Mereka adalah jangkar di duniaku yang baru ini, konstelasi pelindung yang tak tergantikan. Kami sering menghabiskan waktu bersama, tertawa, berbagi cerita, dan Mayadi semakin antusias dengan lagu "Jejak". Lirik yang kubuat telah menjadi nyawa bagi melodi Adit, dan Mayadi berjanji akan segera merekamnya dengan band-nya.
"Lil, ini sudah hampir sempurna," kata Mayadi suatu sore, saat kami di studio musik. Ia memainkan melodi lagu "Jejak" dengan penuh perasaan. "Lirikmu... itu seperti Adit sendiri yang bicara. Jujur banget."
Aku tersenyum tipis. "Adit ingin kita jujur. Itu yang dia bilang."
"Dia pasti bangga sama kamu, Lil," sambung Maya, yang duduk di sudut, mendengarkan. "Kamu sudah sangat kuat. Bangkit lagi."
Namun, di tengah ketenangan yang rapuh itu, badai baru mulai terbentuk. Minggu-minggu menjelang kelulusan SMA dipenuhi dengan acara-acara pra-kelulusan: prom, pameran seni siswa, pentas drama, dan acara perpisahan. Aku mencoba menghindar dari keramaian, dari tatapan Yessi dan Michael yang masih memancarkan permusuhan setiap kali kami berpapasan.
Suatu pagi, diumumkanlah proyek kelulusan: "Jeopardy Pengetahuan Umum Angkatan Akhir". Setiap kelas akan mengirimkan perwakilan, dan tim pemenang akan mendapatkan beasiswa kecil untuk biaya buku kuliah mereka. Ini adalah acara besar, disiarkan langsung di televisi lokal, dan semua siswa kelas 12 diwajibkan hadir. Nama-nama perwakilan dari setiap kelas dipajang di papan pengumuman.
Aku terkejut melihat namaku terpampang di sana sebagai salah satu perwakilan untuk kelas kami. Di bawah namaku, ada nama Mayadi. Dan Yessi. Dan Michael. Jantungku mencelos. Mustahil. Aku? Berada satu tim dengan Yessi dan Michael? Ini adalah mimpi buruk yang menjadi kenyataan.
"Tidak mungkin," gumamku, menatap papan pengumuman.
Maya menghampiriku, wajahnya juga menunjukkan keterkejutan. "Lil! Kamu dan Mayadi... tapi... Yessi dan Michael?"
Mayadi tiba di samping kami, matanya menyipit melihat daftar nama. Rahangnya mengeras. "Apa-apaan ini? Kenapa kita satu tim dengan mereka?"
"Mungkin ini ide guru," duga Maya. "Untuk memupuk kebersamaan di akhir tahun."
Aku mendengus. "Kebersamaan? Mereka tidak pernah menyukaiku. Dan aku... aku tidak ingin berada satu tim dengan mereka." Rasa sakit dari perkataan mereka tempo hari kembali menyeruak.
(Flashback)
Itu adalah hari orientasi sekolah, kelas 10. Aku masih sangat baru, merasa asing di tengah kerumunan siswa. Aku melihat Adit di kantin, duduk bersama teman-temannya. Ia menunjuk ke arahku, tersenyum, dan memanggilku.
"Lil! Ke sini! Ini Michael dan Yessi! Teman-temanku. Dan ini Lily, si anak baru yang jago nulis!" serunya, suaranya ceria.
Yessi menatapku dengan tatapan sinis. "Jago nulis? Pasti nulis cerpen cinta-cintaan, ya?" Ada nada mengejek di suaranya.
Michael tertawa. "Paling juga nulis tentang cowok ganteng di sekolah."
Aku merasa malu, pipiku memerah. Adit, menyadari itu, segera mengalihkan pembicaraan. "Kalian ini! Jangan gitu dong. Lily itu penulis serius. Dia bisa bikin kamu nangis dengan satu kalimat."
Yessi mendengus. "Oh ya? Coba saja. Aku nggak gampang nangis."
Adit hanya tersenyum. "Nanti juga tahu."
(Flashback Berakhir)
Aku kembali ke masa kini, rasa sakit itu kembali menusuk. Yessi dan Michael tidak pernah menyukaiku. Dan kini, aku harus bekerja sama dengan mereka.
Latihan tim "Jeopardy" dimulai keesokan harinya. Suasana di ruang kelas terasa tegang, dipenuhi kecanggungan yang tak terucapkan. Yessi dan Michael duduk di satu sisi meja, aku dan Mayadi di sisi lain. Guru pembimbing, Pak Budi (guru Sejarahku), berusaha mencairkan suasana.
"Baik, anak-anak," kata Pak Budi. "Tujuan utama proyek ini adalah kerja sama tim. Kita harus menang untuk kelas kita. Ini akan menjadi kenangan indah sebelum kalian lulus."
"Kenangan indah? Saya ragu," gumam Yessi pelan, namun cukup keras untuk kudengar.
Mayadi meliriknya, matanya tajam. Aku menahan napas. Aku tidak ingin ada konflik lagi.
"Kita harus bisa bekerja sama," kataku, berusaha bersikap dewasa. "Ini untuk kelas kita."
Michael mendengus. "Tentu saja. Asalkan ada yang tidak membuat kita kalah karena terlalu... sentimental." Kalimat itu jelas ditujukan padaku, sebuah sindiran atas dukaku dan penolakanku dari pemakaman Adit.
Kemarahan menyelimutiku. Tanganku mengepal di bawah meja. Aku ingin berteriak, menjelaskan segalanya. Tapi aku tidak bisa. Aku harus menahan diri. Ini bukan tentang aku. Ini tentang kelas. Ini tentang Adit.
"Lily benar, Michael," kata Mayadi, suaranya tenang namun ada nada tegas. "Kita harus fokus. Ini bukan tentang siapa yang lebih pintar. Ini tentang siapa yang bisa bekerja sama."
Sesi latihan pertama berjalan lambat dan penuh ketegangan. Yessi dan Michael seringkali mengabaikan ide-ide kami, atau mencemooh jawaban-jawabanku. Aku merasa frustrasi. Bagaimana kami bisa menang jika ada perpecahan di antara kami?
Pulang sekolah, aku langsung menuju studio musik. Mayadi ada di sana, ia sedang menyetel gitarnya.
"Lil, kamu tidak apa-apa?" tanyanya, melihat ekspresi wajahku.
Aku menghela napas, menceritakan kejadian di latihan tim "Jeopardy". "Mereka keterlaluan, Mayadi. Aku tidak tahu bagaimana kita bisa bekerja sama dengan mereka. Mereka terus-menerus menyindirku tentang Adit."
Mayadi menghela napas. "Aku tahu itu akan sulit. Mereka memang belum bisa menerima kepergian Adit. Dan entah kenapa, mereka melampiaskannya padamu." Ia menatapku serius. "Tapi, Lil, Adit tidak akan suka ini. Dia ingin kita melangkah. Dia ingin kita bersatu. Terutama untuk hal seperti ini."
Aku menatapnya. "Bersatu? Dengan mereka?"
Mayadi mengangguk. "Ya. Ini ujianmu, Lil. Ujian untuk menunjukkan seberapa jauh kamu sudah melangkah. Seberapa besar 'galaksi' yang sudah kamu bangun."
Aku terdiam. Adit pernah bilang, setiap kegagalan adalah jejak pembelajaran. Setiap konflik adalah kesempatan untuk tumbuh. Apakah ini yang dimaksud? Sebuah ujian dari Adit, melalui Mayadi?
Malam itu, aku membuka buku catatan biru tua itu. Aku menatap tulisan Adit yang semakin samar. Aku tahu, aku tidak bisa lagi berkomunikasi dengannya. Tapi, aku bisa merenungkan pesannya. Percaya. Pilihan berani. Membangun galaksi dari pecahan.
Aku menuliskan di halaman jurnal pribadiku:
Adit, ini sulit. Sangat sulit. Mereka terus-menerus menyakitiku. Tapi aku mencoba mengingat pesanmu. Aku mencoba mencari 'bintang' di tengah kegelapan ini. Aku mencoba bersabar. Aku mencoba untuk 'bersatu'. Apakah ini bagian dari 'pilihan berani' yang kau maksud? Apakah ini bagian dari 'menemukan diri'ku?
Aku memejamkan mata, membiarkan kenangan tentang Adit mengalir. Aku mencoba membayangkan apa yang akan ia lakukan jika ia berada di posisiku. Ia akan selalu mencari solusi. Ia akan selalu mencari cara untuk menyatukan, untuk memperbaiki.
(Flashback)
Itu adalah saat kami di perpustakaan sekolah, kelas 11. Aku dan Adit sedang mengerjakan proyek kelompok dengan beberapa teman lain, termasuk Michael. Kami kesulitan menyepakati ide. Michael, yang punya ide keras kepala, tidak mau mendengarkan masukan orang lain.
"Ini ideku! Ini yang terbaik!" teriak Michael, memukul meja.
Adit, yang biasanya tenang, mendekatinya. "Michael, tenang. Ini proyek kelompok. Kita harus cari titik tengah. Bukan cuma idemu yang paling penting."
Michael mendengus. "Kamu selalu membela Lily. Kalian berdua memang sama-sama kaku!"
Adit hanya tersenyum. "Mungkin. Tapi kekakuan itu juga butuh fleksibilitas. Seperti bintang, Michael. Mereka kaku di tempatnya, tapi bergerak dalam harmoni bersama galaksi. Kalau satu bintang egois, seluruh konstelasi bisa runtuh."
Adit menghabiskan satu jam berbicara dengan Michael, menjelaskan dengan sabar, mencari kesamaan ide, hingga akhirnya Michael sedikit melunak. Proyek kelompok kami berhasil diselesaikan dengan baik. Adit selalu punya cara untuk 'menyentuh' orang lain, bahkan yang paling keras kepala sekalipun.
(Flashback Berakhir)
Aku membuka mata. Air mata mengalir. Harmoni. Konstelasi. Adit tidak pernah menyerah pada siapa pun. Ia selalu mencari 'bintang' di setiap orang, bahkan di tengah konflik.
Malam itu, aku tidak tidur. Aku memutuskan untuk mengambil 'pilihan berani' yang lain. Aku akan mencoba berbicara dengan Yessi dan Michael. Bukan untuk membela diri, tapi untuk mencari 'bintang' di dalam mereka. Untuk mencari 'harmoni' yang Adit inginkan. Ini adalah ujian terakhirku untuk 'Galaksi'ku. Dan aku tidak akan menyerah.
ππππ
Comment on chapter Bab 12: "ADIT - BARANG PRIBADI"