Suara teriakan Michael dan tatapan tajam Yessi masih bergaung di kepalaku, bahkan setelah berjam-jam insiden di koridor sekolah itu berlalu. Setiap kata yang Michael lontarkan tentang "pecundang" dan "ditolak Harvard" terasa seperti belati yang menusuk, membuka kembali luka-luka lama yang ku kira sudah mulai sembuh. Namun, di tengah semua kepedihan itu, ada satu hal yang menonjol: Mayadi dan Maya yang berdiri di sampingku, menjadi dinding pelindung. Mereka adalah 'konstelasi'ku, bintang-bintang baru yang bersinar dalam kegelapanku.
Malam itu, aku tidak bisa tidur. Pikiranku terus-menerus memutar ulang adegan di koridor. Aku merasa begitu rapuh, begitu hancur. Semua kemajuan yang telah kurasakan, semua keberanian yang ku kira telah kutemukan, seolah lenyap begitu saja di hadapan kata-kata mereka. Aku meraih buku catatan biru tua di sampingku, mencari tulisan Adit, mencari bisikan yang menenangkan, tetapi hanya keheningan yang menjawab. Koneksi itu telah berakhir, dan kini, aku harus menghadapi segalanya sendirian. Atau setidaknya, itu yang kurasakan.
Pagi berikutnya, aku bangun dengan mata bengkak dan kepala pening. Aku tidak ingin pergi ke sekolah. Aku tidak ingin menghadapi siapa pun. Namun, aku tahu aku tidak bisa lagi bersembunyi. Adit ingin aku melangkah. Adit ingin aku berani. Dan kini, aku punya alasan baru untuk berani: untuk menunjukkan pada Yessi dan Michael bahwa mereka salah, bahwa aku tidak akan hancur.
Saat aku turun untuk sarapan, ibuku menatapku dengan mata khawatir. "Lily? Kamu baik-baik saja, Nak? Semalam kamu kelihatan tidak enak badan."
Aku memaksakan senyum. "Aku baik-baik saja, Bu. Hanya sedikit... kurang tidur." Aku tidak bisa menceritakan apa yang terjadi. Aku tidak ingin ia khawatir lebih jauh.
Di sekolah, Maya langsung menghampiriku di gerbang, wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang tulus. "Lily! Kamu baik-baik saja? Aku sangat khawatir setelah kemarin. Yessi dan Michael itu keterlaluan!"
Aku mengangguk. "Aku baik-baik saja, May. Terima kasih sudah membelaiku kemarin. Aku... aku tidak tahu harus berbuat apa tanpamu dan Mayadi."
Maya memelukku erat. "Kita sahabat, Lil. Tentu saja aku akan membelamu. Dan Mayadi juga. Dia sangat marah setelah kejadian itu." Ia menarik diri, menatapku. "Apa kamu mau bolos saja hari ini? Aku bisa bilang kamu sakit. Atau kita bisa ke kafe, cari ketenangan?"
Aku menggeleng. "Tidak, May. Aku harus sekolah. Aku tidak akan membiarkan mereka melihatku hancur."
Maya tersenyum, senyum bangga. "Itu dia Lily yang kukenal. Si 'api' yang nggak gampang padam."
Saat jam istirahat, Mayadi menghampiriku di kantin. Wajahnya masih menunjukkan sisa-sisa kemarahan.
"Lil, kamu tidak apa-apa?" tanyanya, suaranya terdengar lebih lembut dari biasanya. "Yessi dan Michael itu... mereka memang begitu. Mereka tidak pernah benar-benar dekat dengan Adit seperti kita. Mereka hanya ingin terlihat penting."
Aku menghela napas. "Aku tahu. Tapi kata-kata mereka... itu menyakitkan."
Mayadi duduk di sampingku. "Aku tahu. Aku juga marah mendengarnya. Adit pasti akan sangat kecewa melihat mereka bertindak seperti itu." Ia terdiam. "Dulu, Adit selalu berusaha jadi teman bagi semua orang. Bahkan bagi Yessi dan Michael. Dia percaya, setiap orang itu punya sisi baiknya. Tapi... kadang, ada orang yang memilih untuk tetap gelap."
Aku menatapnya. "Adit... dia tidak pernah bicara buruk tentang siapa pun, ya?"
Mayadi menggeleng. "Tidak. Dia selalu melihat yang terbaik di orang lain. Itu yang bikin dia... istimewa." Ia menghela napas. "Dia pernah bilang, 'kalau kita terlalu fokus sama kegelapan, kita lupa ada bintang di sana'. Dia ingin kita selalu cari bintang itu, Lil."
Bintang. Galaksi. Kata-kata Adit kembali bergaung di benakku, dihidupkan kembali oleh Mayadi. Aku teringat personal statement-ku, tentang membangun galaksi dari pecahan. Dan aku teringat tawaran Central Washington University. Ini adalah 'bintang' baruku.
"Aku... aku akan mencoba," kataku. "Aku akan mencoba fokus pada bintang-bintang itu. Pada 'galaksi' baruku."
Mayadi tersenyum tipis. "Bagus. Aku tahu kamu bisa. Adit selalu percaya padamu."
Aku mengambil keputusan. Aku akan merangkul Central Washington University. Aku akan menjadikan 'rencana B' ini sebagai 'rencana A' yang baru. Ini bukan lagi tentang kegagalan Harvard, tapi tentang kesempatan baru untuk menemukan diriku, untuk menulis ceritaku sendiri, untuk membangun 'galaksi' Lily.
Malam itu, aku membuka laptop. Aku mulai mencari tahu lebih detail tentang Central Washington University. Program Penulisan Kreatif mereka. Dosen-dosennya. Proyek-proyek mahasiswa. Semakin banyak yang kubaca, semakin aku merasa antusias. Ada begitu banyak hal yang bisa kupelajari di sana. Begitu banyak 'bintang' baru yang menunggu untuk kutemukan.
Aku juga mulai mengerjakan lagu "Jejak" dengan Mayadi lagi. Kami menghabiskan berjam-jam di studio musik, ia dengan melodi, aku dengan lirik. Proses itu terasa seperti terapi, sebuah cara untuk menyalurkan duka dan harapan ke dalam sesuatu yang indah. Lagu itu kini terasa lebih kuat, lebih jujur, sebuah cerminan dari perjalanan kami semua.
(Flashback)
Itu adalah pertandingan basket sekolah. Adit, yang biasanya duduk di bangku penonton, mendadak dipanggil untuk menggantikan pemain yang cedera. Ia tidak jago basket. Aku melihatnya dari tribun, tertawa kecil.
"Adit, hati-hati!" teriakku.
Ia tersenyum, melambaikan tangan. Namun, ia terus-menerus melakukan kesalahan. Mengoper bola ke lawan, menembak bola ke ring sendiri. Penonton tertawa, beberapa mencemooh.
Mayadi, yang duduk di sampingku, mendengus. "Dia itu ya, kalau soal musik, jagoan. Tapi kalau soal bola... ampun deh."
Aku melihat Adit. Wajahnya memerah, namun ia tetap tersenyum, mencoba lagi dan lagi. Ia tidak menyerah.
Saat waktu istirahat, aku menghampirinya. "Kamu tidak apa-apa?"
Adit tertawa, napasnya terengah-engah. "Nggak apa-apa, Lil. Namanya juga usaha. Nggak semua hal harus sempurna. Yang penting, kita berani mencoba. Lagipula, kalau nggak ada yang kalah, nggak ada yang menang. Dan kalau nggak ada yang jelek, mana bisa kita tahu apa yang bagus?" Ia mengedipkan mata. "Ini juga bagian dari 'jejak', Lil. Jejak keberanian. Jejak kegagalan yang bikin kita belajar."
(Flashback Berakhir)
Jejak keberanian. Jejak kegagalan yang bikin kita belajar. Kata-kata Adit kini terasa begitu relevan. Penolakan Harvard bukan akhir. Itu adalah sebuah jejak. Sebuah pelajaran. Sebuah awal baru.
Suatu siang, aku menerima pesan dari Bu Arini. Ia mengajakku makan siang untuk membahas lebih lanjut program di Central Washington University. Aku mengiyakan. Ini adalah kesempatan untuk menunjukkan padanya bahwa aku serius, bahwa aku sudah siap melangkah.
Di restoran, Bu Arini tersenyum hangat. "Lily, saya sudah siapkan beberapa materi tentang program Penulisan Kreatif di Central. Saya dengar kamu sudah mulai tertarik?"
Aku mengangguk. "Ya, Bu. Saya sudah banyak mencari tahu. Saya merasa... ada sesuatu yang menanti saya di sana. Saya ingin mengasah bakat menulis saya. Saya ingin menemukan 'suara' saya."
Bu Arini menatapku dengan sorot mata yang penuh kebanggaan. "Itu bagus, Nak. Kamu tahu, saya selalu percaya kamu punya potensi yang luar biasa. Adit juga selalu bilang begitu. Dia bilang kamu itu punya 'mata seniman', yang bisa melihat keindahan di setiap sudut. Kamu akan jadi penulis hebat, Lily. Saya yakin."
"Terima kasih, Bu," kataku, hatiku menghangat. Pengakuan dari Bu Arini terasa seperti air yang menyirami benih-benih harapan baru di dalam diriku.
"Dan saya dengar kamu sudah mulai menulis cerpen baru?" tanyanya, tersenyum. "Mayadi cerita padaku. Dia bilang itu sangat menyentuh."
Aku tersenyum. "Ya. Tentang jejak. Tentang bagaimana kehilangan bisa menjadi awal dari sesuatu yang baru."
Bu Arini mengangguk. "Itu dia. Itu yang saya maksud. Jangan takut untuk menuliskan kebenaran, Lily. Kebenaran itu punya kekuatannya sendiri. Apa pun hasilnya nanti, kamu sudah menang, Nak. Kamu sudah menemukan dirimu."
Aku pulang dengan hati yang penuh. Kata-kata Bu Arini, dukungan Maya dan Mayadi, dan jejak-jejak Adit yang terus membimbingku, semuanya terasa seperti 'konstelasi' yang berkumpul, melindungiku, memberiku arah. Aku tidak lagi merasa sendirian. Aku tidak lagi merasa hancur. Aku adalah Lily. Dan aku siap untuk mengukir jejakku sendiri di 'galaksi' baru.
Malam itu, aku mengambil bookend sayap tunggal Adit. Aku membelainya, lalu meletakkannya di atas meja belajarku, sebagai pengingat akan jejak dan bintang pemanduku. Aku membuka jurnal biru tua, menuliskan semua yang kurasakan. Bahwa aku telah menemukan keberanian. Bahwa aku telah menemukan diriku. Bahwa aku siap melangkah.
ππππ
Comment on chapter Bab 12: "ADIT - BARANG PRIBADI"