Udara di aula pertemuan terasa pengap. Setiap detik yang berdetak dari jam dinding seolah menghantam gendang telingaku, mengiringi detak jantungku yang berpacu tak karuan. Ini adalah sesi latihan terakhir untuk "Jeopardy Pengetahuan Umum Angkatan Akhir". Di meja panjang, di bawah sorot lampu neon yang dingin, kami duduk: aku, Mayadi, Yessi, dan Michael. Ketegangan menggantung di udara, kental dan tak kasat mata, seperti kabut yang siap pecah menjadi badai.
Sejak insiden di koridor beberapa waktu lalu, hubungan kami tidak membaik. Yessi dan Michael masih melontarkan sindiran-sindiran tajam, yang kubalas dengan tatapan dingin atau diam. Mayadi, di sisi lain, menjadi perisai dan suaraku, selalu siap membela, selalu siap meredam gejolak. Kami berdua, sebuah konstelasi kecil di tengah badai.
"Baik, anak-anak," suara Pak Budi terdengar riang, seolah tak merasakan atmosfer di antara kami. "Minggu depan adalah pertandingan final. Kita harus fokus. Ini kesempatan terakhir kita untuk menyempurnakan strategi."
Michael mendengus pelan, namun cukup keras untuk kudengar. "Strategi? Apa yang mau disempurnakan? Kalau ada anggota tim yang cuma bisa nangis di pojokan, ya sudah." Ia melirikku sekilas, lalu berpura-pura sibuk membolak-balik catatannya.
Amarah menyelimutiku, panas dan membara. Aku mengepalkan tangan di bawah meja, kukuku menancap di telapak tangan. Aku sudah mencoba. Aku sudah sangat mencoba untuk bersabar, untuk mengabaikan, untuk menjadi 'Lily yang kuat'. Tapi kata-kata Michael selalu berhasil meruntuhkan dinding pertahananku.
"Michael, jaga bicaramu," Mayadi menegur, suaranya rendah dan penuh peringatan.
"Apa?" Michael mengangkat bahu, berpura-pura tak bersalah. "Aku cuma bilang fakta. Kita butuh tim yang solid, bukan yang gampang down."
Yessi mengangguk setuju, melirikku dengan tatapan sinis. "Benar. Apalagi kalau dulu jagoannya saja... ternyata cuma pecundang."
Kata "pecundang" itu. Seperti jarum es yang menusuk jantungku. Jantungku bergemuruh. Itu... itu bukan tentangku. Itu tentang Adit.
Aku menatap Yessi, mataku berkilat marah. "Apa maksudmu?" suaraku bergetar, namun aku mencoba membuatnya tetap tenang.
Yessi menyeringai. "Oh, kamu tidak tahu? Adit, tunanganmu yang sempurna itu... dia juga punya sisi pecundang. Dia tidak se-sempurna yang kamu kira."
Michael tertawa sinis. "Memangnya kamu pikir dia kenapa pindah ke sini? Dari sekolah elit terbaik no 1 se-Indonesia? Bukan karena alasan sederhana. Tapi karena dia di sana cuma... pecundang. Nggak bisa bersaing. Kerjanya cuman ngerusuh."
Dunia di sekelilingku seolah runtuh. Warna-warna memudar, suara-suara menghilang. Hanya suara Michael yang bergaung, kata "pecundang" itu berulang kali. Adit. Pecundang. Itu... itu tidak mungkin. Adit adalah bintangku, kompas hidupku. Dia adalah keberanian, dia adalah kekuatan.
"Kalian... kalian bohong!" teriakku, suaraku pecah. Aku bangkit dari kursi, kursi itu berderit keras.
Michael tertawa lagi. "Oh, Lily. Kamu pikir semua orang buta? Kamu pikir Adit itu selalu jadi yang terbaik? Dia di sana cuma jadi... bayangan. Dia pecundang. Itu sebabnya dia lari ke sini. Ke kota kecil ini. Karena dia nggak bisa bersaing di tempat yang besar. Dia cuma bisa jadi jagoan di sini. Di tempatnya para..." Ia berhenti, senyumnya menyeringai, lalu melirikku dengan tatapan mengejek. "Pecundang."
Kata "pecundang" yang terakhir itu, yang ditujukan padaku, yang dikaitkan dengan Adit, adalah pemicu. Badai yang kutahan berhari-hari kini meledak. Darahku mendidih. Aku tidak bisa lagi menahan diri.
Dengan satu gerakan cepat, di luar kendaliku, tanganku terangkat. Sebuah tamparan keras mendarat di pipi Michael. Suara tamparan itu memenuhi ruangan, membuat semuanya hening. Michael terdiam, terkejut, memegangi pipinya yang kini memerah. Yessi, Mayadi, dan bahkan Pak Budi yang tadinya sibuk dengan catatannya, menatapku dengan mata membola.
Napas tersengal-sengal, amarah membakar seluruh tubuhku. Aku menatap Michael, mataku berkilat tajam, penuh dengan rasa sakit, pengkhianatan, dan kemarahan yang membara.
"Kamu... kamu tidak tahu apa-apa tentang Adit!" teriakku, suaraku pecah, namun ada kekuatan yang belum pernah kuketahui ada di sana. "Kamu tidak tahu apa yang dia perjuangkan! Kamu tidak tahu bagaimana dia berjuang untuk setiap mimpinya, setiap langkahnya!"
Michael hanya menatapku, matanya dipenuhi keterkejutan.
"Kamu bilang dia pecundang?!" Aku maju selangkah, menunjuk wajahnya dengan jari gemetar. "Kamu bilang dia lari? Dia tidak pernah lari! Dia adalah orang paling berani yang pernah kukenal! Dia berani bermimpi, berani jatuh, dan berani bangkit lagi! Dia berani percaya pada hal yang tidak mungkin!"
Air mata mengalir di pipiku, bukan air mata kesedihan, melainkan air mata amarah yang panas. "Kamu bilang dia pecundang? Kamu yang pecundang! Kamu yang bersembunyi di balik kata-kata busukmu, di balik rasa iri dan kebencianmu! Kamu pikir kamu tahu segalanya tentang dia? Kamu pikir kamu tahu apa yang dia lalui?"
Michael masih terdiam, tatapannya tak terbaca, pipinya memerah bekas tamparanku. Yessi kini tampak sedikit pucat.
Aku maju lagi, suaraku meninggi, menggelegar di ruangan yang hening itu. "Kamu melihatnya sebagai rival, sebagai bayanganmu sendiri! Tapi dia... dia melihatmu sebagai teman! Dia melihatmu sebagai bintang! Bahkan ketika kamu hanya melihat kegelapan!"
Aku menatap Mayadi, yang kini menatapku dengan sorot mata takjub. "Dia percaya pada setiap orang! Dia percaya pada kemanusiaan! Bahkan ketika dunia ini hanya menunjukkan kebusukan!"
Aku kembali menatap Michael, suaraku kini berbisik, namun setiap kata terasa seperti pisau yang mengiris. "Kamu tahu apa yang paling menyedihkan dari semua ini, Michael? Bukan kata-katamu. Bukan hinaanmu. Tapi fakta bahwa Adit... Kekasihku, orang yang kucintai... dia meninggal dengan keyakinan bahwa kamu adalah temannya. Dia meninggal dengan mencoba melihat kebaikan dalam dirimu, bahkan ketika kamu sendiri tidak punya sedikit pun. Dia meninggal dengan membawa harapan untuk setiap orang di sekitarnya, bahkan pecundang sepertimu!"
Kata-kata itu menghantam Michael. Matanya membesar, tatapannya kosong, seolah jiwanya baru saja dicabut dari raganya. Ia terdiam, membeku di tempatnya, pipinya semakin memerah, bukan lagi karena tamparan, melainkan karena malu dan kesadaran yang tiba-tiba datang. Raut wajahnya berubah, dari sombong menjadi terkejut, lalu menjadi rasa bersalah yang mendalam. Ia menatapku, air mata mulai menggenang di matanya, bukan air mata marah, melainkan air mata yang kutahu adalah penyesalan.
"Dia tidak pernah jadi pecundang," bisikku, suaraku kini serak karena emosi. "Dia adalah pahlawan. Dia adalah bintang. Dan kamu... kamu tidak layak menyebut namanya. Kamu tidak layak berada di tim ini."
Aku berbalik, napas terengah-engah, dadaku naik turun. Rasa sakit dan amarah bercampur aduk, namun ada juga kekuatan baru yang aneh. Aku telah menyuarakan kebenaran. Kebenaran yang selama ini kutahan. Kebenaran yang Adit ingin aku ungkap.
"Aku mengundurkan diri dari tim ini," kataku, suaraku menggelegar di ruangan yang hening. Aku tidak menoleh ke belakang, melangkah cepat menuju pintu.
Pak Budi, yang tadinya terpaku, akhirnya tersadar. "Lily! Tunggu! Apa-apaan ini?! Kamu tidak bisa pergi!"
"Aku bisa, Pak," jawabku, tanpa menoleh. "Aku tidak bisa berada di tim yang isinya hanya... pecundang." Kata "pecundang" itu kuucapkan dengan penuh penekanan, menunjuk pada Michael tanpa melihatnya.
Aku melangkah keluar dari aula pertemuan, napas terengah-engah, jantungku bergemuruh. Tubuhku gemetar, bukan karena takut, melainkan karena gejolak emosi yang baru saja kulepaskan. Di koridor, Maya dan Mayadi mengejarku.
"Lily! Ya Tuhan! Kamu tidak apa-apa?" Maya langsung memelukku erat. "Mereka keterlaluan! Tapi kamu... kamu sangat berani!"
Mayadi menatapku, sorot matanya yang gelap dipenuhi kekaguman. "Lil... itu... itu gila. Aku tidak pernah melihatmu seperti itu." Ia menghela napas. "Tapi kamu benar. Setiap kata yang kamu katakan itu benar. Michael... dia memang pantas mendapatkannya."
Aku masih gemetar. Air mata masih mengalir, namun kini terasa lebih dingin, membasahi pipiku. "Aku... aku tidak peduli dengan tim ini, Mayadi. Aku tidak peduli dengan Jeopardy. Aku tidak peduli dengan Harvard. Aku hanya... aku hanya ingin Adit... aku hanya ingin dia tahu..."
"Dia tahu, Lil," Mayadi memotongku, suaranya lembut, namun penuh keyakinan. "Dia tahu. Dia pasti mendengar setiap kata yang kamu katakan. Dia bangga sama kamu."
Aku terisak di pelukan Maya. Untuk pertama kalinya, aku merasa benar-benar jujur pada diriku sendiri. Jujur pada duka, jujur pada kemarahan, dan jujur pada kebenaran. Ini adalah bagian dari 'galaksi'ku yang baru. Sebuah konstelasi yang berani, yang bersinar, bahkan di tengah badai.
Malam itu, aku duduk di kamarku. Suasana di rumah terasa sunyi. Aku tidak tahu apakah Michael akan melaporkanku, apakah aku akan dihukum, atau apakah aku akan dikeluarkan dari tim. Aku tidak peduli. Perasaan kosong itu masih ada, namun kini ada juga rasa kekuatan yang aneh.
Aku mengambil buku catatan biru tua itu. Tulisan Adit yang samar kini nyaris tak terlihat. Hanya jejak. Namun, 'jejak' itu telah membimbingku. Ia telah memaksaku untuk menghadapi orang-orang yang melukai hatiku, untuk menyuarakan kebenaran, untuk membela Adit.
Aku mulai menuliskan semua yang terjadi di jurnal pribadiku. Setiap dialog, setiap emosi, setiap perasaan. Aku menulis tentang kemarahanku yang meledak, tentang tamparanku pada Michael, tentang kata-kata menusuk yang kulontarkan. Aku menulis tentang bagaimana rasanya membela Adit, membela cintaku. Aku menulis tentang bagaimana rasanya merasa begitu marah dan begitu kuat.
Saat aku menulis, aku teringat sebuah kenangan yang dulu Adit pernah ceritakan padaku, tentang seorang musisi favoritnya yang tidak pernah diakui di kota asalnya.
(Flashback)
Kami sedang duduk di studio rekaman kecil yang baru Adit sewa, aroma debu dan alat musik lama memenuhi udara. Adit sedang menyetel mikrofonnya, matanya berbinar.
"Dulu, ada musisi legendaris di kota ini, Lil," katanya, suaranya penuh kekaguman. "Dia punya suara yang luar biasa, lirik yang jujur. Tapi orang-orang di sini... mereka nggak pernah mau mendengarkan. Mereka cuma mau musik yang populer, yang gampang diterima."
"Kenapa?" tanyaku.
Adit menghela napas. "Karena dia terlalu jujur, Lil. Terlalu otentik. Dia nggak mau jadi orang lain. Dia cuma mau jadi dirinya sendiri. Dan itu... itu menakutkan bagi banyak orang. Mereka nggak siap sama kebenaran." Ia menatapku. "Pada akhirnya, musisi itu pergi. Dia tidak pernah diakui di sini. Tapi dia tetap jadi legenda di hatiku. Dia adalah pahlawan. Dia nggak pernah jadi pecundang."
"Bagaimana kamu tahu ini?" tanyaku.
Adit tersenyum tipis. "Dia meninggalkan jejak, Lil. Jejak di setiap sudut kota ini. Jejak di setiap melodi yang dia ciptakan. Kamu hanya perlu tahu cara mencarinya. Cara mendengarkannya." Ia menunjuk ke arah mikrofon. "Dan dia mengajarkanku satu hal: Jangan pernah takut menyuarakan kebenaranmu, Lil. Bahkan kalau orang lain nggak siap mendengarnya. Karena itu... itulah 'jejak'mu yang sesungguhnya."
(Flashback Berakhir)
Aku menutup mata, air mata mengalir lagi. Adit benar. Aku telah menyuarakan kebenaran. Kebenaran yang menyakitkan, namun membebaskan. Itu adalah 'jejak'ku yang sesungguhnya.
Aku telah membela Adit. Aku telah membela diriku. Dan aku telah membela 'galaksi'ku.
Malam itu, aku tidur nyenyak. Untuk pertama kalinya, aku merasa damai.
ππππ
Comment on chapter Bab 12: "ADIT - BARANG PRIBADI"