Setelah mengirimkan aplikasi Harvard dan menulis lirik lagu "Jejak", ada semacam ketenangan yang kurasakan. Ketenangan yang aneh, seolah badai besar telah berlalu, meninggalkan keheningan yang luas. Namun, di balik ketenangan itu, tersimpan bayangan ketidakpastian. Harvard. Kota di pesisir Timur. Apakah esai 'Galaksiku' yang jujur itu cukup? Atau akankah impian yang telah kubangun bersama Adit ini, kini harus kuikhlaskan sepenuhnya?
Minggu-minggu berlalu dalam penantian. Setiap sore, aku bergegas pulang dari sekolah, membuka kotak surat, berharap menemukan amplop tebal dari Harvard. Setiap kali, hanya ada tagihan atau brosur iklan. Desember terasa begitu jauh, pengumuman hasil seolah menggantung di udara, menguji setiap serat kesabaranku.
Aku masih membawa buku catatan biru tua itu, meskipun tulisan Adit di dalamnya kini nyaris tak terlihat. Hanya satu kata terakhir, Percaya, yang masih samar-samar terukir di halaman. Kata itu adalah pengingat konstan bahwa ia telah melepaskanku, dan kini giliranku untuk melangkah sendiri. Ketiadaan tulisan baru darinya, dan pudarnya sensasi dingin dari halaman, terasa seperti luka yang perlahan sembuh, menyisakan bekas yang perih namun mengajarkan ketahanan. Aku merindukan bisikannya, teka-tekinya, kehadirannya yang menenangkan, namun aku tahu, aku harus menemukan kompas di dalam diriku sendiri.
Pagi itu, di kelas Bahasa Inggris, Pak Dani mengumumkan tugas baru: menulis cerita pendek bebas tema. Pikiranku langsung melayang pada lagu "Jejak". Lirik yang kutulis, melodi yang Adit ciptakan. Itu adalah cerita. Cerita kami. Aku merasa antusias. Ini adalah kesempatan untuk menulis, bukan untuk aplikasi, melainkan untuk diriku sendiri, untuk mengukir jejak.
Saat istirahat, Maya menghampiriku. Wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang mendalam. "Lil, kamu sudah cek portal Harvard lagi?" tanyanya, suaranya pelan. "Beberapa temanku yang juga apply Early Action sudah dapat notifikasi, ada yang wawancara, ada yang statusnya berubah."
Jantungku mencelos. Aku menggelengkan kepala. "Belum ada apa-apa," jawabku, mencoba menjaga suaraku agar tetap tenang. Aku tahu beberapa temannya adalah siswa-siswa berprestasi yang juga mengincar universitas Ivy League. Pengumuman mereka bisa jadi pertanda untukku.
Maya menghela napas, raut wajahnya sedih. "Aku... aku takut kamu harus siap, Lil. Maksudku, Early Action itu saingannya berat banget. Dan kalau sampai... kamu tahu..." Ia tidak melanjutkan kalimatnya, namun aku paham maksudnya.
"Aku tahu, Maya," kataku, menatapnya. "Aku sudah menyiapkan diri untuk kemungkinan terburuk." Aku tidak berbohong. Setelah kepergian Adit, aku merasa sudah mempersiapkan diri untuk segala macam kehancuran. Namun, tetap saja, impian Harvard itu, impian yang kubangun bersama Adit, terasa begitu sulit untuk dilepaskan sepenuhnya.
Di tengah percakapan kami, Mayadi datang menghampiri. Ia melirik kami berdua, ekspresinya sulit ditebak. "Ada apa? Tiba-tiba tegang begini?"
"Lily belum dapat kabar dari Harvard," Maya memberitahunya dengan nada cemas.
Mayadi terdiam sesaat, lalu menatapku. Ada pemahaman di matanya. "Tenang, Lil. Apa pun hasilnya, itu bukan akhir dari segalanya. Adit selalu bilang, 'setiap pintu yang tertutup, itu berarti ada pintu lain yang terbuka'." Ia tersenyum tipis. "Mungkin... pintu itu adalah pintu baru yang memang kamu butuhkan."
Pintu lain. Kata-kata Mayadi seolah menggemakan pesan Adit dari masa lalu, tentang "jalan baru" dan "konstelasi baru". Aku menghela napas. Mungkin memang begitu. Mungkin kegagalan ini adalah bagian dari Finding Yourself yang lebih besar.
Siang itu, aku ada sesi bimbingan dengan Bu Arini. Wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang sama dengan Maya.
"Lily, saya ingin bicara tentang opsi lain," Bu Arini memulai, suaranya lembut. "Mengingat deadline Harvard yang semakin dekat, dan belum ada kabar..."
Aku mengangguk, hatiku terasa berat. Aku tahu apa yang akan ia katakan. "Universitas lokal? Central Washington University?"
Bu Arini tersenyum tipis. "Itu salah satunya. Atau, ada juga beberapa universitas lain yang program menulis kreatifnya sangat bagus. Mungkin tidak seprestisius Harvard, tapi mereka punya fakultas yang luar biasa. Dan yang terpenting, mereka punya lingkungan yang suportif untuk para penulis muda sepertimu."
Ia menatapku, matanya memancarkan ketulusan. "Lily, kamu adalah penulis yang luar biasa. Saya tidak ingin kamu merasa impianmu hancur hanya karena satu pintu tertutup. Kamu punya bakat, kamu punya suara. Kamu hanya perlu menemukan tempat yang tepat untuk mengasah itu."
Aku memejamkan mata. Dulu, impianku begitu jelas. Harvard. Bersama Adit. Kini, semua itu terasa kabur, seperti lukisan cat air yang luntur. "Saya tidak tahu, Bu," ujarku, suaraku serak. "Rasanya... sulit membayangkan masa depan tanpa Adit. Tanpa rencana kami."
Bu Arini mengangguk. "Saya tahu itu, Nak. Tapi Adit tidak akan pernah ingin kamu berhenti. Dia ingin kamu bersinar. Dia ingin kamu menemukan dirimu. Dan terkadang, 'menemukan diri' itu berarti berani mengambil jalan yang berbeda dari yang pernah kita bayangkan."
Kata-kata Bu Arini menusukku, mengingatkanku pada pesan Adit di jurnal. Pilihan yang berani. Melangkah maju.
Malam itu, aku kembali ke kamarku. Jurnal biru tua itu terasa dingin di tanganku. Aku tahu, aku tidak bisa lagi berkomunikasi dengan Adit. Tapi pesannya, jejaknya, masih ada di sana, di dalam setiap halaman, di dalam setiap kenangan.
Aku membuka laptop, menatap layar yang kini hanya berisi dokumen kosong untuk cerita pendek baru. Aku tidak lagi memikirkan Harvard. Aku memikirkan pesan Adit. Aku memikirkan kata-kata Mayadi. Aku memikirkan saran Bu Arini.
Apa yang akan kutulis? Sebuah cerita tentang kegagalan? Atau sebuah cerita tentang bagaimana kegagalan itu bisa menjadi awal dari sesuatu yang baru?
Aku mulai mengetik. Jemariku bergerak lambat pada awalnya, lalu semakin cepat, seolah kata-kata itu memiliki kehidupannya sendiri. Aku menulis tentang seorang gadis yang kehilangan peta, yang tersesat di tengah badai, namun kemudian menemukan bintang-bintang di dalam dirinya sendiri. Aku menulis tentang bagaimana setiap langkah, bahkan yang paling kecil sekalipun, bisa menjadi bagian dari sebuah jejak yang lebih besar.
Saat aku menulis, aku teringat sebuah kenangan yang kini terasa begitu jauh, namun juga begitu dekat.
(Flashback)
Itu adalah malam festival kembang api kota. Aku dan Adit duduk di atap rumahnya, bersembunyi dari pandangan orang dewasa. Langit malam bertaburan bintang, dan sesekali, kembang api meledak, mewarnai langit dengan percikan cahaya yang memesona.
"Lihat itu, Lil!" seru Adit, menunjuk ke arah ledakan kembang api yang paling besar. "Indah banget, kan? Itu cuma sebentar. Tapi meninggalkan jejak di mata kita."
Aku tersenyum. "Ya. Abadi dalam ingatan."
"Persis!" Adit tersenyum, lalu menatapku. "Hidup juga gitu. Mungkin nggak semua hal itu bertahan selamanya. Mungkin nggak semua impian itu tercapai sempurna. Tapi setiap momen itu meninggalkan jejak. Setiap orang itu meninggalkan jejak. Dan itu yang bikin kita jadi siapa kita." Ia merangkulku. "Kamu harus ingat itu, Lil. Jangan pernah takut jejakmu menghilang. Karena jejak itu... selalu ada."
(Flashback Berakhir)
Aku kembali ke kamar, air mata mengalir, namun hatiku terasa lapang. Jejak. Adit benar. Jejak tidak pernah benar-benar menghilang. Ia hanya berubah bentuk, menjadi bagian dari diriku.
Aku terus menulis cerita pendek itu. Ini bukan tentang Harvard lagi. Ini tentang 'jejak'. Tentang bagaimana Lily yang baru, yang tanpa Adit, masih bisa mengukir jejaknya sendiri di dunia. Cerita ini terasa begitu jujur, begitu personal, dan itu adalah sesuatu yang belum pernah kutulis sebelumnya.
Beberapa hari kemudian, aku selesai menulis cerita pendek itu. Panjangnya hampir 2.000 kata. Aku membaca ulang, dan aku merasa bangga. Ini adalah suara baru. Suara Lily. Aku tidak tahu apakah akan mengirimkannya untuk tugas Pak Dani, tapi aku tahu ini adalah langkah maju yang signifikan dalam proses Finding Yourself-ku.
Aku memutuskan untuk menunjukkan cerpen itu pada Mayadi. Ia adalah yang pertama yang memahami tentang "jejak" dan "galaksi". Mungkin ia bisa memberiku masukan.
Saat istirahat, aku menghampiri Mayadi di perpustakaan. Ia sedang membaca buku tentang sejarah musik.
"Mayadi," panggilku. "Aku... aku sudah menulis cerpen baru. Aku ingin kamu membacanya."
Mayadi menatapku, matanya sedikit membesar. "Cerpen? Tumben. Tentang apa?"
"Tentang... jejak," jawabku, menyerahkan cerpen itu padanya. "Tentang seorang gadis yang mencari jejaknya sendiri setelah kehilangan sesuatu."
Mayadi mengambil cerpen itu, matanya menelusuri judulnya. Ia mengangguk. "Aku akan membacanya. Kapan-kapan kita bisa diskusikan. Mungkin ini bisa jadi inspirasi baru untuk lagu 'Jejak'."
Aku tersenyum. "Ya. Mungkin."
Aku tidak tahu apa yang akan terjadi dengan aplikasi Harvard-ku. Aku tidak tahu apa yang akan terjadi dengan masa depanku. Tapi, aku tahu aku tidak lagi sendiri. Aku punya Maya. Aku punya Mayadi. Dan aku punya 'jejak' Adit, yang terus membimbingku untuk menemukan 'Galaksi' di dalam diriku. Sebuah 'Galaksi' yang kini perlahan mulai bersinar.
ππππ
Comment on chapter Bab 12: "ADIT - BARANG PRIBADI"