Minggu-minggu berlalu dalam penantian yang menyiksa. Aplikasi Harvard sudah terkirim. Personal statement tentang 'Galaksi'ku, tentang pecahan-pecahan yang membentuk konstelasi baru, telah melayang entah ke mana. Setiap hari adalah hitungan mundur menuju pengumuman hasil, yang diperkirakan akan tiba di pertengahan Desember. Setiap kali melihat kalender di dinding kamarku, jantungku berdesir, antara harap dan cemas.
Aku masih membawa buku catatan biru tua itu ke mana pun, meskipun tulisan Adit di dalamnya kini nyaris tak terlihat. Hanya satu kata terakhir, Percaya, yang masih samar-samar terukir di halaman. Kata itu adalah pengingat konstan bahwa ia telah melepaskanku, dan kini giliranku untuk melangkah sendiri. Ketiadaan tulisan barulah yang paling menyakitkan. Ruangan di mana Adit 'ada' kini sunyi, bisu. Aku merindukan bisikannya, teka-tekinya, kehadirannya yang menenangkan, bahkan jika itu hanya ilusi. Namun, janji pada Adit untuk 'percaya' dan 'melangkah maju' kini menjadi mantra pribadiku.
Pagi itu, di sekolah, aku mencoba kembali ke rutinitas normal. Kelas Biologi terasa sedikit lebih mudah. Aku bahkan mencoba bergabung dengan diskusi kelompok, sesuatu yang kuhindari sejak lama. Maya duduk di sampingku, sesekali tersenyum hangat, seolah ia bisa merasakan pergeseran kecil dalam diriku.
Saat jam istirahat, aku menghampiri Mayadi di studio musik. Ia sedang menyetel gitarnya, raut wajahnya serius. Udara dipenuhi suara senar yang dipetik dan akor-akor yang belum sempurna.
"Mayadi," sapaku.
Ia menoleh, senyum tipis terukir di bibirnya. "Lil! Tumben ke sini. Ada masalah di 'galaksi'mu?" tanyanya, ada sedikit candaan di nadanya, sebuah referensi pada esai yang kini ia ketahui maknanya.
Aku tersenyum. "Tidak juga. Aku hanya... ingin tahu. Bagaimana progres lagu 'Jejak'?"
Mayadi menghela napas. "Melodinya sudah lumayan. Tapi liriknya... masih terasa hampa. Kayak ada bagian yang hilang. Aku belum bisa menemukan 'nada' yang pas."
Jantungku berdesir. Nada yang hilang. Bukankah itu yang Adit katakan tentang harmoninya? Tentang 'kunci' yang hilang? Aku meraih buku catatan biru tua dari tasku, membukanya ke halaman lirik yang kutulis setelah koneksiku dengan Adit memudar.
"Ini... lirik yang kutulis," kataku, menyerahkannya pada Mayadi. "Tentang bagaimana Adit adalah bintang pemandu, tentang membangun galaksi dari pecahan, dan tentang menemukan nada baru setelah kehilangan."
Mayadi mengambil buku itu, menatapnya. Matanya membulat saat ia membaca setiap baris, lalu menatapku, ada kilatan takjub di sana. "Lil... ini... ini gila. Ini persis seperti yang Adit pernah ceritakan tentang ide lagunya. Dia bilang, liriknya harus tentang bagaimana 'setiap jejak, bahkan yang paling samar, bisa menjadi cahaya baru'."
Aku mengangguk. "Ya. Dia juga bilang, 'jejak' itu penting. Bahkan jejak air mata."
Mayadi terdiam, membolak-balik halaman. Wajahnya menunjukkan campuran kesedihan, takjub, dan pemahaman yang mendalam. "Ini... ini sempurna, Lil. Ini persis yang kami butuhkan. Aku... aku tidak menyangka kamu bisa menulis sebegini jujur." Ia menatapku, matanya berkaca-kaca. "Terima kasih, Lil. Terima kasih sudah berbagi ini."
Aku hanya tersenyum tipis. Ini adalah salah satu cara untuk Adit tetap 'ada'. Melalui musiknya, melalui kata-kataku.
"Kita harus segera rekam ini," kata Mayadi, nadanya dipenuhi antusiasme. "Ini akan jadi lagu paling jujur yang pernah kami mainkan. Untuk Adit."
Malam itu, kami menghabiskan waktu di studio, mengaransemen lagu "Jejak". Mayadi dan bandnya sangat antusias dengan lirik yang kubawa. Aku duduk di sudut, mendengarkan melodi yang Adit ciptakan, kini dihidupkan oleh lirikku dan harmoni band Mayadi. Ada rasa haru yang luar biasa. Ini adalah sebuah 'konstelasi' baru, sebuah 'galaksi' yang perlahan terbentuk dari duka.
Minggu berikutnya, sekolah terasa berbeda. Aku tidak lagi mengisolasi diri. Aku menghabiskan lebih banyak waktu dengan Maya dan Mayadi. Maya, setelah mengetahui rahasiaku, menjadi lebih protektif dan suportif. Ia sering mengunjungiku di rumah, mengajakku bicara, atau sekadar menemaniku dalam diam.
"Kamu yakin tidak apa-apa, Lil?" tanya Maya suatu sore, saat kami duduk di kamarku. Ia sedang membolak-balik buku catatan biru tua, menatap tulisan Adit yang semakin pudar. "Maksudku... ini pasti sulit, kan? Melihatnya pergi... lagi."
Aku menghela napas. "Sakit, Maya. Rasanya seperti kehilangan Adit dua kali. Tapi... ini yang dia inginkan. Dia ingin aku melangkah. Dia ingin aku percaya pada diriku sendiri. Dan dia ingin aku membangun 'galaksi' baru."
Maya memelukku. "Aku bangga padamu, Lil. Kamu sangat kuat."
(Flashback)
Itu adalah hari orientasi kampus Harvard. Aku dan Adit berjalan beriringan di antara kerumunan mahasiswa baru. Adit, dengan senyum khasnya, tampak begitu bersemangat. Ia menunjuk ke arah perpustakaan yang megah, ke arah lapangan hijau yang luas, ke arah gedung-gedung tua yang penuh sejarah.
"Lihat itu, Lil," katanya, matanya berbinar. "Ini tempatku sekarang. Tempat impian kita. Kamu pasti bakal suka."
Aku tersenyum, hatiku dipenuhi kebanggaan. "Aku tidak sabar untuk menyusulmu tahun depan."
"Kamu pasti akan menyusul, Lil," Adit meyakinkan. "Aku sudah membayangkan. Nanti kalau kamu di sini, kita bisa sering-sering ke perpustakaan. Kamu nulis di sana, aku di studio musik. Kita akan punya jadwal makan siang di kantin kampus. Mungkin kita bisa ambil kelas yang sama, misalnya kelas menulis kreatif yang aku dengar sangat bagus di sini."
"Kelas menulis kreatif?" tanyaku, mataku berbinar. "Aku belum pernah ambil kelas seperti itu. Di sekolah, menulis itu selalu terasa seperti... sebuah tugas."
Adit tertawa. "Di sini beda. Di sini, kamu bisa menemukan suaramu. Kamu bisa menuliskan apa saja yang kamu mau. Ini tentang menemukan dirimu sendiri, Lil. Dan aku tahu kamu punya banyak cerita yang ingin kamu ceritakan pada dunia. Kamu hanya perlu menemukan cara terbaik untuk menuliskannya." Ia menatapku, senyumnya lembut. "Aku percaya padamu."
(Flashback Berakhir)
Aku kembali ke masa kini. Kenyataan itu menghantamku. Adit tidak akan pernah ada di Harvard untuk menyambutku. Aku tidak akan pernah bisa mengambil kelas menulis kreatif bersamanya. Impian itu... kini terasa begitu jauh.
Namun, Adit telah memberiku pesan: percaya. Pesan itu, dan lirik lagu "Jejak" yang baru saja kuselesaikan, adalah warisannya. Ini adalah 'kunci' yang harus kupegang. Bukan lagi tentang impian yang sama, melainkan tentang bagaimana aku menemukan cara terbaik untuk menuliskan ceritaku, untuk menemukan suaraku sendiri, di mana pun aku berada.
Suatu siang, aku menerima email dari Bu Arini. Isinya tentang info pendaftaran untuk ujian masuk universitas lokal. Central Washington University. Sebuah "rencana B" yang dulu Adit dan aku pernah bicarakan, jika Harvard tidak sesuai harapan. Aku tahu aku harus mempertimbangkan itu.
Aku membuka laptop, menatap layar personal statement-ku. Kata-kata "Galaksi" dan "konstelasi baru" menatapku kembali. Adit telah membebaskanku dari ikatan masa lalu. Sekarang, aku harus mengambil langkah berani berikutnya, melangkah menuju masa depanku, meskipun itu berarti jalan yang berbeda dari yang pernah kami rencanakan bersama. Ini adalah bagian dari 'menemukan diri' yang sesungguhnya. Aku harus siap untuk apa pun yang menanti.
ππππ
Comment on chapter Bab 12: "ADIT - BARANG PRIBADI"