Desember datang, membawa serta hawa dingin yang menusuk dan janji pengumuman hasil Harvard. Setiap pagi, detak jantungku berpacu saat aku membuka kotak surat, berharap menemukan amplop tebal yang menandakan penerimaan. Namun, yang kudapati hanyalah amplop tipis, tanda penolakan, atau surat-surat biasa yang tak kuharapkan. Penantian ini terasa seperti siksaan, menguji setiap inci keberanian yang baru saja kutemukan.
"Sudah ada kabar, Lil?" tanya Maya suatu pagi di sekolah, matanya penuh harap sekaligus khawatir.
Aku menggeleng, senyumku terasa kaku. "Belum. Mungkin masih proses."
Maya menghela napas. "Temanku sudah ada yang dapat, Lil. Bahkan yang Early Action." Nada suaranya penuh empati, namun juga jujur.
Aku tahu apa yang Maya coba sampaikan. Semakin lama penantian, semakin besar kemungkinan penolakan. Rasa dingin merayap dari kakiku hingga ke dada. Impian Harvard, impian yang kubangun bersama Adit, terasa semakin jauh, seperti bintang yang meredup di ujung galaksi.
Di kelas Bahasa Inggris, Pak Dani mengembalikan cerpen yang kutulis tentang "Jejak". Aku mengambilnya, jantungku berdebar. Ada coretan tangan Pak Dani di beberapa bagian, dan di halaman terakhir, sebuah catatan.
"Lily, ini cerpen yang sangat... jujur," tulisnya. "Ada kedalaman emosi yang luar biasa. Sebuah 'suara' yang kuat. Kamu punya bakat. Pertimbangkan untuk mengikuti lomba menulis. Atau teruslah menulis. Kamu akan menemukan 'jejak' yang jauh lebih besar dari yang kamu duga."
Aku memeluk cerpen itu, dadaku menghangat. Suara. Pak Dani melihat 'suaraku'. Ini adalah pengakuan yang sangat kubutuhkan, sebuah validasi bahwa 'Galaksi'ku, meskipun tanpa Adit, masih bisa bersinar.
Pulang sekolah, aku langsung menuju studio musik. Mayadi dan bandnya sedang berlatih. Mereka kini memainkan melodi lagu "Jejak" dengan lebih fasih, harmoninya terasa lebih utuh.
"Lil! Pas banget!" seru Mayadi, menghentikan petikannya. "Kami lagi coba aransemen baru buat lagu 'Jejak'. Gimana menurutmu?"
Aku mendengarkan mereka memainkan lagu itu lagi. Melodi Adit yang dulu melankolis kini terasa lebih hidup, lebih bertenaga. Lirik yang kutulis, yang menceritakan tentang duka dan penemuan, kini mengalir dalam harmoni yang kuat. Aku merasa seperti bagian dari sesuatu yang lebih besar, sebuah 'konstelasi' baru yang terbentuk dari kolaborasi.
"Indah, Mayadi," kataku, suaraku sedikit bergetar. "Adit pasti bangga."
Mayadi tersenyum. "Dia memang akan bangga, Lil. Karena lagu ini... ini juga 'jejak' kalian berdua. Dia musiknya, kamu liriknya. Kalian berdua adalah harmoninya."
Malam itu, aku menerima email. Bukan dari Harvard. Melainkan dari universitas lokal, Central Washington University, tempat Bu Arini mengajar. Mereka menawarkan beasiswa penuh untuk program studi Bahasa dan Sastra, dengan fokus pada Penulisan Kreatif. Aku menatap email itu, hatiku diliputi perasaan campur aduk. Ini adalah 'rencana B' yang Bu Arini pernah singgung. Sebuah pintu lain yang terbuka.
Aku tidak tahu harus merasa apa. Sedih karena Harvard mungkin tidak akan menerimaku? Atau lega karena ada jalur lain yang jelas terbentang? Aku memutuskan untuk tidur.
Keesokan paginya, saat aku mengecek kotak surat, ada sebuah amplop. Amplop tebal. Dengan logo Harvard University. Jantungku berpacu, bergemuruh di telingaku. Ini dia. Momen yang kutunggu-tunggu. Aku meremas amplop itu, tanganku gemetar.
Aku bergegas masuk ke kamar, duduk di tepi tempat tidur. Aku membuka amplop itu dengan tangan gemetar. Di dalamnya, ada surat. Sebuah surat panjang.
Kata-kata pertama yang kubaca menghentikan napas.
"Terima kasih atas minat Anda untuk mendaftar di Harvard College. Panitia Penerimaan telah mempertimbangkan aplikasi Anda dengan hati-hati dan kami dengan menyesal memberi tahu Anda bahwa kami tidak akan dapat menawarkan Anda penerimaan ke kelas masuk..."
Penolakan. Kata itu menusukku, dingin dan tajam. Finding Yourself. Aku telah menulis tentang menemukan diriku, tentang membangun galaksi dari pecahan, tapi kini aku merasa pecah lagi. Impian yang kubangun bersama Adit, ambisi yang begitu besar, kini hancur di depan mataku.
Air mataku tumpah, panas dan deras. Aku memeluk surat penolakan itu, menangis terisak-isak. Semua perjuangan itu. Semua kejujuran itu. Semua harapan itu. Semuanya terasa sia-sia. Adit. Ia tidak ada di sini untuk memelukku, untuk memberitahuku bahwa ini baik-baik saja.
Aku tidak tahu harus berbuat apa. Duniaku terasa hampa. Aku hanya ingin kembali ke masa lalu, ke saat Adit masih ada, ke saat impian kami terasa begitu nyata.
Beberapa saat kemudian, aku merasakan ponselku bergetar. Sebuah pesan dari Maya.
"Lil, sudah dapat kabar? Apa pun itu, ingat, aku di sini untukmu."
Aku mengabaikan pesannya. Aku tidak ingin bicara dengan siapa pun. Aku hanya ingin sendirian dalam kehancuranku.
Tiba-tiba, sebuah flashback yang menyakitkan menerjangku.
(Flashback)
Itu adalah malam setelah pengumuman penerimaan Early Action Adit di Harvard. Kami berdua di kafe, ia bercerita tentang temannya, seorang senior yang juga sangat cerdas, yang ditolak Harvard.
"Dia hancur banget, Lil," Adit menghela napas. "Dia bilang, dia merasa seperti pecundang. Seolah semua yang dia perjuangkan selama ini itu sia-sia."
Aku menatapnya. "Kamu pasti memberitahunya tidak begitu, kan?"
Adit mengangguk. "Tentu saja. Aku bilang, Harvard itu bukan segalanya. Itu cuma satu pintu. Kalau satu pintu tertutup, ada seribu pintu lain yang terbuka. Mungkin pintu yang tertutup itu sebenarnya menyelamatkanmu dari jalan yang salah."
"Jalan yang salah?" tanyaku.
"Ya. Mungkin impian yang kita kira itu sempurna, ternyata bukan untuk kita," Adit menjelaskan. "Mungkin Tuhan punya rencana lain yang lebih baik. Dia ingin kita menemukan diri di jalan yang berbeda, yang mungkin lebih cocok dengan 'galaksi' kita yang sebenarnya." Ia tersenyum, menyentuh pipiku. "Ingat itu, Lil. Kalau nanti kamu ditolak Harvard, jangan pernah berpikir kamu gagal. Berarti ada pintu lain yang menantimu. Dan pintu itu, mungkin akan membawamu pada 'jejak' yang lebih indah."
(Flashback Berakhir)
Aku membuka mata. Air mata masih mengalir, namun kata-kata Adit menusuk jauh ke dalam hatiku. Pintu lain. Jalan yang berbeda. 'Jejak' yang lebih indah. Apakah Central Washington University itu 'pintu lain' itu? Apakah itu 'jejak' baruku?
Aku meraih ponselku, membalas pesan Maya.
"Aku ditolak, May. Harvard tidak menerimaku."
Tidak lama kemudian, ponselku kembali bergetar. Panggilan dari Maya. Aku menghela napas, mengangkatnya.
"Lil! Ya Tuhan! Aku... aku turut berduka, Lil. Aku tahu ini pasti sangat berat," suara Maya terdengar sedih.
"Tidak apa-apa, May," kataku, suaraku serak namun mencoba tegar. "Adit pernah bilang, kalau satu pintu tertutup, ada pintu lain yang terbuka. Mungkin ini jalanku yang berbeda."
Maya terdiam sesaat. "Pintu lain? Apa maksudmu?"
"Central Washington University," jawabku. "Mereka menawarkanku beasiswa penuh untuk Penulisan Kreatif."
Ada jeda. "Lily! Ya Tuhan! Itu luar biasa! Kamu serius?" Suara Maya tiba-tiba dipenuhi antusiasme. "Itu artinya kamu tetap bisa kuliah! Kamu tetap bisa menulis! Adit pasti senang mendengarnya!"
Mayadi datang menghampiriku di perpustakaan. Ia melihat raut wajahku, lalu ponsel di tanganku. "Ada apa?"
"Lily ditolak Harvard," Maya memberitahunya dari ponselku, mungkin dengan speakerphone.
Mayadi terdiam, wajahnya menunjukkan simpati.
"Tapi Central Washington University menawarkannya beasiswa penuh untuk Penulisan Kreatif!" Maya menambahkan dengan antusiasme.
Mata Mayadi membesar. Ia menatapku, senyum tipis terukir di bibirnya. "Itu... itu luar biasa, Lil! Selamat! Adit pasti bangga banget sama kamu. Dia selalu bilang, kamu itu penulis sejati. Dia akan sangat senang kalau kamu bisa terus menulis."
Aku tersenyum tipis. Untuk pertama kalinya, rasa sakit penolakan itu terasa sedikit memudar, digantikan oleh percikan harapan yang samar. Mungkin Mayadi benar. Mungkin ini adalah 'pintu lain' yang Adit maksud. Sebuah 'jejak' baru yang harus kuukir.
"Aku... aku akan mencoba," kataku. "Aku akan mencoba membuat ini jadi 'galaksi' baruku."
Mayadi mengangguk, matanya berbinar. "Itu semangat! Kapan kita bisa mulai merayakan?"
Aku tertawa, tawa pertama yang tulus setelah berhari-hari. "Nanti, kalau aku sudah siap."
Malam itu, aku menatap bookend sayap tunggal di mejaku. Aku mengambilnya, membelai ukiran bintang di bawahnya. Adit memang pergi. Tetapi ia telah meninggalkan begitu banyak jejak, begitu banyak petunjuk, begitu banyak bintang di dalam diriku. Ia telah membimbingku, selangkah demi selangkah, untuk menemukan 'Galaksi' di dalam diriku yang kini mulai merekahi. Sebuah 'Galaksi' yang mungkin tidak seperti yang pernah kami bayangkan, namun tetap indah, dan sepenuhnya milikku.
ππππ
Comment on chapter Bab 12: "ADIT - BARANG PRIBADI"