Pikiran tentang bookend perak itu menghantuiku sepanjang malam. Sebuah benda yang selama ini hanya kuanggap sebagai kenang-kenangan biasa, kini menjelma menjadi "kunci" misterius yang Adit isyaratkan. Aku tahu itu ada di gudang, tempat di mana semua barang Adit "diamankan" setelah kepergiannya, jauh dari pandangan, jauh dari ingatan yang menyakitkan.
Pagi itu, aku bergegas menuju gudang. Udara di dalamnya pengap, berbau debu dan kayu lapuk. Kotak-kotak kardus menjulang tinggi, menjebak cahaya samar yang masuk dari celah atap. Setiap kotak seolah menyimpan potongan-potongan masa lalu yang belum siap kuhadapi. Aku tahu, barang-barang Adit ada di salah satu kotak itu. Dulu, aku tidak sanggup menyentuhnya. Kini, aku mencari "kunci" itu.
Aku mulai membongkar. Kotak demi kotak kubuka, isinya berhamburan. Pakaian-pakaian Adit yang masih menyimpan aromanya, buku-buku yang ia baca, koleksi CD musiknya yang lusuh—semua itu membanjiriku dengan kenangan pahit manis. Aku menemukan topi Mariners yang dibelinya di Seattle, sebuah boneka kadal dari pameran kota, bahkan setiap CD mix tape yang ia buat untukku selama bertahun-tahun. Semuanya. Aku menyingkirkannya, bukan karena benci, tetapi karena aku tahu aku harus mencari bookend itu terlebih dahulu.
Rasa lelah mulai menjalari tubuhku, namun aku tidak menyerah. Aku terus mencari, menggali setiap sudut kotak. Sampai akhirnya, di dasar sebuah kotak yang bertuliskan "ADIT - BARANG PRIBADI", aku menemukannya. Sebuah bookend perak berbentuk sayap tunggal, terbungkus kain beludru hitam. Dingin, berat, namun terasa begitu penting di tanganku. Ini dia. Kunci itu.
Aku memeluk bookend itu, duduk di tengah tumpukan kotak. Udara di gudang terasa begitu dingin, seolah aku duduk di tengah duka yang membeku. Kata-kata Adit yang muncul dari jurnal terngiang, Ada satu 'kunci' yang kamu punya. Cari dia. Dia juga butuh kamu.
Aku mengeluarkan buku catatan biru tua dari saku, membukanya ke halaman kosong. Jemariku gemetar saat menuliskan pertanyaan pada Adit.
Adit, aku menemukannya. Bookend sayap tunggal itu. Apakah ini 'kunci' yang kau maksud? Apakah ini yang kubutuhkan untuk menemukan diriku?
Aku menunggu. Jeda itu kembali. Kali ini, terasa lebih lama dari biasanya. Setiap detik terasa seperti keabadian. Aku membelai bookend di tanganku, merasakan dinginnya logam. Apa artinya ini? Mengapa Adit begitu menekankan "kunci" ini?
Setelah penantian yang begitu panjang, tulisan Adit muncul. Sangat samar, nyaris tak terbaca, seolah ia menulis dari tempat yang sangat jauh.
Ya, Lil. Itu 'kunci' yang lama hilang. Ini bukan sekadar benda. Ini adalah cerminan. Bagian yang hilang dari dirimu, yang menantimu untuk menyatukannya kembali.
Cerminan. Bagian yang hilang dari diriku. Kata-kata itu menusukku. Bookend itu adalah sayap tunggal. Apakah aku adalah sayap yang lain? Aku memeluk bookend itu erat-erat. Air mata mengalir deras di pipiku. Rasa sakit bercampur dengan harapan yang aneh.
Aku kembali ke kamar, membawa bookend itu bersamaku. Aku meletakkannya di meja belajarku, di samping buku-buku pelajaran yang harus kuselesaikan. Personal statement Harvard. Deadline semakin menekan.
Keesokan harinya di sekolah, Bu Arini kembali mendekatiku. Wajahnya menunjukkan kekhawatiran yang semakin nyata.
"Lily, saya serius. Deadline untuk Harvard tinggal dua minggu lagi. Kamu harus segera menyelesaikan personal statement-mu," katanya, suaranya kini terdengar lebih mendesak. "Ini adalah impianmu, Nak. Kamu tidak boleh menyerah."
Aku menatapnya. Bagaimana aku bisa menjelaskan bahwa impian ini, yang dulu begitu jelas, kini terasa begitu berat? Bagaimana aku bisa menjelaskan bahwa aku sedang mencoba menyatukan "bagian yang hilang" dari diriku sendiri?
"Saya... saya sedang mengerjakannya, Bu," ujarku, berusaha tenang. "Saya hanya... sedikit terhambat."
"Terhambat?" Bu Arini mengerutkan kening. "Oleh apa? Saya tahu kamu sedang berduka, Lily. Tapi waktu tidak menunggu. Kamu harus bangkit. Kamu harus fokus."
Aku menghela napas. Aku tahu ia benar. Aku tidak bisa terus hidup dalam kabut dukaku, hanya bergantung pada tulisan samar dari Adit. Aku harus mengambil tindakan.
"Baik, Bu," kataku. "Saya akan mencoba. Saya akan fokus."
Bu Arini tersenyum, meski masih ada keraguan di matanya. "Bagus. Saya tunggu draf finalmu sebelum akhir bulan ini, ya."
Sepanjang hari, aku mencoba fokus. Namun pikiranku terus melayang pada bookend itu, pada "bagian yang hilang" dari diriku. Dan pada Mayadi. Ia adalah "teman" yang Adit isyaratkan. Ia adalah bagian dari "jejak" yang harus kuikuti.
Saat jam makan siang, aku melihat Mayadi di kantin, duduk sendiri, sibuk mencoret-coret bukunya. Aku menghampirinya.
"Mayadi," panggilku.
Ia menoleh, sedikit terkejut. "Lily? Ada apa?"
"Aku... aku hanya ingin tahu," kataku, mencoba mencari kata-kata. "Bagaimana... bagaimana kamu bisa terus menulis lagu? Melanjutkan musikmu, setelah Adit pergi?"
Mayadi menatapku, matanya yang gelap kini memancarkan kesedihan yang mendalam. "Susah, Lil. Sulit banget. Rasanya kayak... ada nada yang hilang. Harmoni yang pecah." Ia menghela napas. "Tapi Adit pernah bilang, kalau ada nada yang hilang, kita harus cari nada baru. Atau, kita harus bikin harmoni yang baru. Bukan untuk melupakan yang lama, tapi untuk menghormatinya."
Kata-kata Mayadi seolah menembusku. Nada baru. Harmoni baru. Bukankah itu yang sedang coba kukerjakan di personal statement-ku? Mencari nada baru untuk ceritaku, harmoniku, tanpa Adit?
"Adit... dia bilang padaku, aku itu 'kunci' baginya. Kunci yang bisa melihat hatinya," ujarku, suaraku nyaris berbisik, mencoba menguji air. Aku ingin melihat reaksinya.
Mayadi terdiam sesaat, menatapku lekat. Ada kilatan di matanya yang sulit kutangkap. "Dia memang pernah bilang begitu. Dan dia benar, Lil. Kamu itu punya mata yang berbeda. Mata yang bisa melihat ke dalam jiwa seseorang. Itu makanya dia selalu percaya kamu." Ia tersenyum tipis. "Dia bilang kamu itu bisa jadi 'kunci pembuka' bagi banyak hal. Banyak rahasia."
Kunci pembuka. Rahasia. Pikiranku berputar pada bookend di kamarku. Sebuah bookend sayap tunggal. Dan bagian yang hilang. Apakah Mayadi juga adalah bagian dari "kunci" itu? Apakah ia akan membantuku menemukan bagian yang hilang itu?
"Aku... aku ingin mencoba menulis lirik lagu itu. Lagu 'Jejak' yang belum selesai," kataku, mengubah topik, kembali ke dunia nyata. "Aku butuh bantuanmu."
Mayadi tersenyum, kali ini senyumnya tulus. "Tentu saja, Lil. Kapanpun kamu siap."
Aku kembali ke rumah, mengambil bookend itu dari meja, dan memegangnya erat. Bagian yang hilang. Cerminan. Jika bookend ini adalah "kunci" yang menuntuku pada diriku yang hilang, bagaimana cara menemukannya? Aku harus menemukan cara untuk "membaca" benda ini, seolah itu adalah halaman lain dari jurnal Adit.
Malam itu, aku meletakkan bookend di atas meja belajarku. Aku membalik-balik jurnal, berharap menemukan petunjuk. Tidak ada. Aku memejamkan mata, membiarkan kenangan tentang Adit membanjiriku.
(Flashback)
Aku dan Adit sedang berjalan di pinggir danau yang sunyi, senja merayap perlahan. Adit menunjuk ke arah air yang tenang, memantulkan cahaya jingga matahari terbenam.
"Lihat itu, Lil," bisiknya. "Danau ini... dia itu seperti cermin. Memantulkan semua yang ada di atasnya. Tapi dia juga menyembunyikan semua yang ada di dalamnya."
"Maksudmu?" tanyaku.
"Setiap orang itu seperti danau," Adit menjelaskan. "Punya permukaan yang tenang, yang orang lain lihat. Tapi di dalamnya, ada banyak hal yang tersembunyi. Rahasia, impian, ketakutan. Kamu harus berani menyelaminya untuk menemukan apa yang sebenarnya ada di sana." Ia tersenyum tipis. "Makanya aku suka kamu. Kamu itu penyelam yang berani. Kamu berani menyelami diriku. Dan aku percaya, kamu juga bisa menyelami dirimu sendiri."
(Flashback Berakhir)
Cermin. Menyelami diri. Rahasia.
Aku membuka mata. Bookend di tanganku terasa dingin. Apakah "bagian yang hilang" itu ada di dalam diriku sendiri? Apakah "kunci" ini adalah cerminan dari jiwaku yang hilang? Dan apakah aku harus "menyelami" diriku sendiri untuk menemukannya?
Deadline Harvard yang kian mendekat terasa seperti bayangan yang menghantuiku. Aku tahu aku tidak bisa lagi menulis personal statement itu dengan kebohongan. Aku tidak bisa menulis tentang "menemukan diri" jika aku sendiri belum menemukannya. Aku harus jujur. Jujur pada diriku, dan pada Adit.
Malam itu, aku tidak menuliskan apa pun di jurnal. Aku hanya memegang bookend itu, menatap pantulannya yang samar di permukaannya. Aku tahu, "kunci" itu tidak akan memberiku jawaban instan. Ia akan menuntutku untuk melihat lebih dalam ke dalam diriku, untuk menghadapi rahasia dan ketakutan yang tersembunyi. Dan itu adalah hal yang paling kutakuti. Namun, juga satu-satunya jalan keluar.
Aku harus menemukan keberanian untuk menyelam.
ππππ
Comment on chapter Bab 12: "ADIT - BARANG PRIBADI"