Malam itu, setelah kembali dari latihan band Mayadi, pikiranku dipenuhi oleh teka-teki baru dari Adit: Ada satu 'kunci' yang kamu punya. Cari dia. Dia juga butuh kamu. Kata-kata itu berputar-putar di benakku, mengusik rasa penasaranku yang kini terasa bercampur dengan ketakutan. Ketakutan akan koneksi yang kian menipis, seolah setiap petunjuk adalah balapan melawan waktu.
Aku membuka buku catatan biru tua itu, menatap tulisan Adit. Goresan tinta yang kini terasa begitu rapuh, nyaris memudar. Aku membelai halaman itu dengan jemariku, mencoba merasakan sisa-sisa kehadirannya.
Kunci apa? Siapa yang dimaksud? Apakah ini benda fisik, atau seseorang? Pikiranku melayang ke segala arah, mencoba mengingat setiap detail percakapanku dengan Adit di masa lalu, setiap janji atau rahasia yang pernah kami bagi. Tidak ada yang terlintas.
Pagi di sekolah terasa lebih menekan dari sebelumnya. Deadline Early Action Harvard semakin dekat. Hanya tinggal beberapa minggu lagi hingga awal November. Setiap hari, aku merasa seperti berada di bawah teropong pengawasan Bu Arini. Ia selalu melirikku dengan tatapan penuh pertanyaan, mengisyaratkan progres personal statement-ku.
Di kelas Bahasa Inggris, Pak Dani memberikan tugas menulis esai deskriptif tentang "tempat yang paling bermakna". Pikiran pertamaku langsung tertuju pada lapangan hijau di mana aku dan Adit sering menghabiskan waktu. Tempat itu, dan "singgasana pemikir" di bawah pohon beringin. Mungkin ini bisa menjadi bagian dari personal statement Harvard-ku, sebuah cara untuk menyisipkan kenangan Adit tanpa terlalu gamblang.
Namun, di tengah-tengah konsentrasiku, aku melihat Mayadi duduk di bangku depanku, sibuk mencoret-coret bukunya. Tiba-tiba, ia berbalik, menatapku.
"Kamu... sudah mulai menulis liriknya?" tanyanya, suaranya pelan.
Aku mengangguk. "Sedikit. Melodinya bagus. Ada jiwa di sana."
Mayadi tersenyum tipis. "Adit pasti senang mendengarnya. Dia sangat menyayangi lagu itu." Ia terdiam sejenak. "Dulu, waktu kami pertama kali bikin band, Adit selalu bilang, kami itu kayak 'kunci' yang belum ketemu gemboknya. Masing-masing punya nada, tapi belum bisa bikin harmoni yang sempurna."
Jantungku berdegup kencang. Kunci. Ia menggunakan kata 'kunci'. Apakah ini kebetulan? Atau memang ini yang dimaksud Adit? Mayadi. Mayadi adalah 'kunci' itu?
"Kunci?" tanyaku, mencoba menahan suaraku agar tidak bergetar.
Mayadi mengangkat bahu. "Ya, kayak di lagu. Setiap anggota band itu kayak kunci yang beda-beda. Drum itu kunci ritme, bass itu kunci dasar, gitar melodi itu kunci utama. Kalau satu kunci hilang, harmoninya pecah." Ia menatapku, matanya yang gelap kini menyorotkan kesedihan. "Sekarang Adit hilang, harmoninya pecah."
Dadaku sesak. Mayadi juga merasa kehilangan 'kunci' itu. Adit. Mayadi juga butuh Adit. Dan mungkin, Mayadi juga butuh "kunci" yang lain.
"Kamu... kamu sudah menemukan kunci lain?" tanyaku, suaraku nyaris tak terdengar.
Mayadi tersenyum pahit. "Susah, Lil. Sulit menemukan yang bisa mengisi kekosongan Adit. Dia itu unik." Ia menatapku lekat. "Tapi, kamu. Adit selalu bilang kamu itu 'kunci' yang paling penting dalam hidupnya. Kunci yang bisa membuka semua dunianya."
Pikiranku berputar-putar. Adit menyebutku 'kunci' di masa lalu. Sekarang ia menyebut 'kunci' lain. Apakah ini metafora? Atau ada makna literal di baliknya? Jika aku adalah 'kunci' bagi Adit, mungkin aku adalah 'kunci' untuk menemukan dirinya, atau menemukan petunjuk yang lebih jelas.
Saat jam makan siang, aku menghampiri meja Mayadi. Ia sedang serius membaca buku tentang komposisi musik.
"Mayadi," panggilku.
Ia menoleh, sedikit terkejut. "Lily? Ada apa?"
"Aku... aku hanya ingin tahu," kataku, berusaha mencari kata-kata yang tepat. "Tadi pagi kamu bilang, Adit bilang aku itu 'kunci' yang penting baginya. Aku ingin tahu... kenapa? Kenapa dia bilang begitu?"
Mayadi menutup bukunya. Ia menatapku, tatapannya kini dipenuhi dengan kelembutan yang jarang ia tunjukkan. "Adit bilang, kamu itu yang paling bisa 'melihat' dia. Melihat lebih dari yang orang lain lihat. Melihat hatinya, impiannya, bahkan ketakutannya yang paling dalam." Ia tersenyum tipis. "Dia bilang kamu itu yang bisa bikin dia jujur sama dirinya sendiri. Itu yang bikin kamu 'kunci' baginya. Pembuka rahasia-rahasia hatinya."
Pembuka rahasia. Jantungku berdesir. Apakah ini yang Adit maksud? Bahwa aku harus menggunakan kemampuanku untuk "melihat" dan "menggali" untuk menemukan "kunci" itu, untuk membantu Mayadi, dan mungkin, untuk menemukan diri sendiri?
Aku merenungkan kata-kata Mayadi sepanjang sore. Melihat hati. Melihat impian. Melihat ketakutan. Ini persis seperti yang ia minta dariku untuk personal statement Harvard—untuk menceritakan siapa diriku yang sesungguhnya. Dan mungkin, ini juga yang Adit coba lakukan melalui tulisan di jurnal. Ia mencoba membuatku melihat diriku yang sesungguhnya, melalui lensanya, melalui kenangan kami.
Malam harinya, aku membuka buku catatan biru tua itu. Aku menuliskan semua yang kuketahui tentang "kunci".
Adit, Mayadi bilang aku adalah 'kunci' bagimu. Kunci yang bisa melihat hatimu. Dia juga bilang bandnya itu 'kunci' yang harmoninya pecah tanpamu. Apakah aku harus menemukan 'kunci' itu di antara kami? Apakah 'kunci' itu adalah hal yang hilang yang harus kuungkap?
Aku menunggu. Lebih lama dari biasanya. Tulisan Adit muncul, lebih samar, lebih rapuh.
Kamu semakin dekat, Lil. Ikuti saja nalurimu. 'Kunci' itu... adalah tempat di mana semua terhubung. Kamu akan tahu saat kamu menemukannya. Dan jangan lupa... waktu kita... terbatas.
Waktu kita terbatas. Kalimat itu menghantamku seperti godam. Rasa dingin menjalari tulang punggungku. Ketakutan yang selama ini kupendam kini terasa begitu nyata. Komunikasi ini akan berakhir. Adit akan pergi. Aku akan benar-benar sendiri.
Aku memeluk buku catatan itu erat-erat, air mata mengalir deras di pipiku. Aku tidak bisa melepaskannya. Belum. Aku belum siap. Aku belum menemukan 'kunci' itu. Aku belum menemukan diriku. Dan deadline Harvard semakin menekan.
Aku tahu aku tidak bisa terus-menerus menunda personal statement itu. Setiap hari adalah perjuangan. Aku harus menulis sesuatu, apa pun, agar tidak gagal di depan Bu Arini dan impian Harvard.
(Flashback)
Itu adalah malam ulang tahunku yang ke-17. Adit membawaku ke toko buku tua, Pak Herman. Bukan untuk membeli buku, melainkan untuk sebuah kejutan. Lampu-lampu toko dimatikan, hanya menyisakan lilin-lilin kecil yang berkelip di setiap rak. Adit menuntunku ke sebuah sudut tersembunyi, tempat di mana ia menyiapkan sebuah kejutan kecil.
Sebuah bookend perak berbentuk sayap tunggal, tergeletak di atas meja.
"Ini hadiah dariku, Lil," katanya, tersenyum. "Untuk si penulis hebatku."
Aku menatapnya. "Tapi... bukankah ini seharusnya satu set? Mana bagian satunya lagi?"
Adit tertawa. "Memang harusnya begitu. Tapi ini yang terakhir. Mungkin... bagian satunya lagi akan kamu temukan sendiri. Di perjalananmu nanti."
Aku mengerutkan kening. "Maksudmu?"
"Hidup itu seperti itu, Lil," Adit menjelaskan, matanya berbinar. "Kita akan memulai dengan satu bagian, satu petunjuk. Lalu kita harus mencari sisanya, 'kunci' yang bisa melengkapi semuanya. Dan yang paling penting, kamu harus menemukan bagianmu sendiri." Ia menyentuh bookend itu. "Mungkin saja... 'kunci' itu ada di tempat yang tidak pernah kamu duga."
(Flashback Berakhir)
Bookend berbentuk sayap tunggal. Kunci. Tempat yang tidak terduga.
Aku tersentak. Aku ingat bookend itu. Itu ada di dalam kotak berisi barang-barang Adit yang kumasukkan ke gudang setelah ia meninggal. Aku tidak pernah membuangnya, hanya menyimpannya jauh-jauh, tidak sanggup melihatnya.
Apakah itu 'kunci' yang Adit maksud? Sebuah benda fisik? Atau hanya metafora untuk sesuatu yang harus kutemukan di sana? Gudang. Tempat di mana kenangan-kenangan lama Adit tersimpan, terkubur.
Aku beranjak dari tempat tidur. Rasa dingin dari malam itu menusuk, namun kini ada tujuan baru yang jelas. Aku harus mencari bookend itu. Aku harus menemukan 'kunci' itu. Ini adalah petunjuk Adit. Dan mungkin, ini adalah satu-satunya cara untuk memahami apa yang ia ingin aku lakukan, sebelum waktu kami benar-benar habis. Aku harus mencarinya. Segera.
ππππ
Comment on chapter Bab 12: "ADIT - BARANG PRIBADI"