Bookend perak itu tergeletak di meja belajarku, dingin dan bisu. Sejak menemukannya di gudang, ia tak lagi sekadar kenang-kenangan. Kini ia adalah "kunci", sebuah petunjuk yang menantangku untuk "menyelami diri", mencari "bagian yang hilang". Kata-kata Adit di jurnal, dan juga kenangan saat di danau itu, berputar di kepalaku, menuntut jawaban.
Malam itu, aku mematikan lampu kamar, hanya menyisakan cahaya remang dari lampu meja yang jatuh tepat ke permukaan bookend. Aku memegangnya, meraba ukiran sayap tunggal itu, mencari sebuah celah, sebuah tombol, sebuah petunjuk fisik yang bisa membukanya. Tidak ada. Permukaannya mulus, dingin. Aku mencoba menekannya, menggoyangnya, bahkan membisikkan nama Adit, berharap keajaiban akan terjadi. Nihil.
Frustrasi mulai merayap. Apakah aku salah menafsirkan petunjuk Adit? Apakah "kunci" ini bukan benda fisik, melainkan metafora yang lebih dalam? Aku meraih buku catatan biru tua, membukanya ke halaman kosong.
Adit, aku tidak mengerti. Aku sudah menemukan bookend-nya. Aku sudah memegangnya, mencarinya. Tapi aku tidak tahu bagaimana cara membukanya. Bagaimana aku bisa 'menyelami' diriku? Apa maksudmu 'cerminan'?
Aku menunggu. Jeda itu kembali, terasa lebih berat, seolah Adit berjuang keras untuk mengirimkan pesannya. Kali ini, tulisan yang muncul lebih samar, seperti goresan hantu di atas kertas.
Bukan membuka... Lil. Tapi melihat. Cerminan... itu di dalam dirimu. Bukalah... hatimu. Di sana... ada jawaban. Jangan takut... untuk menuliskan... kebenaran.
Melihat tulisan itu, dadaku sesak. Bukan membuka... tapi melihat. Cerminan... itu di dalam dirimu. Bukalah hatimu. Menuliskan kebenaran. Adit tidak memintaku membuka bookend itu, melainkan membuka diriku sendiri. Ia ingin aku menulis tentang kebenaran yang kutakuti, kebenaran tentang kehilangannya dan bagaimana hal itu mengubahku.
Keesokan harinya, di sekolah, tekanan deadline Harvard terasa semakin mencekik. Bu Arini melirikku di koridor, tatapannya menyiratkan pertanyaan tanpa kata. Aku tahu ia mengharapkan draf finalku segera. Tapi bagaimana aku bisa menuliskan 'kebenaran' itu? Kebenaran tentang kerapuhanku, tentang bagaimana aku tersesat, tentang komunikasiku dengan Adit? Harvard menginginkan seorang pemimpin muda yang kuat, bukan jiwa yang hancur.
Jam makan siang, aku menghampiri Mayadi di kantin. Ia sedang menggambar sketsa aneh di buku gambarnya, sebuah komposisi abstrak dari bentuk-bentuk yang patah namun saling terhubung.
"Apa yang kamu gambar?" tanyaku, duduk di depannya.
Mayadi mengangkat kepala, tersenyum tipis. "Ini... tentang melodi yang hilang. Aku mencoba menggambar bagaimana rasanya. Kekosongan itu." Ia menatapku, matanya yang tajam seolah menembus. "Kamu sudah mulai menulis liriknya?"
Aku mengangguk. "Sedikit. Tapi aku... terhambat. Aku tidak tahu bagaimana menulis tentang kehilangan, tapi sekaligus tentang menemukan."
Mayadi meletakkan pensilnya. "Dulu, Adit selalu bilang, kalau kamu mau menulis tentang sesuatu yang sakit, kamu harus biarkan rasa sakit itu bicara sendiri. Jangan ditahan. Biarkan dia mengalir. Nanti, dia akan menemukan jalannya sendiri." Ia menatap sketsa di buku gambarnya. "Seperti pecahan-pecahan ini. Awalnya hancur. Tapi kalau kamu lihat lebih dekat, mereka bisa membentuk pola baru. Sebuah harmoni baru."
Pola baru. Harmoni baru. Kata-kata itu beresonansi dengan pesan Adit. "Tapi bagaimana kalau itu terlalu... pribadi? Terlalu jujur?" tanyaku, pikiranku melayang pada personal statement Harvard.
Mayadi mendengus. "Harvard? Mereka nggak peduli seberapa 'pribadi' kamu, Lily. Mereka cuma peduli seberapa 'nyata' kamu. Seberapa otentis kamu bisa menceritakan dirimu." Ia menatapku dengan sorot mata serius. "Adit selalu bilang, kamu itu punya keberanian untuk menjadi nyata. Jangan sembunyikan itu."
Kata-kata Mayadi seolah menampar sekaligus menyemangatiku. Keberanian untuk menjadi nyata. Adit juga selalu mengatakan itu. Mereka berdua, dari dua dunia yang berbeda, seolah menyampaikan pesan yang sama. Aku harus jujur. Jujur pada personal statement-ku, jujur pada diriku sendiri.
Malam itu, aku kembali ke kamarku. Bookend perak itu masih tergeletak di meja, memantulkan cahaya remang. Aku meraihnya. Dingin. Bisu. Tapi kini, aku tahu ia bukan untuk dibuka, melainkan untuk "dilihat".
Aku membuka buku catatan biru tua. Aku menuliskan lagi. Kali ini, bukan pertanyaan untuk Adit, melainkan sebuah pengakuan. Pengakuan tentang rasa sakitku, tentang kehilanganku, tentang bagaimana kematian Adit telah merenggut sebagian dari diriku. Aku menulis tentang kekosongan yang Mayadi gambarkan, tentang nada yang hilang. Dan aku menulis tentang ketakutanku untuk melangkah maju, tentang ketakutanku akan masa depan tanpa Adit.
Setiap kata yang kutulis terasa seperti luka yang terbuka. Air mata mengalir, membasahi halaman, bercampur dengan tinta. Aku menuliskan semua yang kutahan, semua yang kupendam. Ini adalah "kebenaran" yang Adit ingin aku tulis. Ini adalah "menyelami diri" yang Mayadi maksud. Aku membiarkan rasa sakit itu bicara, mengalir dari ujung penaku ke atas kertas.
Saat aku menulis, aku teringat sebuah kenangan yang dulu selalu kuhindari.
(Flashback)
Aku dan Adit sedang bermain tebak-tebakan di pinggir pantai. Angin berembus kencang, menerbangkan pasir. Adit menunjuk ke arah ombak yang bergulung.
"Tebak, Lil," katanya, tersenyum. "Apa yang paling ditakuti lautan?"
Aku mengerutkan kening. "Diyakini tidak terbatas?"
Adit tertawa. "Bukan. Yang paling ditakuti lautan adalah... kehilangan airnya. Kehilangan identitasnya." Ia menatapku serius. "Seperti kita, Lil. Kita takut kehilangan diri kita. Takut kehilangan apa yang membuat kita jadi kita. Makanya, kita harus terus mencari tahu siapa kita, walaupun itu artinya kita harus menghadapi ombak yang paling besar sekalipun."
Aku hanya mengangguk, terdiam. Adit selalu punya cara untuk mengubah hal sederhana menjadi filosofi yang mendalam.
(Flashback Berakhir)
Kehilangan identitasnya. Aku tersentak. Apakah ini yang terjadi padaku? Aku kehilangan identitasku saat Adit pergi. Aku kehilangan arah, menjadi "lautan tanpa air".
Aku terus menulis, tangan terasa pegal, mata perih. Aku menulis tentang Adit, tentang impian kami, tentang bagaimana semua itu kini terasa seperti fragmen yang berserakan. Aku menulis tentang rasa bersalah karena tidak menghadiri pemakamannya, tentang janji yang terasa sulit kupenuhi. Dan di tengah semua itu, aku menuliskan pertanyaan: siapa aku tanpa Adit? Apa yang tersisa dari Lily?
Saat aku menuliskan pertanyaan itu, sebuah goresan tinta muncul di halaman. Kali ini, bukan dari Adit, melainkan muncul begitu saja dari bawah bookend perak itu, memancarkan cahaya samar yang hanya bisa kulihat. Aku mengambil bookend itu, dan melihat bagian bawahnya. Ada ukiran sangat kecil yang selama ini tak kuperhatikan. Ukiran samar berbentuk bintang. Di bawahnya, ada satu kata yang tertulis di halaman jurnal, muncul begitu saja.
"Galaksi."
Galaksi. Mataku terbelalak. Apa artinya ini? Sebuah kata yang sama sekali tidak berhubungan dengan percakapanku dengan Adit, atau dengan konteks personal statement-ku. Namun, entah kenapa, kata itu terasa seperti percikan cahaya di tengah kegelapan. Aku membalikkan bookend itu lagi, menatap sayap tunggalnya, lalu pada ukiran bintang samar itu. Galaksi.
Aku menghabiskan sisa malam, menatap bookend itu, menatap tulisan "Galaksi" di jurnal, dan menatap personal statement di laptop. Aku tahu aku semakin dekat. Semakin dekat pada kebenaran. Semakin dekat pada diriku yang sebenarnya. Dan semakin dekat pada batas waktu yang semakin sempit. Besok, aku harus menghadapi Bu Arini. Dan aku harus menunjukkan padanya bahwa aku telah "menyelami diri" dan menemukan "kebenaran" itu.
ππππ
Comment on chapter Bab 12: "ADIT - BARANG PRIBADI"