Setelah sekolah, aku bergegas menuju studio musik. Hatiku berdebar, bukan lagi karena duka yang mencekik, melainkan percampuran antara rasa gugup dan penasaran yang aneh. Latihan band Mayadi. Sebuah dunia yang sama sekali baru bagiku, namun begitu akrab bagi Adit. Aku memeluk buku catatan biru tua itu di dadaku, seolah ia adalah perisai pelindung yang rapuh.
Studio musik sekolah berada di pojok gedung lama, suaranya teredam oleh dinding-dinding tebal. Begitu aku melangkah masuk, gendang telingaku langsung dihantam oleh deru drum yang menggelegar, suara bass yang bergetar, dan raungan gitar listrik yang melengking. Mayadi berdiri di tengah ruangan, memegang gitar listrik, wajahnya serius, matanya terpaku pada notasi musik di depannya. Beberapa siswa lain bersamanya: seorang pemain drum dengan rambut gondrong yang menutupi wajahnya, seorang pemain bass yang terlihat tenang, dan seorang penyanyi dengan suara serak yang memukau.
Mayadi menoleh, senyum tipis terukir di bibirnya saat melihatku. "Lil! Tepat waktu. Ayo, masuk!" teriaknya, suaranya sedikit tenggelam oleh musik.
Aku berjalan hati-hati ke sudut ruangan, berusaha tidak mengganggu. Udara dipenuhi dengan bau keringat, debu, dan sedikit aroma rokok yang samar dari luar. Mayadi memberiku sebotol air mineral. Aku hanya mengangguk, mataku mengamati sekeliling. Dinding-dindingnya dipenuhi coretan lirik, poster band-band tua yang tak kukenal, dan beberapa sketsa gitar yang terlihat sangat familiar—persis seperti yang sering digambar Adit di buku catatannya.
Mayadi memberi isyarat padaku untuk duduk di bangku di sudut. "Kita lagi coba lagu baru. Adit pernah kasih ide melodi ini," katanya, mendekat, suaranya kini lebih jelas. "Dia bilang, lagu ini tentang 'kehilangan dan menemukan nada baru'."
Jantungku berdesir. Kehilangan dan menemukan nada baru. Bukankah itu yang sedang kurasakan?
"Gimana menurutmu?" Mayadi menyerahkan kertas lirik kepadaku. "Kami baru punya melodinya. Liriknya masih kosong."
Aku menatap kertas itu. Kosong. Sama seperti personal statement-ku. Sama seperti bagian dari diriku yang kini terasa hampa. Aku membaca beberapa baris yang sudah ada, lalu mendengarkan melodi yang mereka mainkan lagi. Ada kesedihan yang mendalam dalam alunan itu, namun juga ada harapan yang samar.
(Flashback)
Aku dan Adit duduk di bangku taman kota, senja merayap perlahan. Adit memetik gitarnya, melodi yang ia mainkan terdengar melankolis.
"Ini lagu yang lagi kutulis, Lil," katanya, menunjuk ke buku catatannya. "Tentang seseorang yang kehilangan arah, tapi tahu kalau dia harus terus mencari."
"Mirip 'Landslide' ya," gumamku.
Adit tersenyum. "Hampir. Tapi ini lebih personal. Aku ingin ini tentang kita. Tentang bagaimana kadang kita merasa tersesat, tapi selalu menemukan jalan pulang. Atau menemukan jalan baru." Ia menatapku. "Kamu harus nulis liriknya, Lil. Kamu punya cara untuk mengubah rasa sakit jadi kekuatan."
Aku mengangguk, mataku menerawang jauh. "Tapi kalau jalan pulang itu nggak ada?"
"Maka kita bikin jalan baru," jawab Adit, matanya berbinar. "Dengan langkah yang berani."
(Flashback Berakhir)
Aku kembali ke studio, napas terengah-engah. Lagu itu. Melodi itu. Ini adalah 'lagu yang belum selesai' yang Adit bicarakan. Lagu tentang 'Jejak'. Ia ingin aku melengkapinya.
"Mayadi," kataku, suaraku sedikit bergetar. "Melodi ini... ini melodi yang Adit pernah tunjukkan padaku. Dia bilang, ini tentang 'Jejak'."
Mayadi menatapku, matanya membesar. "Benarkah? Dia tidak pernah bilang begitu pada kami. Dia cuma bilang ini melodi lama yang dia simpan." Ia tersenyum. "Kau tahu, dia itu orangnya nggak banyak cerita kalau soal perasaannya sendiri. Tapi dia selalu cerita tentang kamu, dan bagaimana kamu itu 'ahli lirik'."
Aku mengangguk, dadaku menghangat. "Ya. Dia selalu bilang, aku itu 'liriknya' dan dia 'musikku'."
"Ya," gumam Mayadi, mengangguk. "Dia juga pernah bilang hal itu padaku, tentang kalian berdua."
Untuk sesaat, kami berdua terdiam, merasakan kehadiran Adit di antara kami, di dalam melodi yang belum lengkap itu. Ruangan yang bising tiba-tiba terasa hening, hanya dipenuhi gema kenangan.
"Kami butuh liriknya, Lil," kata Mayadi, memecah keheningan. "Lirik yang bisa mengubah rasa sakit jadi kekuatan. Lirik yang bisa bikin lagu ini... abadi."
Abadi. Kata itu. Sama seperti yang Maya katakan tentang 'tempat itu'. Abadi di tulisan. Apakah ini cara Adit untuk tetap ada di dunia? Melalui seni? Melalui kata-kataku?
Aku mengambil pena. Jantungku berdetak kencang, seolah mengikuti irama melodi yang baru saja mereka mainkan. Kata-kata mulai mengalir di benakku, bukan lagi untuk personal statement Harvard, melainkan untuk lagu ini. Lagu yang belum selesai milik Adit.
"Aku akan mencobanya," kataku, menatap Mayadi. "Aku akan coba menulis liriknya."
Senyum Mayadi melebar. "Bagus! Kamu pasti bisa. Adit selalu percaya kamu bisa."
Aku menghabiskan sisa waktu latihan band, menuliskan lirik di kertas. Mayadi sesekali melirik, memberikan komentar, atau hanya mengangguk setuju. Untuk pertama kalinya sejak Adit tiada, aku merasa berguna. Aku merasa terhubung. Bukan hanya dengan Adit melalui jurnal, tetapi juga dengan dunia nyata, melalui musik dan melalui Mayadi.
Sepulang dari latihan band, aku kembali ke buku catatan biru tua itu. Aku menuliskan pengalamanku di studio, tentang melodi yang belum selesai itu, dan bagaimana aku merasa terhubung dengan Adit melalui musik.
Adit, aku tahu. Ini 'lagu jejak' kita, bukan? Aku akan menyelesaikannya. Aku akan menulis liriknya. Dan aku rasa... ini bisa jadi bagian dari 'personal statement' baruku. Bukan tentang impian lama kita, tapi tentang bagaimana aku... menemukan nada baru. Bagaimana aku menemukan diriku yang baru.
Aku menunggu. Kali ini, tidak ada jeda panjang. Tulisan Adit muncul, lebih jelas, lebih tegas dari yang sebelumnya.
Bagus, Lil. Ikuti saja nada hatimu. Itu yang terpenting. Dan jangan lupakan... petunjuk lain. Ada satu 'kunci' yang kamu punya. Cari dia. Dia juga butuh kamu.
Kunci? Apa maksudnya? Kunci apa? Jantungku berdesir, dipenuhi pertanyaan baru. Adit selalu begitu, memberiku teka-teki. Namun, kali ini, ada nada urgensi dalam tulisannya.
Aku menutup buku catatan, terdiam sejenak. Aku memikirkan Maya. Ia adalah sahabatku. Aku juga memikirkan Mayadi. Ia adalah teman baru yang tak terduga. Dan sekarang, ada 'kunci' baru yang harus kutemukan.
Pikiran itu membuatku gelisah. Aku merasa ada sesuatu yang lebih besar dari sekadar personal statement dan Harvard. Ada sesuatu yang Adit ingin aku temukan di dunia nyata.
Aku memutuskan untuk mencari tahu tentang 'kunci' itu. Tapi aku harus berhati-hati. Komunikasi dengan Adit melalui jurnal sudah mulai memudar. Setiap percakapan terasa lebih singkat, lebih rapuh. Aku tidak ingin merusak satu-satunya jembatan ini.
Malam itu, aku tidak hanya memikirkan lirik lagu. Aku juga memikirkan teka-teki 'kunci'. Aku membalik halaman di buku catatan, mencari petunjuk. Aku memikirkan setiap percakapan terakhir kami. Tidak ada yang menyinggung 'kunci'.
Aku menatap langit-langit kamarku, bertanya-tanya. Apa yang Adit coba sampaikan? Dan mengapa ia memilih cara yang begitu rumit? Mungkin... mungkin ia ingin aku mencari tahu sendiri. Mungkin itu adalah bagian dari 'perjalanan menemukan diri'.
ππππ
Comment on chapter Bab 12: "ADIT - BARANG PRIBADI"