Loading...
Logo TinLit
Read Story - Pacarku Pergi ke Surga, Tapi Dia Lupa Membawa Buku Catatan Biru Tua Itu
MENU
About Us  

Udara di sekolah terasa lebih menusuk dari biasanya. Bukan karena dingin, melainkan karena kecanggungan yang menggantung di antara aku dan Maya. Sejak percakapan terakhir kami di koridor, di mana aku hanya bisa memberikan janji-janji samar, Maya tidak lagi mencoba mendekat. Ia seolah menciptakan jarak, membiarkanku tenggelam dalam duniaku sendiri. Dan aku, yang terlalu sibuk berdialog dengan Adit di jurnal, tidak menyadari seberapa jauh jarak itu telah melebar.

Petunjuk Adit dari jurnal terngiang di benakku: Cari teman. Mungkin ada seseorang yang melihat dunia dengan cara berbeda. Mayadi sudah sedikit memberikan titik terang. Kini giliranku untuk merangkai jembatan yang rapuh ini dengan Maya.

Saat bel istirahat berdering, aku menguatkan diri. Kantin penuh sesak, dan aku melihat Maya duduk di meja biasa kami, bersama beberapa teman sekelas lainnya. Jantungku berdebar tak karuan. Aku harus melakukannya. Aku harus melangkah.

Aku menghampiri meja, memaksakan senyum tipis. "Boleh aku duduk di sini?" tanyaku, suaraku sedikit bergetar.

Maya mengangkat kepala, matanya sedikit membulat melihat kehadiranku. Senyum tipisnya terasa kaku, seolah ia belum siap untukku. "Tentu saja, Lil," jawabnya, menggeser tasnya untuk memberi ruang. Teman-teman di meja melirikku sekilas, lalu kembali pada percakapan mereka, menciptakan semacam dinding tak terlihat.

Aku duduk, mencoba mencari kata-kata. Keheningan terasa begitu berat, tidak seperti keheningan yang nyaman di antara aku dan Adit di jurnal. Ini adalah keheningan yang penuh pertanyaan tak terucap, penuh keraguan.

"Maaf," kataku akhirnya, suaraku nyaris berbisik. "Maaf karena... menghilang."

Maya meletakkan sendoknya. Ia menatapku lurus, matanya yang biasanya hangat kini dipenuhi ekspresi terluka yang dalam. "Menghilang? Kamu pikir gampang, Lil? Kamu menghilang, sementara kami semua... kami semua berduka. Aku mencoba menghubungimu. Berulang kali. Tapi kamu seolah... tidak ada. Tidak merespons. Tidak peduli." Suaranya meninggi, menarik perhatian teman-teman di meja yang kini menatap kami dengan tatapan ingin tahu.

Dadaku sesak. Rasa bersalah itu menusuk, menghantamku seperti gelombang tsunami. Ia benar. Aku tahu ia benar. Bagaimana aku bisa menjelaskan bahwa aku memang 'ada', tetapi di dunia yang berbeda, di dunia Adit? Rahasia itu mencekikku.

"Aku peduli, Maya. Aku sangat peduli," kataku, berusaha menahan air mata yang mulai menggenang. "Hanya saja... ini terlalu sulit. Aku tidak tahu bagaimana harus menghadapi semua ini."

Maya menghela napas, sorot matanya melembut, namun masih dipenuhi kekecewaan. "Sulit untukmu saja? Bagaimana dengan keluarga Adit? Bagaimana denganku? Aku temanmu, Lil. Sahabatmu. Tapi kamu seolah menarik diri begitu jauh, aku tidak tahu cara menarikmu kembali." Ia menunduk, matanya berkaca-kaca. "Aku sangat merindukan Adit. Aku juga merindukanmu, Lily yang dulu."

Mendengar kata "Lily yang dulu" membuatku merasakan sengatan perih. Lily yang dulu. Lily yang ambisius, yang penuh tawa, yang punya rencana jelas bersama Adit. Lily itu seolah telah tiada, terkubur bersama impian yang belum terwujud.

"Aku... aku minta maaf, Maya," bisikku, suaraku pecah. Aku meraih tangannya di atas meja, menggenggamnya erat. "Aku benar-benar minta maaf."

Maya mengusap air matanya dengan punggung tangan, lalu membalas genggamanku. "Tidak apa-apa, Lil. Aku tahu kamu berduka. Kita semua berduka. Hanya saja... jangan sendiri terus. Kamu punya kami. Aku, Mayadi..." Ia terdiam, lalu menatapku lekat. "Bagaimana kamu bisa terus menulis personal statement itu? Aku tahu kalian berdua sangat antusias. Tapi sekarang...?"

Pertanyaannya membuatku tersentak. Aku tidak bisa menjawab. Bagaimana aku bisa mengatakan bahwa personal statement itu kini adalah mediumku untuk berbicara dengan Adit? Bagaimana aku bisa mengatakan bahwa aku menulisnya, bukan lagi untuk Harvard, tapi untuk mempertahankan dirinya?

"Aku... aku masih mencoba," jawabku, menghindari tatapannya. "Deadline sudah dekat."

Maya menghela napas. "Ya, deadline. Adit pasti akan sangat menantikan pengumumanmu nanti." Ia terdiam sejenak. "Aku ingat, dia pernah bilang, personal statement-mu itu harus menceritakan siapa dirimu yang sesungguhnya. Jangan cuma apa yang kamu pikir mereka ingin dengar."

Kata-kata Maya, yang seolah mengulang nasihat Adit, menghantamku. Menemukan diri. Itulah yang mereka inginkan. Dan sekarang, menceritakan siapa dirimu yang sesungguhnya. Bagaimana aku bisa jujur tentang diriku yang sesungguhnya jika aku sendiri tidak tahu siapa aku tanpa Adit? Jika aku tidak bisa menceritakan rahasia ini kepada siapa pun?

Maya, seolah merasakan kegelisahanku, menatapku lagi. "Sudah lama aku tidak mengunjungi tempat itu, Lil. Tempat yang biasa kita kunjungi bertiga. Mungkin... itu bisa membantu?"

Tempat itu. Sebuah lapangan hijau di pinggir kota, tersembunyi di balik barisan pohon, di mana kami sering menghabiskan sore, berbicara tentang impian, tentang masa depan. Tempat di mana Adit sering memainkan gitarnya. Tempat itu. Aku merindunya. Aku merindukan tawa kami di sana.

"Mungkin," kataku, suaraku sedikit lebih kuat. "Mungkin itu ide bagus."

Maya tersenyum tipis. "Bagaimana kalau besok sore? Setelah sekolah?"

Aku mengangguk. "Ya. Aku akan datang." Aku merasa sedikit lega. Mungkin ini adalah langkah pertama untuk kembali ke dunia nyata, untuk merangkai kembali benang-benang yang terputus.

Sepulang sekolah, aku langsung menuju kamar. Mengambil buku catatan biru tua itu. Aku harus memberi tahu Adit. Dan aku juga harus bertanya padanya tentang "tempat itu".

Adit, Maya mengajakku ke 'tempat itu' besok. Tempat kita bertiga sering berkumpul. Apakah ini yang kau maksud dengan 'jejak-jejak yang tertinggal'? Dengan 'petunjuk baru'?

Aku menunggu. Pena di tanganku terasa dingin. Ada jeda panjang. Lebih panjang dari biasanya. Ketakutan itu kembali merayap, rasa takut kehilangan koneksi ini.

Akhirnya, goresan tinta muncul. Sangat tipis, nyaris tak terbaca, seolah ditulis dengan tenaga yang tersisa.

Ya, Lil. Pergi. Dengarkan anginnya. Dengarkan hatimu. Di sana... ada sesuatu yang menantimu.

Aku menatap tulisan itu, jantungku berdebar tak karuan. Ada sesuatu yang menantimu. Sebuah teka-teki. Sebuah misteri. Adit tidak lagi memberikan jawaban langsung, ia memberiku petunjuk, seperti memintaku memecahkan kode. Apakah ini bagian dari proses Finding Yourself yang ia inginkan? Aku bertanya-tanya, apakah ini juga yang ia rasakan ketika ia diterima di Harvard? Sebuah tantangan yang menanti.

Aku mencoret-coret beberapa baris di halaman jurnal, mencatat frasa dan petunjuk Adit. Aku memikirkan Maya, dan ajakannya. Aku juga memikirkan Mayadi, dan tatapan matanya yang penuh pengertian. Mungkin, memang ada "sesuatu" yang menantiku di luar sana, di "tempat itu", yang hanya bisa kutemukan jika aku berani melangkah, meskipun tanpa peta yang sempurna. Dan mungkin, petunjuk itu bukan hanya untuk menemukan diriku, tapi juga untuk memahami apa yang Adit coba sampaikan.

(Flashback)

Itu adalah ulang tahun Adit yang ke-17. Kami berdua berada di sebuah toko kaset tua di pinggir kota. Aroma vinil dan kertas tua memenuhi udara. Adit, yang sangat menyukai musik, dengan antusias membolak-balik koleksi piringan hitam, mencari sesuatu yang langka.

"Lihat ini, Lil!" serunya, mengangkat sebuah piringan hitam tua. "Fleetwood Mac! Album yang sama yang dibeli ibuku waktu muda. Aku selalu ingin punya ini."

Aku tersenyum. "Kau tahu, ada lagu dari album ini yang selalu aku dengarkan kalau aku sedang kesulitan menulis."

"Oh ya? Yang mana?" tanyanya, tertarik.

Aku bersenandung pelan. "'Landslide'. Liriknya... 'Well, I've been afraid of changing, 'cause I've built my life around you. But time makes you bolder, even children get older, and I'm getting older too.'"

Adit menatapku, matanya berbinar. "Itu... indah, Lil." Ia memutar piringan hitam itu di tangannya. "Aku akan belajar memainkannya untukmu. Tapi cuma kalau kamu lagi butuh inspirasi."

"Janji?"

"Janji." Ia mencium keningku lembut. "Lagu ini akan jadi pengingat. Bahwa perubahan itu menakutkan, tapi kamu akan selalu menemukan dirimu sendiri, bahkan kalaupun harus melepaskan hal yang paling kamu cintai."

(Flashback Berakhir)

Aku menutup buku catatan itu, jari-jariku mengusap tulisan Adit yang kini terasa begitu rapuh. "Landslide". Lirik itu. Melepaskan hal yang paling kamu cintai. Apakah ini yang Adit coba katakan padaku? Bahwa aku harus melepaskan dirinya untuk menemukan diriku yang baru? Bahwa waktu akan membuatku lebih berani?

Perasaan itu menusuk, namun juga membawa sedikit kelegaan yang aneh. Aku harus bersiap. Bersiap untuk besok. Untuk bertemu Maya. Untuk pergi ke "tempat itu". Dan untuk menghadapi apa pun yang menantiku, sebuah "sesuatu" yang mungkin adalah jawaban, atau mungkin hanyalah sebuah awal baru.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • itsbooo

    😭😭😭😭

    Comment on chapter Bab 12: "ADIT - BARANG PRIBADI"
  • lizuyy

    Brooo ide nya fresh bangettt, sumpil sumpill bedaaa..
    pliss ngeship lily dan siapa yak?

Similar Tags
Kacamata Monita
832      399     4     
Romance
Dapat kado dari Dirga bikin Monita besar kepala. Soalnya, Dirga itu cowok paling populer di sekolah, dan rival karibnya terlihat cemburu total! Namun, semua mendadak runyam karena kado itu tiba-tiba menghilang, bahkan Monita belum sempat membukanya. Karena telanjur pamer dan termakan gengsi, Monita berlagak bijaksana di depan teman dan rivalnya. Katanya, pemberian dari Dirga terlalu istimewa u...
Aku Lupa Cara Mendeskripsikan Petang
562      386     2     
Short Story
Entah apa yang lebih indah dari petang, mungkin kau. Ah aku keliru. Yang lebih indah dari petang adalah kita berdua di bawah jingganya senja dan jingganya lilin!
Tokoh Dalam Diary (Diary Jompi)
587      433     3     
Short Story
You have a Daily Note called Diary. This is my story of that thing
NIAGARA
467      347     1     
Short Story
Β \"Apa sih yang nggak gue tau tentang Gara? Gue tau semua tentang dia, bahkan gue hafal semua jadwal kegiatan dia. Tapi tetap aja tuh cowok gak pernah peka.\" ~Nia Angelica~
Langit Tak Selalu Biru
67      57     4     
Inspirational
Biru dan Senja adalah kembar identik yang tidak bisa dibedakan, hanya keluarga yang tahu kalau Biru memiliki tanda lahir seperti awan berwarna kecoklatan di pipi kanannya, sedangkan Senja hanya memiliki tahi lalat kecil di pipi dekat hidung. Suatu ketika Senja meminta Biru untuk menutupi tanda lahirnya dan bertukar posisi menjadi dirinya. Biru tidak tahu kalau permintaan Senja adalah permintaan...
Sherwin
371      250     2     
Romance
Aku mencintaimu kemarin, hari ini, besok, dan selamanya
ONE SIDED LOVE
1512      667     10     
Romance
Pernah gak sih ngalamin yang namanya cinta bertepuk sebelah tangan?? Gue, FADESA AIRA SALMA, pernah!. Sering malah! iih pediih!, pedih banget rasanya!. Di saat gue seneng banget ngeliat cowok yang gue suka, tapi di sisi lain dianya biasa aja!. Saat gue baperan sama perlakuannya ke gue, dianya malah begitu juga ke cewek lain. Ya mungkin emang guenya aja yang baper! Tapi, ya ampun!, ini mah b...
PELANGI SETELAH HUJAN
481      345     2     
Short Story
Cinta adalah Perbuatan
Zo'r : The Teenagers
14113      2811     58     
Science Fiction
Book One of Zo'r The Series Book Two = Zo'r : The Scientist 7 orang remaja di belahan dunia yang berbeda-beda. Bagaimana jadinya jika mereka ternyata adalah satu? Satu sebagai kelinci percobaan dan ... mesin penghancur dunia. Zo'r : The Teenagers FelitaS3 | 5 Juni - 2 September 2018
Azzash
308      253     1     
Fantasy
Bagaimana jika sudah bertahun-tahun lamanya kau dipertemukan kembali dengan cinta sejatimu, pasangan jiwamu, belahan hati murnimu dengan hal yang tidak terduga? Kau sangat bahagia. Namun, dia... cintamu, pasangan jiwamu, belahan hatimu yang sudah kau tunggu bertahun-tahun lamanya lupa dengan segala ingatan, kenangan, dan apa yang telah kalian lewati bersama. Dan... Sialnya, dia juga s...