Aku terbangun dengan perasaan yang aneh. Bukan lagi duka yang melumpuhkan, melainkan semacam antisipasi yang samar. Perjalanan ke "tempat itu" bersama Maya. Sebuah teka-teki yang Adit berikan, sebuah janji untuk kembali ke masa lalu yang pernah kami bagi bertiga. Aku tidak tahu apa yang menanti, tapi hati kecilku merasakan ada sesuatu yang harus kutemukan di sana.
Aku menatap buku catatan biru tua itu di meja, tulisan Adit seolah berkedip di pikiranku. Ada sesuatu yang menantimu. Aku menggenggam buku itu erat, seolah itu adalah jimat yang akan melindungiku.
Maya sudah menunggu di teras depan. Ia mengenakan celana jins longgar dan kaus oblong polos, rambutnya diikat asal-asalan. Wajahnya tidak lagi sembab seperti beberapa hari lalu, namun sorot matanya masih menyimpan jejak kesedihan.
"Siap, Lil?" tanyanya, senyumnya tipis.
Aku mengangguk. "Siap."
Perjalanan terasa sunyi. Kami tidak banyak bicara. Mobil melaju, menembus keramaian kota, lalu perlahan merayap di jalanan pinggir kota yang mulai dipadati pepohonan dan semak belukar. Setiap kelokan jalan seolah menarikku kembali ke kenangan, ke setiap tawa dan obrolan yang pernah kami bagi di jalur ini.
"Sudah lama sekali kita nggak ke sini," bisik Maya, suaranya pelan, memecah keheningan. "Adit selalu bilang tempat ini kayak... tempat pelarian kita dari dunia."
Aku mengangguk, mataku menatap keluar jendela, ke arah jejak-jejak yang terasa akrab. "Dia benar."
Akhirnya, kami tiba. Mobil kami berhenti di tepi jalan tanah, di mana sebuah jalan setapak samar menyusup masuk ke dalam hutan kecil. Kami turun dari mobil. Udara segar segera menyambut, membawa aroma tanah basah dan dedaunan yang renyah. Suara serangga dan kicau burung memenuhi telingaku.
Aku dan Maya berjalan beriringan, melangkah hati-hati di jalan setapak yang kini sedikit ditumbuhi semak belukar. Beberapa kali, ranting kecil mencambuk kakiku. Ingatanku melayang ke masa lalu, ke saat Adit selalu menjadi yang pertama berjalan, membersihkan jalan setapak agar aku tidak tersandung.
(Flashback)
Itu adalah musim kemarau, matahari bersinar terik. Kami bertiga – aku, Adit, dan Maya – berjalan menyusuri jalan setapak ini, tas ransel di punggung. Di dalamnya ada buku, camilan, dan gitar kesayangan Adit.
"Aduh, Dit! Gerah banget!" keluh Maya, mengipasi wajahnya.
Adit tertawa, lalu dengan iseng mengambil beberapa daun lebar dari pohon terdekat. "Nih, buat payung," katanya, meletakkannya di atas kepala Maya.
Maya mendengus, tapi kemudian ikut tertawa.
Adit menoleh padaku. "Kamu gimana, Lil? Masih semangat cari inspirasi?"
"Selama ada kamu," jawabku, mengedipkan mata. "Aku pasti bisa nulis."
Adit tersenyum, mengusap puncak kepalaku. "Dasar pujangga." Ia lalu memimpin di depan, sesekali mematahkan ranting atau menyingkirkan dedaunan tebal. "Jalan ini harus bersih. Untuk sang penulis hebatku."
Aku hanya tersenyum, menikmati momen-momen kecil itu, yang kini terasa begitu berharga, begitu jauh.
(Flashback Berakhir)
Aku tersentak kembali ke masa kini. Jalan setapak itu kini terasa lebih sunyi, lebih dingin tanpa kehadirannya.
"Li," suara Maya memecah lamunanku. "Kamu masih inget pohon beringin raksasa itu? Yang di tengah lapangan?"
Aku mengangguk. Pohon beringin itu adalah penanda kami, tempat di mana kami akan berhenti, melepas lelah, dan berbagi cerita. Kami terus berjalan hingga akhirnya, hutan menipis, dan sebuah lapangan hijau yang luas terhampar di hadapan kami. Di tengahnya, berdiri kokoh sebuah pohon beringin raksasa, akarnya menjuntai ke tanah, batangnya begitu besar sehingga rasanya bisa memeluk seluruh dunia.
Angin sepoi-sepoi berembus, membuat rumput di lapangan melambai-lambai seperti gelombang hijau. Aku menghirup napas dalam-dalam. Aroma tanah, rumput, dan sedikit bau sungai dari kejauhan memenuhi paru-paruku. Di sinilah kami. Di "tempat itu".
Kami berjalan perlahan menuju pohon beringin itu. Aku menyentuh batangnya yang kasar, merasakan dinginnya kulit kayu. Kenangan membanjiri benakku, satu per satu, tak tertahankan.
"Adit... dia suka banget tempat ini," bisik Maya, suaranya serak. Ia duduk di bawah pohon, menyandarkan punggungnya pada akar besar. "Dia bilang, di sini, dia bisa merasa bebas. Bisa berpikir jernih. Dan dia selalu bilang, dia bisa mendengar 'bisikan angin' di sini."
Bisikan angin. Aku duduk di samping Maya, menutup mataku, mencoba mendengarnya. Hanya suara desir dedaunan yang tertiup angin, dan suara detak jantungku sendiri yang berpacu.
"Dia selalu ingin kamu menulis tentang tempat ini, Lil," lanjut Maya, suaranya kini lebih pelan, seperti sebuah pengakuan. "Dia bilang, kamu punya cara untuk membuat kata-kata hidup. Untuk membuat tempat ini... abadi di tulisanmu."
Jantungku mencelos. Abadi di tulisanmu. Ini. Ini adalah petunjuk baru. Bukan hanya "cari teman", tapi juga "abadikan tempat ini". Apakah ini yang Adit maksud dengan "sesuatu yang menanti" di sini?
Aku membuka mataku, menatap sekeliling. Lapangan hijau yang luas. Langit biru membentang di atas kami. Dan di kejauhan, di ujung lapangan, aku melihat sesuatu. Sebuah batu besar yang tidak pernah kulihat sebelumnya. Atau mungkin aku hanya tidak pernah memperhatikannya.
"Maya, lihat itu," kataku, menunjuk ke arah batu. "Apa itu?"
Maya menoleh, menyipitkan mata. "Oh, itu... itu batu yang dulu sering kami panjat. Aku, Adit, dan Mayadi." Ia tersenyum tipis. "Adit selalu bilang, itu 'singgasana para pemikir'. Dari sana, kamu bisa melihat seluruh dunia."
Singgasana para pemikir. Mataku terpaku pada batu itu. Aku merasakan dorongan yang kuat, tak bisa kuabaikan. Aku harus pergi ke sana.
"Aku... aku mau ke sana sebentar," kataku, mulai bangkit.
Maya menatapku bingung. "Sekarang? Kenapa?"
"Aku... aku hanya ingin melihat," jawabku, tak bisa menjelaskan. Aku meraih buku catatan biru tua itu dari tasku, menggenggamnya erat. Mungkin di sana, di "singgasana" itu, aku akan menemukan jawaban.
Aku berjalan melintasi lapangan. Setiap langkah terasa ringan, seolah aku ditarik oleh kekuatan yang tak terlihat. Semakin dekat dengan batu itu, semakin kuat pula bisikan angin di telingaku, bukan hanya desiran, melainkan semacam alunan melodi yang samar. Tiba-tiba, aku merasa seperti ditarik ke dalam sebuah ingatan yang hidup.
(Flashback)
Aku melihat Adit yang sedang duduk di puncak batu itu, dengan gitar di pangkuannya. Matahari sore menyapu wajahnya dengan cahaya keemasan. Ia memetik senar, memainkan melodi yang belum pernah kudengar sebelumnya. Ada sosokku yang lain yang sedang duduk di bawah batu dan memandang ke atas, ke arah Adit.
"Lagu apa itu, Dit?" tanya Aku yang lain.
"Lagu yang belum selesai," jawabnya, tersenyum. "Ini tentang tempat ini. Tentang kebebasan. Dan tentang... impian yang terbang bebas seperti burung." Ia menunjuk ke langit. "Aku ingin kamu menulis liriknya, Lil. Kamu punya cara untuk menangkap esensinya."
Aku di sana tersenyum. "Tentu saja. Tapi apa judulnya?"
Adit menatapku, matanya berbinar. "Untukmu, Lil. Ini lagu tentang 'Jejak'."
(Flashback Berakhir)
Aku tersentak dan kembali ke saat ini. "Jejak." Kata itu. Kalimat terakhir Adit di jurnal. Lihatlah jejak-jejak yang tertinggal.
Aku kini berdiri di depan batu besar itu. Permukaannya terasa dingin di bawah sentuhanku. Aku memanjat perlahan, hingga akhirnya duduk di puncaknya, di "singgasana" itu. Angin berembus kencang, menerpa wajahku, menyibakkan rambutku. Aku memejamkan mata, membiarkan angin menyapaku. Di kejauhan, aku bisa melihat sebagian kecil kota, rumah-rumah yang tampak seperti miniatur, dan di balik itu semua, garis samar pegunungan.
Aku membuka buku catatan biru tua itu. Jurnal itu seolah bergetar di tanganku. Aku menuliskan pengalamanku di sini, tentang "bisikan angin" dan "jejak" yang Adit bicarakan. Aku menuliskan tentang Maya, tentang rasa bersalahku, dan bagaimana ia masih mau bersamaku.
Adit, aku di sini. Di 'singgasana' kita. Aku mencoba mendengarkan angin. Aku melihat jejak. Apakah ini 'jejak' yang kau maksud? Apakah ini yang harus kutuliskan di personal statement-ku? Tentang kita? Tentang tempat ini?
Aku menunggu. Angin berembus kencang, membuat halaman buku catatan bergetar. Lalu, samar-samar, goresan tinta muncul di halaman. Tidak sejelas sebelumnya. Sedikit lebih tipis. Namun, aku mengenal tulisan itu.
Ingat 'Landslide', Lil? Lagu itu... Waktu akan membuatmu lebih berani. Dan kamu akan menemukan dirimu, bahkan kalaupun harus melepaskan hal yang paling kamu cintai. Itu adalah jejak yang harus kamu ukir di hatimu. Itulah pilihan yang berani.
Dadaku sesak. Melepaskan hal yang paling kamu cintai. Apakah ini isyaratnya? Bahwa aku harus melepaskan Adit untuk bisa benar-benar menemukan diriku? Bahwa Harvard tidak akan pernah bisa menjadi impian kami berdua lagi? Bahwa aku harus menulis personal statement tentang diriku sendiri, bukan tentang "kami"?
Aku menatap halaman itu, air mata menggenang. Rasa sakit yang tak tertahankan menjalari hatiku. Bagaimana aku bisa melakukan itu? Bagaimana aku bisa melepaskan satu-satunya hal yang tersisa darinya?
ππππ
Comment on chapter Bab 12: "ADIT - BARANG PRIBADI"