Loading...
Logo TinLit
Read Story - Imajinasi si Anak Tengah
MENU
About Us  

Hari ini adalah hari ketiga Tara bekerja sebagai admin media sosial di Resto Cipta Rasa. Tidak seperti biasanya, pagi ini ia datang sedikit terlambat. Bukan tanpa sebab. Jalanan macet, dan angkot yang ia tumpangi sempat mengantre cukup lama di SPBU. Napasnya masih tersengal pelan saat akhirnya sampai di rumah Bu Sopia yang difungsikan sebagai kantor kecil.

Begitu membuka pintu pagar, Tara mendapati pemandangan tak biasa. Pak Yandi, Mbak Susi, dan Bu Sopia tampak tengah bersiap-siap. Sebuah mobil hitam terparkir di depan rumah dan suara klakson terdengar nyaring, memecah pagi yang baru saja dimulai.

"Tuh, mobilnya udah datang. Yuk, kita berangkat!" seru Bu Sopia sambil menenteng tas kecil di tangan kanannya.

Tara berhenti di ambang pintu, kebingungan. Dengan langkah ragu, ia akhirnya bertanya, "Mau pada ke mana?"

Ketiganya serempak menoleh. Mbak Susi yang pertama menjawab, "Ke resto, Ra."

Bu Sopia tampak hendak menambahkan penjelasan, tapi sempat berpikir sejenak sebelum akhirnya berkata, "Iya, Tara. Maaf kalau aku belum sempat menjelaskan. Sebenarnya, kami bertiga memang jarang kerja stay di sini. Mbak Susi harus nyocokin laporan keuangan sama Bu Cici, dan Pak Yandi juga perlu ambil konten foto dan video langsung dari resto setiap hari."

Tara hanya bisa mengangguk pelan. Dalam hatinya bertanya, lalu bagaimana dengannya?

Bu Sopia tampak menyadari keraguan di wajah Tara. Ia berpikir sejenak, lalu melanjutkan, "Eemm, gini aja deh. Nanti aku kasih kamu kunci rumah, dan mungkin kamu harus kerja sendiri dulu di sini hari ini. Gak apa-apa ya, Tara?"

"Gapapa, Bu…" Tara menjawab, meski dalam hati ia ragu. Tapi, pilihan lain pun tak ada.

Sebelum benar-benar mengiyakan, Tara bertanya satu hal yang membuatnya berpikir, "Kalau kunci rumah aku yang pegang, nanti Ibu gimana?"

Bu Sopia tertawa kecil. "Tenang, kita semua juga pegang kunci kok. Pak Yandi dan Mbak Susi juga begitu."

Tara kembali mengangguk. Tak lama kemudian, sopir di depan rumah kembali membunyikan klakson, dan Bu Sopia buru-buru menyodorkan kunci rumah ke tangan Tara sebelum melangkah pergi.

"Oh iya, Tara. Kalau mau makan, jangan malu-malu buka kulkas atau rak dapur ya. Di sana ada telur, ada Indomie juga," ucapnya sambil tersenyum sebelum masuk ke mobil.

Kini tinggal Pak Yandi dan Mbak Susi yang hendak keluar. Saat melewati Tara, Pak Yandi menyempatkan diri menyapa Tara dengan membahas pekerjaan.

"Tara, aku udah siapkan konten yang harus di-post hari ini. Kamu tinggal jadwalkan dan buat caption-nya aja ya."

"Oh iya, siap, Pak," jawab Tara cepat.

Dan seperti itu saja, mobil hitam itu melaju pergi hingga tak lagi terlihat. Suasana tiba-tiba menjadi hening. Sunyi yang asing. Tara menatap sekeliling isi rumah besar yang kini hanya dihuni olehnya seorang diri.

Sejujurnya, Tara adalah tipe orang yang penakut. Tapi dalam kondisi seperti ini, ia dipaksa memunculkan sisi pemberani yang bahkan nyaris tidak ia miliki.

Dengan langkah ragu, Tara mulai membuka laptopnya dan duduk di meja kerja. Tapi rasa cemas menyelinap bersama detik-detik yang berjalan lambat. Sesekali ia menoleh ke arah pintu, jendela, atau bahkan ke langit-langit, seolah memastikan bahwa ia benar-benar aman.

Untuk mengusir kegugupan, Tara membuka YouTube dan menyetel lagu K-Pop favoritnya. Tapi tetap saja, suara-suara musik itu tidak cukup untuk menghapus rasa takut yang mendominasi pikirannya. Ia bahkan sempat berbisik sendiri,

"Mamah, aku takut…"

Tara bisa bersumpah, ia memang sepenakut itu.

Parahnya, otaknya mulai berulah. Ia tiba-tiba teringat adegan film horor yang ia tonton bersama Sekar beberapa minggu lalu. Bayangan-bayangan absurd itu muncul satu per satu tanpa diundang, membuat jantungnya berdegup lebih cepat.

Akhirnya, untuk mengalihkan perhatian, Tara membuka aplikasi menulis di laptopnya. Ia menarik napas panjang, mencoba rileks, lalu mulai mengetik. Kata demi kata ia bangun dengan harapan bisa sedikit melupakan kesepian dan ketakutan yang mengelilinginya.

Menulis, rupanya, menjadi satu-satunya pelarian yang paling aman untuk Tara di rumah besar yang begitu sepi ini.

Tomorrow, jika pada awalnya cerita itu hanya ia simpan sebagai draft saja, kini cerita itu dengan berani Tara publikasikan di aplikasi menulisnya. Dan, di bab terbaru, Tara memulai narasi pertamanya dengan kalimat sederhana.

Manusia itu lahir dan diciptakan punya prinsip dan pendirian hidupnya masing-masing. Kemana saja dan pada apa saja dia memilih. Tanpa paksaan ataupun tanpa ada yang memerintah, mereka hanya berhenti pada sesuatu yang mereka suka juga sesuatu yang mereka sebut cocok dan pas.

 

                                     ***

 

Langit sudah mulai beranjak jingga ketika Tara pulang ke rumahnya. Langkahnya pelan, lelah, namun tetap tertata. Di dalam rumah, aroma masakan sederhana menyambutnya. Ibunya tengah duduk di ruang tengah, bersandar santai sambil menonton televisi.

Begitu melihat putrinya masuk, sang ibu langsung bersuara.

"Udah pulang, Ra? Gimana kerja hari ini, lancar?"

Tara hanya mengangguk pelan sambil meletakkan tas di kursi dekat pintu.

"Lancar, mah," jawabnya singkat.

Ia melangkah ke arah ibunya dan duduk di lantai, bersandar pada kaki wanita yang paling ia cintai itu.

"Tapi… hari ini aku ditinggal sendirian di rumahnya Bu Sopia. Mba Susi, Pak Yandi, sama Bu Sopia-nya ke resto semua."

Ibunya tidak langsung menanggapi. Hanya bergumam pelan, lalu matanya tetap menatap layar TV.

"Oh yaudah, gapapa. Lagian kamu juga harus belajar berani, Ra. Namanya juga kerja."

Tara mengangguk lagi, kali ini dengan senyum kecil yang dipaksakan. Jawaban itu mungkin sederhana, tapi cukup untuk membuat hatinya sedikit lebih kuat. Setidaknya, ini lebih baik daripada menjadi pengangguran. Setidaknya, mamahnya sudah tahu.

 

                                   ***

 

Setelah mengganti bajunya dan mencuci muka, Tara masuk ke kamar. Ia merebahkan tubuhnya di atas kasur, menatap langit-langit sejenak, sebelum akhirnya meraih ponsel.

Jarinya menggulir layar secara acak, sampai akhirnya ia membuka Instagram dan melihat story dari akun Kak Dira.

Story itu diunggah beberapa jam yang lalu saat makan siang. Terlihat Kak Dira duduk di tengah-tengah rekan-rekan kantornya, tertawa lepas sambil memegang sendok. Meja makan mereka penuh dengan hidangan lezat, suara riuh candaan samar terdengar dari video pendek itu.

Tara menatap layar ponsel itu cukup lama. Matanya terpaku pada senyum lebar Kak Dira, juga kehangatan yang tampak begitu tulus di antara mereka.

Sementara tadi… Ia makan siang hanya dengan sepiring mie goreng buatan sendiri, di meja besar rumah Bu Sopia yang hening. Tak ada suara selain denting sendok dan detak jam dinding. Bahkan hingga ia selesai bekerja pun, Tara sendiri yang mengunci pintu rumah sekaligus 'kantor' itu. Sendirian. Sepi.

Lalu pikirannya kembali pada ucapan Bu Sopia tadi pagi.

"Sebenarnya kita bertiga itu jarang kerja stay di tempat, lebih sering ke resto..."

Kalimat itu terngiang jelas. Dan perlahan, maknanya mulai meresap lebih dalam ke benak Tara. Itu artinya… besar kemungkinan, ke depannya pun ia akan sering ditinggal sendiri di rumah besar itu. Ia takut, bagaimana jima hari ini mungkin hanya awal dari kesepian yang lebih panjang.

Tara menarik napas dalam. Sakit? Tidak. Iri? Mungkin sedikit. Tapi yang paling kuat, adalah rasa sepi yang menggantung, mengakar, dan sulit ia enyahkan. Dan, apakah Tara pantas mengeluh? Tidak. Doanya sudah terkabul untuk mendapatkan pekerjaan, dan Tara harus mensyukuri hal itu.

Ia berusaha mengalihkan pikirannya. Menyentuh laptop, membuka folder naskah, lalu menyalakan aplikasi tulis yang biasa ia gunakan untuk menyusun kisah Tomorrow. Jarinya mulai menari di atas keyboard, menuliskan kembali imajinasi yang sempat tertunda siang tadi.

Namun baru beberapa paragraf, suara pintu rumah terdengar dari kejauhan. Disusul tawa yang ia kenali dengan mudah.

"Wah! Bawa apa itu, Kak?" suara Mamah menyambut ceria dari ruang depan.

"Ini kue coklat." Kak Dira menjawab semangat, terdengar langkahnya mendekat dan langsung duduk bersama Mamah. "Tadi aku sama tim kantor rayain ultahnya Mba Ica, seru banget ada acara main games-nya juga."

"Mba Ica tuh bagian apa?" tanya Mamah.

"Itu loh, Mah. Head-nya divisi sales," jawab Kak Dira.

"Oh…" Mamah mengangguk.

"Mamah mau coba dong kuenya."

"Iya, boleh nih. Bareng-bareng aja," sahut Kak Dira.

Tak lama, suara Mamah memanggil Tara dari luar kamar.

"Ra, tolong ambilkan piring sama pisau ya. Ini kamu mau nggak? Kakak bawa kue cokelat."

Tara menghentikan kegiatan menulisnya. Ia bangkit, lalu melangkah ke dapur. Mengambil beberapa piring kecil dan pisau, sebelum ikut bergabung bersama mereka.

Sekar yang baru saja pulang kerja kelompok pun langsung ikut dipanggil Mamah untuk makan kue bersama.

Di ruang tengah itu, bukan hanya Kak Dira yang banyak bercerita tentang kesehariannya, tentang keseruan games dan suasana ulang tahun di kantor. Sekar juga ikut menyambung dengan semangat, anak itu tampak bahagia hari ini setelah kerja kelompok dan mendiskusikan ide makanan baru.

Mamah mendengarkan dengan penuh perhatian. Sesekali tertawa, sesekali memberi tanggapan hangat.

Sementara Tara… hanya duduk diam di sisi sofa. Tangan kanannya memegang garpu, perlahan menyuapkan potongan kecil kue coklat ke mulutnya. Ia tersenyum kecil, mencoba ikut menikmati suasana.

Dalam hatinya, ia ingin ikut bercerita juga. Tapi hari ini… terlalu sepi untuk menjadi cerita yang seseru dan seramai kisah milik kakak dan adiknya.

 

                                    ***

 

Bulan sabit tampak malu-malu, bersembunyi di balik gumpalan awan hitam ketika Tara keluar rumah hanya untuk berbelanja jajanan dan barang lainnya atas suruhan Kak Dira. Tadi, Kak Dira memberinya uang seratus ribu dan menyuruhnya ke warung untuk membeli keperluannya. Nah, keuntungan yang Tara dapatkan adalah, Kak Dira bilang kalau kembaliannya nanti boleh untuknya saja. Tara jelas langsung semangat 45 menerima uang itu. Ia yang sebelumnya sedang malas, pun memaksa tubuhnya untuk bangkit dan berangkat ke warung.

Setelah membeli seluruh keperluan dan membayar semuanya dengan tuntas, Tara berjalan kembali menuju rumah, menenteng keresek hitam di tangan kirinya, sementara tangan kanannya sibuk menggenggam es loli yang bertengger di antara gigi-giginya. Tara berjalan pelan-pelan sambil mengamati jalanan yang masih cukup ramai malam itu. Saat melewati taman, Tara tertegun sejenak, mendapati sebuah pohon dengan bunga-bunga cantik berwarna kuning. Matanya langsung berbinar, seolah menemukan ide di sana.

"Ini pohon apa? Bagus banget bunganya," batinnya.

Tak tinggal diam dan hanya berpikir, Tara segera mengeluarkan ponsel dari kantong hoodienya, lalu memotret pohon itu dari berbagai sudut. Ia segera melakukan pencarian di internet.

Sebuah kata kunci muncul: Pohon Tabebuya.

Tara tersenyum puas. Ia buru-buru menekan tombol tangkapan layar.

Baik, mulai hari ini Tara akan menobatkan pohon tabebuya sebagai pohon favoritnya.

Terima kasih, pohon…

Gadis itu melanjutkan langkahnya sembari melompat-lompat kecil dengan girang. Kesedihannya tadi sudah ia lupakan jauh-jauh. Tara merasa bahagia, hanya karena menemukan pohon cantik yang bisa menjadi inspirasi dalam ceritanya.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (17)
  • yuliaa07

    real anak tengah sering terabaikan tanpa ortunya sadarii

    Comment on chapter Bagian 4: Sebuah Kabar Baik
  • pradiftaaw

    part damai tapi terjleb ke hati

    Comment on chapter Bagian 18: Teman yang Bernama Cemas
  • langitkelabu

    tidak terang tapi juga tidak redup:)

    Comment on chapter PROLOG
  • jinggadaraa

    gak cuman diceritain capeknya anak tengah ya, tapi juga ada selip2an anak sulung dan bungsunya:) the best cerita ini adil

    Comment on chapter Bagian 10: Tentang si Sulung yang Selalu Diandalkan dan Tentang Anxiety Disorder
  • rolandoadrijaya

    makasih Tara sudah kuat, makasih juga aku

    Comment on chapter Bagian 10: Tentang si Sulung yang Selalu Diandalkan dan Tentang Anxiety Disorder
  • rolandoadrijaya

    gimana gak ngalamin trauma digunjang gempa sendirian:('(

    Comment on chapter Bagian 10: Tentang si Sulung yang Selalu Diandalkan dan Tentang Anxiety Disorder
  • rayanaaa

    seruu banget

    Comment on chapter EPILOG
  • rayanaaa

    Oke, jadi Tara itu nulis kisahnya sendiri ya huhuu

    Comment on chapter EPILOG
  • auroramine

    ENDING YANG SANGAT MEMUASKAN DAN KEREN

    Comment on chapter EPILOG
  • jisungaa0

    nangis banget scene inii

    Comment on chapter Bagian 30: Renungan
Similar Tags
Salju di Kampung Bulan
2129      978     2     
Inspirational
Itu namanya salju, Oja, ia putih dan suci. Sebagaimana kau ini Itu cerita lama, aku bahkan sudah lupa usiaku kala itu. Seperti Salju. Putih dan suci. Cih, aku mual. Mengingatnya membuatku tertawa. Usia beliaku yang berangan menjadi seperti salju. Tidak, walau seperti apapun aku berusaha. aku tidak akan bisa. ***
Damn, You!!
2929      1120     13     
Romance
(17/21+) Apa yang tidak dimilikinya? Uang, mobil, apartemen, perusahaan, emas batangan? Hampir semuanya dia miliki kecuali satu, wanita. Apa yang membuatku jatuh cinta kepadanya? Arogansinya, sikap dinginnya, atau pesonanya dalam memikat wanita? Semuanya hampir membuatku jatuh cinta, tetapi alasan yang sebenarnya adalah, karena kelemahannya. Damn, you!! I see you see me ... everytime...
Ending
5325      1378     9     
Romance
Adrian dan Jeana adalah sepasang kekasih yang sering kali membuat banyak orang merasa iri karena kebersamaan dan kemanisan kedua pasangan itu. Namun tak selamanya hubungan mereka akan baik-baik saja karena pastinya akan ada masalah yang menghampiri. Setiap masalah yang datang dan mencoba membuat hubungan mereka tak lagi erat Jeana selalu berusaha menanamkan rasa percayanya untuk Adrian tanpa a...
My Sunset
7444      1612     3     
Romance
You are my sunset.
Sweet Seventeen
1238      846     4     
Romance
Karianna Grizelle, mantan artis cilik yang jadi selebgram dengan followers jutaan di usia 17 tahun. Karianna harus menyeimbangkan antara sekolah dan karier. Di satu sisi, Anna ingin melewati masa remaja seperti remaja normal lainnya, tapi sang ibu sekaligus manajernya terus menyuruhnya bekerja agar bisa menjadi aktris ternama. Untung ada Ansel, sahabat sejak kecil yang selalu menemani dan membuat...
Alumni Hati
422      211     0     
Romance
📘 SINOPSIS – Alumni Hati: Suatu Saat Bisa Reuni Kembali Alumni Hati adalah kisah tentang cinta yang pernah tumbuh, tapi tak sempat mekar. Tentang hubungan yang berani dimulai, namun terlalu takut untuk diberi nama. Waktu berjalan, jarak meluas, dan rahasia-rahasia yang dahulu dikubur kini mulai terangkat satu per satu. Di balik pekerjaan, tanggung jawab, dan dunia profesional yang kaku...
Our Son
549      300     2     
Short Story
Oliver atau sekarang sedang berusaha menjadi Olivia, harus dipertemukan dengan temanmasa kecilnya, Samantha. "Tolong aku, Oliver. Tolong aku temukan Vernon." "Kenapa?" "Karena dia anak kita." Anak dari donor spermanya kala itu. Pic Source: https://unsplash.com/@kj2018 Edited with Photoshop CS2
Ketika Kita Berdua
37975      5447     38     
Romance
Raya, seorang penulis yang telah puluhan kali ditolak naskahnya oleh penerbit, tiba-tiba mendapat tawaran menulis buku dengan tenggat waktu 3 bulan dari penerbit baru yang dipimpin oleh Aldo, dengan syarat dirinya harus fokus pada proyek ini dan tinggal sementara di mess kantor penerbitan. Dia harus meninggalkan bisnis miliknya dan melupakan perasaannya pada Radit yang ketahuan bermesraan dengan ...
Akhi Idaman
1232      766     1     
Short Story
mencintai dengan mendoakan dan terus memantaskan diri adalah cara terbaik untuk menjadi akhi idaman.
TENTANG WAKTU
2100      895     6     
Romance
Elrama adalah bintang paling terang di jagat raya, yang selalu memancarkan sinarnya yang gemilang tanpa perlu susah payah berusaha. Elrama tidak pernah tahu betapa sulitnya bagi Rima untuk mengeluarkan cahayanya sendiri, untuk menjadi bintang yang sepadan dengan Elrama hingga bisa berpendar bersama-sama.