Hari-hari berikutnya berjalan sesuai dengan apa yang Tara khawatirkan. Ia memang lebih sering berada sendirian di rumah kantor itu. Dari pagi hingga sore, ruang tamu yang luas hanya terisi suara detak jam dinding dan langkahnya sendiri. Sesekali terdengar suara kendaraan dari luar, tapi selebihnya, hanya sunyi.
Tara sempat mencoba menghidupkan suasana dengan memutar musik dari ponselnya, tapi tak cukup mampu mengisi kekosongan yang ia rasakan di dalam. Ada perasaan takut, kesepian, dan cemas yang berkumpul dalam diam. Kadang ia menoleh ke belakang tanpa alasan, merasa seperti sedang diawasi. Kadang pula jantungnya berdetak lebih kencang hanya karena suara tikus di plafon.
Tapi karena tak punya pilihan lain, Tara hanya bisa mengikuti alur hidup yang membawanya ke sini. Ia tetap membuka laptop dan berusaha fokus menulis, meski jemarinya terasa kaku karena pikirannya terlalu ramai dengan rasa sunyi.
Di sela waktu istirahat, Tara membuka Instagram dan melihat story Kak Dira yang sedang berkumpul dengan rekan-rekan kantornya. Mereka tertawa saat makan siang bersama, saling bercanda, memamerkan kopi dan kue di meja. Cerita Sekar pun tiap malam terdengar penuh tawa dan semangat. Adik bungsunya itu baru saja terpilih jadi ketua kelompok dalam proyek masak-memasak di sekolah. Sekar bercerita panjang, dari ide menu yang mereka diskusikan sampai kejadian lucu saat salah satu temannya hampir menumpahkan saus.
Tara mendengarkan semua itu sambil tersenyum kecil, namun di dalam hatinya ada rasa asing yang tumbuh. Rasanya seperti berdiri di luar jendela dan hanya bisa melihat kehangatan tanpa bisa masuk.
Sampai suatu sore, ia membuka kontak lamanya. Satu per satu nama teman sekolah muncul. Ia menghubungi dua orang, berharap bisa mengajak mereka bertemu, sekadar berbagi cerita atau mengobrol ringan. Tapi jawabannya seragam:
"Duh Ra, gak bisa nih. Aku ada kuliah full hari ini, besok juga."
"Maaf banget ya Ra, aku shift sore. Mungkin minggu depan baru bisa, itu pun belum pasti."
Tara membaca pesan-pesan itu sambil memeluk lutut di atas kursi kerjanya. Ia tak menyalahkan siapa-siapa. Tapi entah kenapa, rasa sepi yang ia rasakan tiba-tiba terasa seperti dinding tinggi yang makin menjauhkan dia dari dunia luar.
***
Pagi berikutnya datang, seperti biasanya Tara membuka pintu kantor yang kosong. Ia kembali mencoba masuk ke rumah besar itu dengan perasaan takut, baru saja hendak menutup pintu, Tara mendapati kedatangan Mba Susi, ia tersenyum lega, ia yakin Mba Susi pasti akan menemaninya hari ini dan kerja di sini. Dengan semangat dan senyum merekah ia bertanya.
"Mba, hari ini kerja di sini kan?" tanyanya penuh harap.
Mba Susi kelihatan membongkar berkas-berkas di dalam lemari seperti mencari sesuatu, ia menoleh sebentar ke arah Tara, lalu menemukan sesuatu di dalam map berwarna bening.
"Oh nggak Ra, aku mau ambil laporan ini aja. Duh pusing banget akutuh laporan aku banyak perselisihan sama laporannya Bu Cici, jadi mesti sering-sering samperin bu Cici ke resto."
Tara lesu, senyumnya yang semula merekah kini berubah menjadi raut penuh kecewa. "Oh gitu."
"Yasudah aku berangkat lagi ya Tara, oh iya maaf banget aku minta tolong rapihin lemari berkas itu ya, tadi banyak yang berantakan waktu aku cari ini." kata Mba Susi sambil berjalan kembali menuju pintu luar.
"Oh iya Mba," jawab Tara tanpa bertanya apapun lebih jauh. "Hati-hati ya."
Siang menjelang, ia makan sendiri di ruang dapur yang dingin. Sore tiba, ia sendirian mengunci pintu besar yang berderit saat ditutup. Hanya suara langkah kakinya yang menemani, dan suara detik jam yang seolah menertawakannya.
Setiap melihat story kak Dira yang sibuk dengan teman-teman kantornya, atau Sekar yang selalu punya cerita lucu tentang sekolah dan kerja kelompoknya, dada Tara makin sesak.
"Kenapa aku selalu jadi yang sepi?" pikirnya suatu malam.
Tara kembali mencoba menghubungi dua temannya Mika dan Rani dengan harapan bisa mengisi kekosongan itu. Tapi balasan mereka membuat hatinya makin runtuh, balasan mereka masih sama seperti sebelumnya, terhalang kendala kesibukan untuk bisa menyempatkan waktu bertemu Tara.
"Duh, belum bisa, Ra. Besok aku ada kuliah pagi."
"Sorry banget, aku masuk shift malam minggu ini."
Tara tersenyum paksa di balik layar ponselnya, ia tidak bisa menyalahkan siapa-siapa jika keadaan temannya pun dipenuhi kesibukan. Lalu menghapus pesan yang ingin ia kirim ke teman lainnya. Tak mau terlihat seperti seseorang yang terlalu membutuhkan.
Kesepian itu perlahan menjelma jadi luka kecil. Ia mulai mempertanyakan banyak hal.
Kenapa hidupnya terasa sepi?
Kenapa rasanya seperti tidak ada tempat yang benar-benar memanggil namanya?
Namun, di balik semua kesepian yang mencekik diam-diam, ada satu hal yang membuat hati Tara sedikit menghangat. Malam itu, ia berbaring di kasurnya sambil menatap layar ponsel. Jemarinya dengan ragu membuka aplikasi tempat ia mempublikasikan cerita Tomorrow.
Matanya membesar.
"20.143 views?"
Tara buru-buru duduk, menatap angka itu lebih lama, memastikan dirinya tidak salah lihat. Ia membuka bagian komentar, dan deretan kalimat manis langsung menyambutnya:
"Cerita kamu bikin aku ngerasa gak sendirian."
"Gaya nulis kamu bikin aku ikut kebawa suasana, pliss lanjut terus ya!"
"Tomorrow bikin aku jatuh cinta. Kamu hebat banget."
Tara tersenyum pelan. Air matanya menggenang, bukan karena sedih, tapi karena ada rasa yang tak bisa dijelaskan. Hangat dan haru.
Di saat dunia nyata terasa terlalu sepi, ternyata ada dunia lain yang menyambutnya dengan hangat. Mungkin ia tidak bisa selalu punya teman bicara di rumah atau di kantor, tapi tulisannya bisa bicara lebih banyak, bisa menyentuh lebih banyak.
"Setidaknya, aku harus berhasil lewat ini," gumamnya lirih. "Setidaknya, aku harus buktikan kalau aku juga bisa didengar."
Malam itu, Tara menyalakan laptopnya. Membuka folder Tomorrow yang penuh coretan dan draf. Dengan semangat yang baru, ia mulai mengetik kembali. Kali ini tidak hanya untuk dirinya sendiri, tapi untuk mereka yang mendengar melalui kata.
real anak tengah sering terabaikan tanpa ortunya sadarii
Comment on chapter Bagian 4: Sebuah Kabar Baik