Hari ini Senin, yang artinya minggu aktif kegiatan ekstrakurikuler sudah dimulai. Sekali lagi kubaca pesan ketua klub yang kutebak mendapatkan nomorku dari formulir pendaftaran. Dia memberitahukan kapan dan di mana kegiatan Klub Lost & Found diadakan.
Walaupun matahari sore ini sudah sedikit meredupkan sinarnya, peluh tetap membasahi dahiku. Kakiku terasa berat melangkah, padahal perjalanan menuju ruangan klub baru mencapai setengahnya. Keinginanku untuk melayangkan protes pada siapa pun yang menjadikan gedung D sebagai ruangan Klub Lost & Found kuurungkan karena rasanya itu sia-sia saja.
Tiga gedung utama yang didominasi ruangan kelas berada di tengah-tengah sekolah, sedangkan gedung-gedung fasilitas yang lain menyebar di sekitarnya, jadi seharusnya murid-murid lain juga akan mengeluh sepertiku. Tapi saat melirik ke samping, kudapati Shila yang melangkah ringan seraya bergumam ceria. Rambut pendeknya bergoyang konstan dan dia tampak bersemangat.
“Kamu tidak lelah, ya, berjalan sejauh ini?” Aku tahu itu pertanyaan retorik.
Shila menoleh lalu tertawa pelan. Pasti dia menyadari kelelahanku melalui wajah yang kusam dibanjiri keringat dan kilau mata yang tidak antusias.
“Kamu lebih kelihatan seperti orang yang lagi lari mengelilingi lapangan, alih-alih lagi jalan ke ruangan klub. Pasti jarang olahraga, ya?”
Aku tidak menyangkalnya. “Aku hanya berolahraga kalau pelajaran penjaskes saja,” sahutku sambil cengar-cengir.
Shila menggeleng prihatin. “Kasihan banget, mana masih muda. Mulai sekarang biasakan gerakkin badan, Win. Setidaknya peregangan setiap baru bangun dan sebelum tidur. Supaya badan kamu tidak kaku-kaku amat.”
Aku hanya mengerucutkan bibir gara-gara kena omel, meskipun sebenarnya aku setuju pada ucapannya. Mungkin besok, kalau ingat, akan kuterapkan saran dari Shila.
Sesampainya di depan gedung D, aku berhenti sejenak untuk menarik napas. Masih ada tangga yang harus kunaiki untuk sampai di ruangan klub.
“La, tolong gendong aku.” Aku coba memelas pada Shila.
Shila tersenyum lebar, kemudian kedua tangannya diangkat ke atas seperti sedang melakukan gerakan pemandu sorak. “Semangat, Windi! Masa kalah sama aku yang ruangan klubnya ada di lantai tiga?”
Lalu dia langsung berlari memasuki gedung sambil tertawa puas, meninggalkanku sendirian.
***
Setelah menuruni lembah, menyebrangi lautan, dan menaiki bukit, akhirnya aku sampai di tempat tujuan. Alias, turun tangga dari kelasku ke lantai dasar gedung kelas sepuluh, terus jalan melewati lapangan upacara, lalu naik tangga ke lantai dua di gedung D.
Di depan pintu ruangan klub, aku mendongak, meneliti plang nama berwarna ungu dengan beberapa gambar kupu-kupu di sekitar tulisan “Klub Lost & Found”. Plang nama yang cantik.
Tepat ketika tangan kananku melayang hendak menggeser pintu, telingaku menangkap suara derap langkah yang mendekat. Refleks kupalingkan wajah dan menemukan seorang pemuda bertubuh tinggi tegap tengah berlari dari arah tangga.
“Hai! Kamu mau masuk ke klub ini juga, ya? Sama, dong!” sapa pemuda itu dengan bersemangat.
Beruang adalah hewan pertama yang terlintas dalam benakku ketika pemuda itu akhrinya berdiri di sampingku. Tapi, wajahnya yang ramah disertai senyuman lebar yang tampak tulus membuatnya lebih terlihat seperti anak beruang yang suka bermain-main daripada beruang besar yang sangar.
Kubalas senyumannya, lalu mengangguk. “Iya. Ayo, bareng.”
Tanganku meraih pegangan pintu, kemudian menggesernya dengan perlahan. Kami berdua masuk bersama.
Satu kata yang segera kugumamkan dalam benak ketika memasuki ruangan klub adalah ‘nyaman’. Pada dasarnya, ruangan ini sama saja dengan ruang kelas biasa. Jendela-jendela di kedua sisi terpanjang dinding, papan tulis di bagian depan, dan susunan loker di bagian belakang. Hal-hal itu tidak ada bedanya dengan yang ada di kelasku.
Namun, sinar matahari dari seberang jendela yang menyusup ke dalam ruangan memberikan sensasi kehangatan yang familiar. Wangi bebungaan yang samar-samar tercium dari pengharum ruangan mengingatkanku pada suasana di rumahku sendiri.
Pandanganku mulai menjelajahi seluruh ruangan. Perhatian pertamaku tertuju pada meja panjang yang diletakkan di dekat jendela yang menghadap ke taman. Di atas meja itu terdapat kardus-kardus dan keranjang-keranjang persegi yang disusun rapi dengan label yang membedakannya. Beralih dari sana, aku menemukan pojok tempat alat-alat kebersihan berada. Aku melihat loker sekilas, kemudian memutar tubuh dan mendapati meja bulat dengan dispenser air disertai setumpuk gelas plastik dan beberapa camilan.
Aku baru ingin mempertanyakan keberadaan para anggota klub ketika terdengar seruan tidak serempak.
“Selamat datang di Klub Lost & Found!”
Aku terkesiap. Para senior tiba-tiba muncul dari balik meja belajar yang disusun asal di tengah-tengah ruangan, bagian yang kuabaikan ketika melihat-lihat tadi. Bingung harus merespons seperti apa, aku pun melirik pemuda beruang di sampingku yang ternyata justru melirikku balik dengan sama bingungnya.
“Kalian kelihatan kaget banget. Maaf, ya, tapi kami memang sengaja mau kasih kejutan,” kata senior laki-laki berambut gondrong lurus yang tengah memperlihatkan ekspresi puasnya. Rambutnya tampak halus sehingga membuatku hampir salah fokus. Ternyata peraturan tentang rambut tidak terlalu ketat di sekolah ini.
“Padahal aku sudah menentang ide ini dari awal,” sahut senior lainnya. Aku mengenali wajah itu dari foto profil kontak yang tadi mengirimiku pesan, jadi aku yakin dialah si ketua klub. Kalau tidak salah namanya Jovindra.
Kemudian terdengar suara tawa renyah dari satu-satunya senior perempuan di sana. “Tapi ujung-ujungnya tetap kamu bolehin juga, kan?”
Aku kembali melirik ke pemuda beruang di sebelahku. Mataku menangkap sebaris kata di atas saku yang dijahit di bagian depan seragam. Arya Saputra. Dan sama seperti tadi, Arya pun balas melirikku. Kali ini, kami akhirnya saling melempar senyum.
Memang mengejutkan awalnya, tapi aku sendiri kaget ketika menyadari bahwa aku cukup senang dengan penyambutan ini. Mungkin ini semacam pertanda yang baik bagiku.