“Jadi, apa masih ada yang mau ditanyakan?” Bang Jovin yang duduk di seberang bersama dua senior lainnya menatapku dan Arya.
Dari perkenalan singkat sebelumnya, aku menyimpulkan bahwa ketiga senior di Klub Lost & Found memiliki kepribadian yang berbeda. Bang Jovin, si ketua klub, sekilas memiliki tatapan tajam yang galak. Tapi setelah diperhatikan agak lama, dia adalah pemuda yang kalem dan dewasa.
“Ayo angkat tangannya kalau mau bertanya,” tambah Kak Mela.
Kak Melani yang menjabat sebagai wakil ketua adalah senior kelas dua belas, sekelas dengan Bang Jovin. Rambutnya panjang sepinggang, wajahnya bulat manis, dan orangnya ceria. Dia juga ramah senyum.
“Tapi jangan tinggi-tinggi angkat tangannya, ya. Takutnya lepas.”
Lalu Bang Damian, si senior berambut gondrong, suka menyeletukkan kata-kata random. Beberapa kali aku mendapatinya memainkan pena dan membalik-balikkan kertas di saat dua senior lainnya sedang menjelaskan tentang klub ini. Mengingat dia yang menyarankan untuk memberi kejutan pada anak baru, kupikir Bang Damian orangnya suka iseng.
Kudengar Arya tertawa. “Bang Jovin sepertinya tertekan dengan celetukan Bang Damian,” katanya.
“Dia, sih, sudah kenyang menghadapi Damian,” sahut Kak Mela.
Kalau Arya, dia kelihatan antusias sekali sejak memasuki ruangan klub. Aku belum tahu jelas, tapi aura-auranya dia agak mirip dengan Bang Damian.
Arya kemudian mengangkat tangannya sesuai saran Bang Damian; tidak terlalu tinggi, hanya sejajar telinga. “Aku mau tanya, dong. Tadi, kan, Kak Mela bilang kalau ruangan klub dibuka setiap hari, karena pasti selalu ada siswa yang datang buat mencari barangnya yang hilang. Berarti, kita ngumpulnya juga setiap hari, ya?”
“Betul, Arya,” Bang Jovindra mengangguk. “Tapi tidak harus datang setiap hari. Ada jadwal jaga klub. Jadi, anggota yang jaga di hari itu harus menunggui ruangan saat jam istirahat dan jam aktvitas klub. Kalian bisa memilih harinya, supaya bagi yang ikut dua ekskul atau lebih bisa menyesuaikan. Nanti Mela yang akan membuat jadwalnya.”
Begitu penjelasan Bang Jovin selesai, Bang Damian mengangkat tangannya. “Aku pilih hari Rabu, ya, Kak Mela yang cantik.”
“Oke, Ian,” sahut Kak Mela seraya menulis di catatan.
“Makasih jawabannya, Bang Jovin,” kata Arya, lalu dia menghadap Kak Mela. “Kalau begitu, aku pilih hari Selasa, ya, Kak. Soalnya hari Rabu ada pertemuan klub menulis esai dan Jumatnya ada ekskul futsal.”
Aku tidak bisa menahan mataku yang membulat. Memang, setiap murid boleh mengikuti lebih dari satu ekstrakurikuler selagi dia bisa mengaturnya agar tidak keteteran dan mengabaikan jam belajar. Tapi baru ini aku menemukan langsung murid yang mengikuti tiga ekstrakurikuler. Aku yang butuh waktu untuk mengisi satu nama klub di formulir tentu tidak bisa membayangkannya.
“Rajin banget kamu, Ar,” kataku dengan nada terkejut.
“Mumpung ada banyak pilihan, Win, jadi mau coba semuanya. Kan, memang itu tujuan SMA Mentari, menyediakan wadah untuk siswa melakukan kegiatan positif,” katanya dengan santai. Kulihat ada tekad yang berkobar di matanya.
Aku jadi teringat perkataan Shila tempo hari tentang misi SMA Mentari.
“Kamu bagaimana, Win? Mau pilih hari juga?” tanya Kak Mela, membuat perhatianku teralihkan.
“Tidak, Kak. Hari apa saja tidak masalah, kok.” Karena aku memang tidak punya jadwal tambahan sepulang sekolah kecuali berkegiatan di Klub Lost & Found.
Kak Mela mengangguk, lalu lanjut menulis di catatannya. Kemudian Arya mengangkat tangannya lagi.
“Untuk jadwal kegiatan menyisir koridor dan halaman sekolah bagaimana, ya, Kak?”
“Kalau itu, tinggal disesuaikan saja dengan jadwal jaga ruangan. Anggota yang tidak punya jadwal jaga ruangan hari itu, bakalan dibagi dua, yaitu yang melakukan kegiatan menyisir dan yang ikut jaga ruangan,” terang Kak Mela.
Sepertinya dia menyadari kebingungan yang terpancar dari wajahku, jadi dia kembali melanjutkan. “Misalnya begini. Hari Selasa yang jaga ruangan si Arya, sedangkan empat anggota lainnya akan bagi tugas. Aku sama Jovin tetap di ruangan untuk bantuin Arya menangani murid-murid yang datang ke sini, sedangkan Ian dan Windi menyisiri sekolah untuk mencari barang-barang yang kehilangan pemiliknya.”
Aku mencoba memproses informasi itu pelan-pelan, sebelum akhirnya aku mengangguk paham. Saat itu, tanpa sadar pandanganku tertuju pada barisan loker di bagian belakang kelas. Aku baru menyadari kalau warna loker di sana berbeda-beda, padahal di kelasku semuanya rata berwarna putih.
Ada enam baris loker yang ditumpuk dua di sana, jadi total ada dua belas loker. Enam loker berwarna putih, lima loker berwarna biru, dan satu loker berwarna ungu dengan stiker kupu-kupu di permukaannya.
“Ada pertanyaan lagi?”
Tanpa mengalihkan pandangan dari loker-loker itu, aku merespons pertanyaan Bang Jovin. “Loker itu,” tunjukku, “untuk dipakai anggota klub, ya? Tapi kenapa warnanya beda-beda?”
“Ah, betul juga. Aku baru ini memperhatikannya,” sahut Arya.
Para senior serempak melihat loker itu sekilas, kemudian saling melemparkan senyum penuh arti. Aku tidak bisa menebak apa maksud dari komunikasi nonverbal itu.
“Warnanya berbeda-beda karena fungsinya juga berbeda,” jawab Bang Jovin kemudian. “Hanya loker putih yang boleh dipakai oleh anggota klub. Loker biru untuk penyimpanan khusus. Dan loker ungu hanya digunakan di saat yang tepat dan pada orang yang tepat, jadi loker yang satu itu tidak boleh disentuh dan dibuka sebelum waktunya.”
“Apa maksudnya penyimpanan khusus?” Arya menyuarakan kebingunganku. “Apakah itu tempat untuk menyimpan benda yang sangat berarga seperti kalung emas?”
“Bisa jadi?” Bang Damian mengerling jahil. “Nantinya kalian pasti akan tahu juga apa arti dari penyimpanan khusus.”
Aku mengernyitkan dahi. Jawaban itu sama sekali tidak menjawab kebingungan kami.
“Kalau begitu, bagaimana dengan loker ungu?” Arya bertanya lagi. “Apa maksudnya loker itu hanya digunakan di saat yang tepat dan orang yang tepat? Kok, kedengarannya seperti jatuh cinta saja.”
Kulihat Bang Damian menahan tawanya.
“Untuk yang satu itu, kami tidak bisa menjawabnya sekarang karena kalian harus mengalaminya langsung. Jadi, mohon bersabar dan menunggu sampai momennya tepat, ya,” kata Kak Mela.
“Apa masih lama sampai momen yang tepat itu datang?” Akhirnya aku bertanya.
Bang Jovin tampak berpikir sebentar. Kurasakan jantungku mulai berdegup kencang menanti jawabannya. Entah apa alasannya, aku jadi begitu penasaran.
“Tergantung.” Hanya itu yang dikatakan Bang Jovin setelah terdiam beberapa saat, mengundang rasa kecewaku.
“Ini, sih, kami yang merasa digantung, Bang,” canda Arya.
Apa ini? Aku memang tidak berekspektasi apa-apa ketika memilih klub ini, tapi baru bergabung saja aku sudah disuguhi rahasia. Kenapa pula para senior tidak memberi tahu saja semuanya?
Memangnya hal khusus apa yang disimpan di dalam loker biru? Bukan sesuatu yang aneh, kan?
Aku mencoba mentertawai gagasanku. Kalau Klub Lost & Found memang menyimpan benda aneh dan melakukan aktivitas mencurigakan, pasti sudah dari lama klub ini dinonaktifkan.
“Jadwalnya sudah selesai!”
Lamunanku buyar ketika Kak Mela menyodorkan buku catatannya ke tengah meja. Di sana tertera jadwal jaga ruangan selama lima hari sekolah.
Jadwal Jaga Ruangan Klub Lost & Found
Senin: Jovindra
Selasa: Arya
Rabu: Damian
Kamis: Windi
Jumat: Melani
“Jangan lupa dicetak dan ditempelkan di mading samping papan tulis, ya, Mel,” kata Bang Jovin. Setelah melihat Kak Mela mengacungi jempol, dia melanjutkan. “Tugas anggota yang jaga ruangan adalah menjaga kebersihan dan kerapian ruangan, berjaga selama jam istirahat dan jam aktif ekskul, serta membantu murid yang datang untuk mencari barangnya yang hilang. Ikuti jadwalnya dengan baik, dan kalau ada apa-apa jangan sungkan untuk bertanya pada senior, ya.”
Setelah beberapa patah kata lagi, akhirnya pertemuan sore itu diakhiri. Kami menutup hari pertama dengan membagi tugas untuk membersihkan ruaangan dan merapikan meja-meja.
Seraya menutupi jendela dan menguncinya, mataku beberapa kali melirik ke arah loker. Aku mencoba menerawang apa yang tersimpan di dalamnya, meskipun itu mustahil dilakukan.
Ketika lagi-lagi aku melihat ke loker, Bang Damian yang sudah selesai dengan tugas membuang sampahnya berjalan mendekat. Sepertinya dia menyadari kalau aku terus-terusan menatapi loker tiga warna itu.
“Penasaran banget, ya, sama lokernya?”
Aku tidak menyembunyikannya, jadi aku pun mengangguk. “Aku tidak tahu kalau klub ini punya sesuatu yang misterius.”
Bang Damian tertawa kecil. “Dulu, pas awal masuk ke sini, aku juga sepertimu dan Arya. Sepertinya sudah jadi kebiasaan turun-temurun di klub ini untuk membiarkan anggotanya mengetahui setiap keajaiban pelan-pelan, seperti sedang mengupas bawang.”
“Ada hal ajaib di klub ini?” Aku membulatkan mata. Sebenarnya, aku sudah melibatkan diri ke klub seperti apa?
Bang Damian menaik-turunkan bahunya. “Kamu akan tahu dengan sendirinya nanti.”
Aku pun mengganti pertanyaan. “Kalau begitu, apa ada hal misterius lainnya selain loker tiga warna?”
Kali ini, Bang Damian meletakkan jari telunjuknya di bibirnya yang tersenyum lebar. “Itu rahasia.”
Menurutku, senior yang satu ini hanya ingin mengisengiku saja. Tahu begitu, aku tidak bertanya padanya tadi.
“Selamat datang di klub, Windi.” Bang Damian menepuk pelan bahuku. “Siap-siap untuk menemui kejutan yang sudah menanti, ya,” katanya sambil mengedipkan sebelah mata.
Lalu, dia bergabung dengan senior lainnya dan membiarkanku termenung sendiri.