Loading...
Logo TinLit
Read Story - Layar Surya
MENU
About Us  

“Sayang banget, loh, aslinya,” gumaman ibu Nova menarik perhatian Soya. Kebetulan ia duduk di depan orang tua cewek garang itu.

Yasmin pun ikutan menoleh. “Sayang kenapa, Bu?”

Ibu Nova mencondongkan tubuh konspiratif. “Ya … saya dan suami saya ini, kan, sejak dulu sibuk di dunia teater, Bu. Jadi kami aslinya kenal Pak Sastra dan keluarganya. Apalagi kami sama-sama lulusan SMA Surya Cendekia.”

Soni ikutan menoleh, alisnya terangkat. “Oh, Ibu dan Bapak lulusan SMA sini? Saya juga. Angkatan 80.”

Bapak Nova membeliak. Ia berbisik penuh semangat. “Saya angkatan 84, istri saya angkatan 85! Berarti Bapak lulus, saya baru masuk.”

Mendadak, keempat orang tua itu bisik-bisik dengan antusias, mulai bosan dengan perdebatan di depan. Soya duduk kaku. Tak berani ia menoleh ke belakang, memastikan reaksi Nova. Perhatiannya pun terpecah mendengar kasak-kusuk para orang tua, dan bagaimana Sastra mencoba menjawab setiap tuduhan yang dilayangkan komite sekolah.

“Benar, saya ingat dulu ekskul teater di sini memang besar. Sangat besar,” jawab Soni sambil mengernyit, tetapi bukan pernyataan sang ayah yang membuat Soya terkejut. Kenyataan bahwa ayahnyalah yang berkata-kata membuatnya bengong.

Ternyata Soni tahu soal Layar Surya?

Seolah sadar dengan tatapan anaknya, Soni menyipitkan mata. “Tapi Papa nggak tahu apa-apa. Tahunya memang banyak peminatnya. Papa dulu nggak pernah gabung ekskul, nggak peduli.”

“Tapi emang bener, loh, Pak Soni,” Ibu Nova menyahut. “Saya dan suami saya lulusan ekskul teater Layar Surya. Waktu itu pesertanya bisa sampai empat puluh … lima puluhan anak. Heboh banget.”

“Pendirinya juga seorang aktor lawas, kan?” Soni mencoba menggali memori.

“Iya. Sendra Wara,” Bapak Nova berbisik, sangat pelan sampai-sampai Soya harus ikutan mencondongkan tubuh—dan berakhir membenturkan kepalanya dengan Nova. Barulah kedua cewek itu refleks bertukar tatap dengan canggung.

Yasmin menahan napas. “Aktor lawas yang meninggal karena kecelakaan itu?”

“Bukan kecelakaan, Bu,” koreksi Ibu Nova dengan teramat pelan. “Gagal jantung waktu perjalanan pulang. Baru setelah itu mobilnya terlibat kecelakaan.”

“Saya ingat beritanya bukan begitu.” Soni mengernyit lebih dalam. “Waktu itu beritanya heboh di mana-mana, tiap reuni selalu dibahas. Di televisi apalagi. Beritanya ….”

“Yang dipublikasi memang begitu, Pak. Aslinya, almarhum terkena gagal jantung. Waktu itu Pak Sastra yang nyetir, jadinya panik. Kecelakaan. Almarhum Sendra Wara sudah meninggal duluan sebelum kecelakaan.”

Soni masih mengeyel. “Bukan, bukan itu yang saya dengar. Toh yang cerita lebih banyak, saya dengar sendiri …. Beritanya adalah sopir yang mengemudikan mobil almarhum Sendra Wara sengaja mencelakai.” Ia menjelaskan dengan perlahan sambil berusaha mengingat-ingat. “Sebentar, itu berarti, sopirnya …? Pak Sastra sendiri?”

Satu detak jantung lolos dari dada Soya. Apa yang baru saja didengarnya?

Di sisi lain, terdengar deheman dari arah moderator. “Permisi, bapak dan ibu sekalian, dimohon perhatiannya.” Kala keempat orang tua itu mengatupkan mulut dengan ekspresi campur aduk, sang moderator menganggukkan kepala. “Silakan dilanjutkan, Ibu Kepala Yayasan.”

Wanita itu sempat mengerling sebal ke arah audiens, sebelum kembali membaca laporan di meja. “Setelah ini saya akan membacakan konsekuensi dari Yayasan atas pelanggaran-pelanggaran yang disebutkan tadi. Pertama, Yayasan Surya Cendekia akan menghentikan segala bentuk bantuan dan dukungan kepada ekstrakurikuler teater Layar Surya. Kedua, teater Layar Surya tidak lagi tercatat sebagai bagian dari Yayasan Surya Cendekia dan seluruh bagian di dalamnya.”

Terdengar napas-napas tercekat dari belakang punggung Soya, dan gumaman menyebut nama tuhan oleh ibu Nova dengan lirih. Mendengar teater yang membesarkan namanya dibekukan oleh istri sang pendiri rasanya miris.

Soya mengalihkan pandangan kepada Sastra. Napasnya tertahan melihat sang guru berdiri kaku di posisinya, menatap ibunya sendiri lekat-lekat tanpa kedip.

Walau Sastra tak mengatakan apapun, tetapi Soya bisa merasakan pergolakan batin. Mendadak ia sadar akan tekanan lengan Yasmin yang duduk di sampingnya, atau bunyi jari beliau saat mengetuk-ketuk permukaan ponsel.

Ia teringat saat Yasmin menudingkan telunjuk kepadanya, menyebut serentetan kesalahan Soya yang membuat Yasmin dan Soni bertengkar lagi.

Bukankah ini sama saja? Teater Layar Surya yang didirikan oleh mendiang ayahnya, yang Sastra pertahankan dengan segala cara hingga merekrut Soya dengan cara tidak beretika, pada akhirnya dibekukan oleh ibunya sendiri.

Jantung Soya berdebar-debar keras. Ketegangan yang ia rasakan sama besarnya ketika Yasmin marah-marah dan Soni membanting pintu. Pandangannya tertuju pada tangan Sastra yang terkulai di sisi tubuhnya. Bahu yang merosot. Dagu yang masih berusaha ditegakkan.

Mendadak, Soya merasakan kengerian menyergapnya.

Bagaimana kalau Sastra dipaksa berhenti dari sekolah? Pertanyaan itu tiba-tiba terlintas di benaknya. Ia tidak peduli apakah ini terpantik oleh overthinking-nya lagi atau bukan, tetapi napas Soya memberat membayangkannya.

Berkelebat di benaknya setiap ucapan Sastra yang terlontar kepadanya; yang membuat ia tetap bertahan di teater itu walau janji nilai bagus sudah lama terlewat. Ia ingat saat Sastra menyeretnya ke panggung auditorium pertama kali Soya hadir di perkumpulan ekskul. Ia juga tak pernah lupa tawa dan tarian konyol sang guru saat menyanyikan lagu “Kumpul Bocah”—menyuruh Soya untuk bodoh amat pada dunia. Pada obrolan-obrolan samar yang mendalam saat tak ada yang mendengarkan. Dan juga—

“Yang ketiga,” kata Ibu Kepala Yayasan lagi, sembari balas menatap Sastra. “Karena paksaan yang Bapak Sastra lakukan terhadap—”

“P-Pak Sastra nggak maksa saya!”

Seisi ruangan menghening. Begitu pula Soya, yang tersadar dirinya sudah beranjak berdiri dengan napas memburu. Tenggorokannya tercekat saat mendapat tatapan tajam para petinggi sekolah dan yayasan, terutama Ibu Kepala Yayasan.

Si moderator, salah satu anggota komite sekolah, berdeham. “Maaf, tidak diperkenankan untuk menyela. Kepada hadirin agar mendengarkan saja.”

“Soya.” Yasmin menarik tangannya dengan gugup. “Duduk, Nak.”

Namun Soya tidak mau duduk dulu. Selagi orang-orang sedang diam, selagi belum ada yang menyelanya, ia membiarkan deru adrenalin mengendalikan mulutnya, walau rasanya jantung Soya mau meledak.

“Saya ... ikut ekskul teater karena saya … eh, bukan karena nilai,” katanya, berusaha mengeraskan suara tanpa terdengar gemetaran. Gagal. “Kalau—kalau karena nilai, saya masih bisa belajar, kok. Tapi … ini … er, biar bisa ngomong. Maksudnya, karena akting, jadi pede ….”

Meski begitu ia mendadak merasa tidak percaya diri. Apalagi saat Ishak memutar bola mata dan Ibu Kepala Yayasan tidak lagi memerhatikannya.

“Soya, cukup,” bisikan Soni terdengar dari sampingnya.

Peringatan itu cukup untuk membuat keberanian Soya nyaris runtuh lagi, tapi—mengenali betul sensasi saat keberaniannya menyurut bagai ombak yang bergulung mundur, siap untuk menghantam lebih keras—Soya pun mengerahkan seluruh suaranya.

“Tapi—tapi Pak Sastra udah ngajar saya lebih banyak hal daripada guru lain!!”

“Ssh! Dimohon untuk diam!” si moderator kembali mengeraskan suara. “Jika hadirin tidak kondusif, saya terpaksa akan mengeluarkan Anda sekalian jika ini terjadi lagi!”

Soya cemberut, merasa bodoh karena tidak bisa memanfaatkan kesempatannya tadi untuk membicarakan hal-hal yang lebih penting. Saat Yasmin menariknya duduk, Soya melesak kembali ke kursi dengan sebal. Matanya berkaca-kaca.

Ia memandang ke arah Sastra, berharap setidaknya kata-katanya bisa didengar sang guru—bahwa pria itu mesti mengerti dirinya tidak sendiri, sebagaimana Sastra selalu memastikan situasi Soya.

Dan bibir pucat sang guru, yang membentuk seutas senyum tipis, sudah cukup. Walau Sastra tak bisa merespons lebih daripada itu, Soya merasa kelegaan merebak di hatinya. Sisa adrenalin membuat tubuhnya masih gemetaran, dan air mata berkumpul di pelupuk.

Soya sadar Yasmin sedang menatapnya walau tak mengatakan apapun. Mendadak ia merasa malu. Bulir-bulir air matanya menetes menyadari bahwa Soni dan Yasmin baru saja menyaksikannya berusaha berbicara, membuat mereka malu, dan terbayang omelan sang ayah nanti—

Yasmin mengeluarkan sekotak kecil tisu dan menyodorkan kepadanya.

Sempat Soya terbengong-bengong. Ia tak tahu mesti merespons bagaimana, hingga Yasmin mengeluarkan selembar tisu dan menyelipkannya ke tangan Soya.

Di seberang ruangan, Ibu Kepala Yayasan kembali membacakan konsekuensi yang mesti diterima Sastra dengan nada datar. Sastra masih mendengarkan dan, saat ibunya selesai berbicara, pria itu mengangguk.

“Saya siap menerima setiap konsekuensi,” jawabnya, terdengar lebih tegar daripada sebelumnya. “Teater Layar Surya tidak akan menjadi bagian dari Yayasan Surya Cendekia lagi.”

Forum persidangan itu berakhir kurang lebih satu jam kemudian, dengan hujan mengguyur lebat. Satu per satu pasangan orang tua dan anak meninggalkan ruangan—ada yang membawa payung sendiri, ada yang menunggu antrean payung dari satpam.

Sembari menunggu giliran, orang tua Soya dan orang tua Nova terus mengobrol, menggosipkan keluarga Sastra mumpung hujan meleburkan suara mereka. Daru dan neneknya sedang dipayungi satpam menuju gerbang. Kaspian, Juni dan ibunya baru saja berlalu.

Soya berdiri tercenung, sama sekali tak sadar Nova memerhatikannya sedari tadi.

Melihat situasi Soya pun, Nova menghela napas jengkel. Cewek itu mudah murung dan menangis sejak dulu. Ia heran. Maka ia menyikut lengan Soya.

“Kalau wajahmu tertekan terus, bisa cepet tua.”

Soya terperanjat. “Kamu ... kamu nggak marah sama aku?”

“Marah, dong!” Nova menahan diri untuk tidak membentak. Matanya menyipit. “Marah banget, malah. Bisa-bisanya kamu gabung teater karena alasan itu? Apa kamu—”

Nova refleks menghentikan ucapannya saat Soya terperanjat. Ia mengembuskan napas. Ia merasa seperti singa yang membuat seekor kelinci meloncat kaget hanya dengan geraman pelan.

“Yah, seenggaknya, kamu tadi berani membela Pak Sastra,” ujarnya, lantas mencondongkan tubuh untuk berbisik, “Padahal ada orang tuamu.”

Soya menelan ludah. “Kayaknya aku bakal dimarahi.”

Good luck, deh.” Nova mengangkat bahu. “Urusi dulu masalahmu. Nggak usah mikirin teater daripada makin berantakan.”

Soya merasa hatinya ditusuk-tusuk oleh ucapan pedas cewek itu. Sayangnya Nova memang benar. Dan, untungnya, si satpam sudah datang lagi dan menawarkan keluarga Soya untuk menggunakan payung milik sekolah dulu.

Sepanjang perjalanan menuju mobil, hingga ia sudah duduk di jok belakang dan Soni menyetir pulang, Soya menanti-nanti kapan kiranya bakal dimarahi. Namun, bahkan setelah mereka tiba di rumah dan kedua orang tuanya sibuk dengan urusan masing-masing, masih tak ada yang mengajaknya bicara.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • zetamol

    Haruskah kita bertemu lagi dengan efis---

    Comment on chapter Prolog: Ambang Batas
  • zetamol

    Anxiety-mu itu loh, Soya 😭

    Comment on chapter Bab 1: Soya Mayanura
Similar Tags
PurpLove
367      301     2     
Romance
VIOLA Angelica tidak menyadari bahwa selama bertahun-tahun KEVIN Sebastian --sahabat masa kecilnya-- memendam perasaan cinta padanya. Baginya, Kevin hanya anak kecil manja yang cerewet dan protektif. Dia justru jatuh cinta pada EVAN, salah satu teman Kevin yang terkenal suka mempermainkan perempuan. Meski Kevin tidak setuju, Viola tetap rela mempertaruhkan persahabatannya demi menjalani hubung...
Senja (Ceritamu, Milikmu)
6621      1646     1     
Romance
Semuanya telah sirna, begitu mudah untuk terlupakan. Namun, rasa itu tak pernah hilang hingga saat ini. Walaupun dayana berusaha untuk membuka hatinya, semuanya tak sama saat dia bersama dito. Hingga suatu hari dayana dipertemukan kembali dengan dito. Dayana sangat merindukan dito hingga air matanya menetes tak berhenti. Dayana selalu berpikir Semua ini adalah pelajaran, segalanya tak ada yang ta...
Senja di Balik Jendela Berembun
18      18     0     
Inspirational
Senja di Balik Jendela Berembun Mentari merayap perlahan di balik awan kelabu, meninggalkan jejak jingga yang memudar di cakrawala. Hujan turun rintik-rintik sejak sore, membasahi kaca jendela kamar yang berembun. Di baliknya, Arya duduk termangu, secangkir teh chamomile di tangannya yang mulai mendingin. Usianya baru dua puluh lima, namun beban di pundaknya terasa seperti telah ...
Varian Lara Gretha
5468      1685     12     
Romance
Gretha harus mempertahankan persahabatannya dengan Noel. Gretha harus berusaha tidak mengacuUhkan ayahnya yang berselingkuh di belakang ibunya. Gretha harus membantu ibunya di bakery untuk menambah biaya hidup. Semua harus dilakukan oleh Gretha, cewek SMA yang jarang sekali berekspresi, tidak memiliki banyak teman, dan selalu mengubah moodnya tanpa disangka-sangka. Yang memberinya semangat setiap...
The Girl In My Dream
430      303     1     
Short Story
Bagaimana bila kau bertemu dengan gadis yang ternyata selalu ada di mimpimu? Kau memperlakukannya sangat buruk hingga suatu hari kau sadar. Dia adalah cinta sejatimu.
6 Pintu Untuk Pulang
651      377     2     
Short Story
Dikejar oleh zombie-zombie, rasanya tentu saja menegangkan. Apalagi harus memecahkan maksud dari dua huruf yang tertulis di telapak tangan dengan clue yang diberikan oleh pacarku. Jika berhasil, akan muncul pintu agar terlepas dari kejaran zombie-zombie itu. Dan, ada 6 pintu yang harus kulewati. Tunggu dulu, ini bukan cerita fantasi. Lalu, bagaimana bisa aku masuk ke dalam komik tentang zombie...
THE HISTORY OF PIPERALES
2083      812     2     
Fantasy
Kinan, seorang gadis tujuh belas tahun, terkejut ketika ia melihat gambar aneh pada pergelangan tangan kirinya. Mirip sebuah tato namun lebih menakutkan daripada tato. Ia mencoba menyembunyikan tato itu dari penglihatan kakaknya selama ia mencari tahu asal usul tato itu lewat sahabatnya, Brandon. Penelusurannya itu membuat Kinan bertemu dengan manusia bermuka datar bernama Pradipta. Walaupun begi...
Unframed
476      362     5     
Inspirational
Abimanyu dan teman-temannya menggabungkan Tugas Akhir mereka ke dalam sebuah dokumenter. Namun, semakin lama, dokumenter yang mereka kerjakan justru menyorot kehidupan pribadi masing-masing, hingga mereka bertemu di satu persimpangan yang sama; tidak ada satu orang pun yang benar-benar baik-baik saja. Andin: Gue percaya kalau cinta bisa nyembuhin luka lama. Tapi, gue juga menyadari kalau cinta...
Bismillah.. Ta\'aruf
826      516     0     
Short Story
Hidup tanpa pacaran.. sepenggal kalimat yang menggetarkan nurani dan menyadarkan rasa yang terbelenggu dalam satu alasan cinta yang tidak pasti.. Ta\'aruf solusi yang dia tawarkan untuk menyatukan dua hati yang dimabuk sayang demi mewujudkan ikatan halal demi meraih surga-Nya.
Unending Love (End)
16962      2529     9     
Fantasy
Berawal dari hutang-hutang ayahnya, Elena Taylor dipaksa bekerja sebagai wanita penghibur. Disanalah ia bertemua makhluk buas yang seharusnya ada sebagai fantasi semata. Tanpa disangka makhluk buas itu menyelematkan Elena dari tempat terkutuk. Ia hanya melepaskan Elena kemudian ia tangkap kembali agar masuk dalam kehidupan makhluk buas tersebut. Lalu bagaimana kehidupan Elena di dalam dunia tanpa...