Loading...
Logo TinLit
Read Story - Layar Surya
MENU
About Us  

Birokrasi di negeri ini lucu. Surat peringatan bisa datang dalam sehari saja, tetapi proposal permintaan dana sengaja dikubur di bawah proposal-proposal lain yang dianggap lebih penting dan prestise.

Seketika Sastra mendapat surat dengan kop SMA Surya Cendekia, matanya terpaku pada logo yayasan yang tercetak jelas. Ia tidak buru-buru membuka itu. Pikirnya, ia bisa mendiskusikannya dengan kelima murid tersayangnya. Kalau tidak bisa lima, empat juga tidak apa-apa—yang satu biasanya selalu stand-by di grup percakapan.

Namun, sejak pulang sekolah hingga malam menjelang, rumahnya tidak kedatangan siapa-siapa. Sang kapten Layar Surya memutuskan untuk menyelinap ke auditorium SMA Surya Cendekia, menduga (atau berharap, sebenarnya) bahwa mungkin kelima awak kapalnya memutuskan untuk hadir di keremangan dek kapal auditorium diam-diam, sebagaimana dirinya yang melewati pintu dermaga dengan kunci duplikat.

Belum ada yang datang. Sastra mengecek jam tangan. Mungkin mereka akan datang telat. Mungkin orang tua mereka mulai mengetatkan jam keluar malam karena sebentar lagi memasuki minggu UTS.

Sastra menyalakan lilin-lilin setinggi ruas jari. Ia merebahkan tubuh di dekat nyala api yang lemah, menimbang-nimbang apakah sebaiknya ia membaca isi surat terlebih dahulu dan memikirkannya sendirian.

Benar. Tak perlulah mengajak anak-anak berdiskusi. Mereka hanya perlu fokus untuk bersenang-senang. Sastra tahu mereka butuh wadah untuk menyalurkan apapun itu, terlebih-lebih Soya. Sastra senang melihatnya berkembang di Layar Surya.

Walau, jujur saja, ia belum punya rencana sama sekali meski sudah menjanjikannya kepada Soya.

Sastra terus-menerus memilin ujung surat hingga akhirnya, seiring dengan redupnya lilin paling pendek, ia sadar anak-anak tidak akan datang.

Surat tersebut barangkali penyebabnya. Kalau tidak begitu, Ishak takkan begitu bersemangat melayangkan surat itu kepadanya, bahkan tanpa repot-repot memanggil Sastra ke ruangannya. Kadang-kadang, di SMA Surya Cendekia, birokrasi resmi tidak berjalan semestinya terlebih-lebih ketika beberapa staf masih memiliki hubungan saudara.

Soal ini, cukup segelintir saja yang tahu.

Sastra menyerah. Ia membuka surat. Matanya memindai dengan cepat semua yang tertulis di sana. Pesannya sederhana, tetapi ia tahu Layar Surya mungkin takkan berlayar lagi setelah ini.

**

Soya tak menduga segalanya akan berujung pada persidangan.

Kantong matanya tebal dan berat badannya turun satu kilo saat ia bertemu kawan-kawannya lagi di hari Sabtu. Namun, mereka tidak saling menyapa dan tertawa. Ketegangan meliputi raut semua anak dan tak ada satu pun yang saling melambaikan tangan. Alih-alih, itu menjadi ajang perjumpaan para orang tua mereka yang saling bersalaman dengan senyum masam. Soya disapa dengan lirikan pedas atau sesederhana kerlingan kekecewaan dari keempat anak lain. Tak ada yang mengirimnya pesan lagi sejak Selasa lalu.

Sebab, selama seminggu terakhir, satu per satu anak dipanggil ke kantor Waka Kesiswaan secara terpisah. Ditemani Maryam sang guru konseling, mereka disuruh menceritakan seluruh kegiatan Layar Surya secara jujur. Menurut keluhan yang dilontarkan Nova dan Kaspian di grup percakapan—dengan Soya yang tak berani muncul di sana—rasanya mereka seperti diinterogasi dan Ishak sangat menikmati setiap detik menekan para murid.

Di bawah gerimis kasar yang mengancam bakal deras, kaki-kaki bersepatu hak dan pantofel bergegas melewati teras. Mereka diarahkan menuju ruang kelas terdekat. Ruangan itu telah ditata sedemikian rupa membentuk huruf U, dengan empat meja kursi lain diletakkan pada platform ubin yang sejengkal lebih tinggi di bawah papan tulis.

Duduklah di sana Ibu Kepala Yayasan, Ishak, dan Ibu Kepala Sekolah, dengan satu meja kursi yang terpisah ditempati oleh Sastra.

Soya melihatnya sebagai panggung kematian.

Sang kapten Layar Surya juga terlihat lebih kurus dengan kantung mata yang lebih tebal, dan janggutnya seperti lupa dicukur beberapa hari terakhir. Soya merasa miris, terlebih-lebih ketika Soni berdecak dan berbisik bagaimana pria dengan penampilan seperti itu tak pantas menjadi guru. Setidaknya bukan di Surya Cendekia yang dibangga-banggakan.

Satu per satu orang tua dan murid memasuki ruangan. Suasana demikian hening, hanya didominasi basa-basi guru konseling dan pihak komite sekolah yang tidak sibuk membolak-balik laporan di meja, dan gerimis yang kian deras. Ketika isi ruangan sudah penuh dan Maryam berhasil menghitung dengan pandangannya yang rabun, pintu-pintu ganda pun ditutup.

Ishak pun beranjak, senyum keji tersemat di bibirnya.

Soya menunduk. Tak sudi ia memerhatikan tiap ucapan lelaki ular itu barang sekali pun. Lagi pula ketakutannya lebih ramai berpesta di dalam benak, memikirkan segala kemungkinan terburuk dari forum persidangan kali ini.

Sikap Soya tak luput dari pandangan Sastra. Toh ia duduk sejengkal lebih tinggi daripada para hadirin lain. Daripada menambatkan pandangan pada ibunya, sepupunya Ishak, atau sepupunya yang lain si kepala sekolah, lebih baik ia memastikan raut kelima anaknya. Bahkan dari jarak sejauh ini, Sastra tahu Nova dan Daru duduk dengan rahang mengeras, Kaspian menggaruk-garuk jarinya, dan Juni bolak-balik menggigit bibir cemas.

“Kepada Pak Sastra,” panggilan Ishak menarik perhatiannya sekali lagi. “Selaku pembina ekstrakurikuler teater dan pengampu mata pelajaran Sastra Indonesia di jurusan Bahasa, dipersilakan.”

Kursi Sastra berderit lirih saat ia beranjak. “Terima kasih, Pak Ishak,” katanya, berusaha menyembunyikan kegetiran di balik ketenangan. Pandangannya menyapu kepada para orang tua.

Ishak mendesaknya, seolah tak sabar mendorong Sastra terjun ke jurang. “Jelaskan kenapa Anda mengajak murid-murid ke pertigaan lampu merah Jalan Soekarno Hatta pada Minggu lalu?”

Sastra bisa merasakan tatapan para orang tua menghunjam kepadanya. Ia menarik napas dalam-dalam, menjelaskan apa yang terjadi. Tak ada yang dilebih-lebihkan, tak ada yang dikurangi. Ia berusaha tidak menyebutkan keterlibatan kelima muridnya terlalu sering.

“Saya terpaksa melakukan ini,” akunya, “karena proposal permintaan bantuan dana lomba dari kami tidak mendapat respons, sementara kami sudah menyetornya sesuai tenggat bersama dengan proposal ekskul lain. Untuk alasan lain, karena saya ingin membantu meningkatkan kepercayaan diri anak-anak dengan berani tampil di muka umum.”

Sastra melemparkan pandangan kepada Ishak dan ibu kepala sekolah. “Boleh kami tahu mengapa proposal dari ekskul teater ditolak?” Bagaimanapun para orang tua juga harus mengetahuinya.

Ishak mengembuskan napas. Matanya memicing saat menjawab, “Berhubungan dengan keputusan Yayasan terkait efisiensi dana dan menjunjung ekstrakurikuler yang … lebih banyak diminati oleh murid, maka Yayasan berencana menutup ekstrakurikuler teater tahun ini. Sejak sepuluh tahun terakhir, jumlah peminatnya terus menurun.”

Ibu kepala sekolah terdiam sejenak, membiarkan para orang tua mencerna informasi itu dalam diam. “Sebenarnya,” timpal wanita dengan wajah bundar ranum yang hangat itu, “ekstrakurikuler yang akan ditutup pun masih punya hak untuk didanai.” Suaranya lebih pelan, ditujukan kepada Waka Kesiswaan.

Kala kedua mata Ishak membulat, bersiap menjawab, Ibu Kepala Yayasan berdeham pelan. Sastra menahan napas. Ibunya.

“Ekskul ini seharusnya sudah ditutup awal tahun ini karena tidak ada pendaftar dari angkatan baru, tetapi mendadak berhasil menambahkan dua murid sehingga memenuhi kuota minimal kelayakan ekskul.” Jemarinya yang berkeriput membuka-buka tumpukan kertas di mapnya. Dari kejauhan, itu sudah jelas adalah salinan catatan kesaksian anak-anak yang dikumpulkan. “Menurut kesaksian salah satu murid, ia ditawari mendaftar ekskul dengan imbalan nilai bagus di rapor.”

Begitu saja, ibunya mengganti topik dan Sastra tahu takkan ada yang berani menyela beliau. Matanya memicing, dan ia berusaha untuk tidak mengepalkan tangan.

Namun, Sastra tak bisa menahan diri untuk mengerling ke arah Soya, yang memejamkan mata dan menunduk kian dalam. Dari tempatnya berdiri, Sastra pun mampu melihat sebagian muridnya menoleh ke arah Soya dengan ekspresi muram.

Bagi anak-anak yang bergabung dengan Layar Surya sepenuh hati, rahasia antara Sastra dan Soya ini memang menyakitkan.

Ia pun sadar kredibilitasnya mulai dipertanyakan. Mungkinkah Kaspian? Atau Nova, yang ikut lahir ke dunia teater berkat orang tuanya, sehingga menganggap niat adalah bentuk sakral? Sastra ingat, Nova sempat mengejek Juni saat pertama kali bergabung Layar Surya karena sekadar mengekori Kaspian. Andai bukan karena alasan memenuhi kuota, mungkin Nova sudah menekan Juni agar keluar.

“Pak Sastra.” Panggilan Ibu Kepala Yayasan menariknya kembali ke kenyataan. Ia menatap sang ibu dengan raut tanpa penjagaan. Sementara sang ibu, tetap tanpa emosi, melanjutkan, “Anda sudah melanggar sejumlah etika pendidikan. Mari kita lanjutkan forumnya.

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (2)
  • zetamol

    Haruskah kita bertemu lagi dengan efis---

    Comment on chapter Prolog: Ambang Batas
  • zetamol

    Anxiety-mu itu loh, Soya 😭

    Comment on chapter Bab 1: Soya Mayanura
Similar Tags
7°49′S 112°0′E: Titik Nol dari Sebuah Awal yang Besar
364      248     0     
Inspirational
Di masa depan ketika umat manusia menjelajah waktu dan ruang, seorang pemuda terbangun di dalam sebuah kapsul ruang-waktu yang terdampar di koordinat 7°49′S 112°0′E, sebuah titik di Bumi yang tampaknya berasal dari Kota Kediri, Indonesia. Tanpa ingatan tentang siapa dirinya, tapi dengan suara dalam sistem kapal bernama "ORIGIN" yang terus membisikkan satu misi: "Temukan alasan kamu dikirim ...
Veintiséis (Dua Puluh Enam)
809      448     0     
Romance
Sebuah angka dan guratan takdir mempertemukan Catur dan Allea. Meski dalam keadaan yang tidak terlalu baik, ternyata keduanya pernah memiliki ikrar janji yang sama sama dilupakan.
Venus & Mars
5918      1546     2     
Romance
Siapa yang tidak ingin menjumpai keagunan kuil Parthenon dan meneliti satu persatu koleksi di museum arkeolog nasional, Athena? Siapa yang tidak ingin menikmati sunset indah di Little Venice atau melihat ceremony pergantian Guard Evzones di Syntagma Square? Ada banyak cerita dibalik jejak kaki di jalanan kota Athena, ada banyak kisah yang harus di temukan dari balik puing-puing reruntuhan ...
KAMU MILIKKU
1013      608     8     
Short Story
Apa yang tidak diucapkan, tidak berarti tidak berada dalam hati.
Mr. Invisible
699      350     0     
Romance
Adrian Sulaiman tahu bagaimana rasanya menjadi bayangan dalam keramaiandi kantor, di rumah, ia hanya diam, tersembunyi di balik sunyi yang panjang. Tapi di dalam dirinya, ada pertanyaan yang terus bergema: Apakah suaraku layak didengar? Saat ia terlibat dalam kampanye Your Voice Matters, ironi hidupnya mulai terbuka. Bersama Mira, cahaya yang berani dan jujur, Rian perlahan belajar bahwa suara...
Di Hari Itu
465      331     0     
Short Story
Mengenang kisah di hari itu.
A Poem For Blue Day
188      137     5     
Romance
Pada hari pertama MOS, Klaudia dan Ren kembali bertemu di satu sekolah yang sama setelah berpisah bertahun-tahun. Mulai hari itu juga, rivalitas mereka yang sudah terputus lama terjalin lagi - kali ini jauh lebih ambisius - karena mereka ditakdirkan menjadi teman satu kelas. Hubungan mencolok mereka membuat hampir seantero sekolah tahu siapa mereka; sama-sama juara kelas, sang ketua klub, kebang...
Aromantic Roomates
154      138     1     
Non Fiction
Raya dan Rafa sahabat sejak kecil yang tak pernah terpisahkan Suatu saat keduanya diperhadapkan dengan masalah orang dewasa pada umumnya pernikahan Raya dan Rafa yang tak pernah merasakan jatuh cinta memutuskan untuk menikah demi menyelesaikan masalah mereka Akankah takdir membuat keduanya saling mencintai atau akankah perasaan mereka tetap pada tempatnya hingga akhir
Reality Record
2983      1035     0     
Fantasy
Surga dan neraka hanyalah kebohongan yang diciptakan manusia terdahulu. Mereka tahu betul bahwa setelah manusia meninggal, jiwanya tidak akan pergi kemana-mana. Hanya menetap di dunia ini selamanya. Namun, kebohongan tersebut membuat manusia berharap dan memiliki sebuah tujuan hidup yang baik maupun buruk. Erno bukanlah salah satu dari mereka. Erno mengetahui kebenaran mengenai tujuan akhir ma...
Di Antara Luka dan Mimpi
532      301     50     
Inspirational
Aira tidak pernah mengira bahwa langkah kecilnya ke dalam dunia pondok akan membuka pintu menuju mimpi yang penuh luka dan luka yang menyimpan mimpi. Ia hanya ingin belajar menggapai mimpi dan tumbuh, namun di perjalanan mengejar mimpi itu ia di uji dengan rasa sakit yang perlahan merampas warna dari pandangannya dan menghapus sebagian ingatannya. Hari-harinya dilalui dengan tubuh yang lemah dan ...