Hari-hari tanpa Layar Surya terasa aneh.
Sejak forum sidang Sabtu lalu, Soya tidak bisa menjalani kehidupan dengan tenang. Lebai? Entahlah, mungkin ini rasanya mirip seperti hari pertama setelah lulus SMP—ada rutinitas yang mendadak tidak dijalankan lagi. Hampa. Tidak beres.
Namun, yang lebih parah lagi, kehidupan terus berjalan seolah-olah itu hal yang tidak penting, sementara Soya masih merasa Sabtu berulang setiap hari.
Kala Senin tiba lagi, meski hari itu bukan waktunya ekstrakurikuler teater diadakan, Soya masih menghadapi kecanggungan saat duduk bersama Daru. Walau mereka masih mengobrol menyoal UTS, rasa bersalah Soya menghalanginya untuk bisa berbicara dengan leluasa. Lagi pula owok itu, yang dahulu lebih sering menggumamkan dialog Cindelaras daripada tidur, kini kembali tidur tiap jam istirahat antar waktu UTS. Naskah Cindelaras teronggok di pojok kolong meja yang berdebu, bercampur buntalan kertas dari berbulan-bulan lalu yang tak pernah terjamah.
Begitu pula Nova. Ketika hari bergulir menjadi Selasa, Soya menangkap dari ujung matanya bahwa Nova sempat bengong setelah bel sekolah berbunyi. Biasanya setelah ini mereka bergegas menuju rumah Sastra. Namun, hingga Soya beranjak karena sudah ditunggu Yasmin, Nova masih merenung di bangkunya.
“Heh, Mak Lampir bengong! Kenapa? Ditolak cowok?” salah satu cowok perundung di kelas menghampiri Nova, seringai lebar menghias wajahnya saat mengeplak bahu cewek itu.
Soya terperanjat. Ia sempat berhenti melangkah di pintu.
Namun, rasanya sia-sia saja mengkhawatirkan Nova, sebab cewek itu langsung membanting tas dan berdiri. Kursinya berdecit. “Mau apa?”
Cowok perundung itu cengar-cengir. “Nah, gitu dong—“
“GITU APA? BERANI GANGGU?” Nova mematahkan buku-buku jari. “Kamu tadi mukul aku, kan?”
Saat cowok itu mengibrit keluar kelas, Soya terdorong hingga ke lorong. Ia baru saja berniat mengecek Nova, lantas teringat bahwa sang ibu bakal bertambah kesal jika harus menunggu lebih lama. Yah, sejak kasus lalu, Soya selalu dijemput oleh Yasmin.
Dengan penuh penyesalan, ia melangkah pergi, meninggalkan Nova yang komat-kamit jengkel di kelas sendirian.
**
Karena terpaku menghabiskan hari-hari untuk belajar demi UTS, Soya lebih banyak menghabiskan waktu di perpustakaan (sekalian menghindari Nova dan Daru). Namun, berada di antara rak buku dan duduk di salah satu meja hanya mengingatkan pada masa-masa menyusun naskah Cindelaras yang riuh—masa-masa di mana mereka bisa berteriak dan bertikai di perpustakaan tanpa ada yang melarang.
Sekarang, perpustakaan penuh oleh orang-orang yang mengunci mulut, terpaksa fokus hanya pada UTS mendatang, dan tekanan. Andai mereka tahu serunya bersuara lantang di ruangan ini.
Menjelang hari-hari terakhir UTS, Soya kedapatan berbagi meja dengan Kaspian. Cowok itu telah duduk duluan di meja favorit Soya—satu-satunya yang menghadap dinding membosankan, tidak disukai murid-murid lain karena berdebu, dan memang satu-satunya yang kosong.
Saat Soya menghampiri dengan ragu-ragu, Kaspian mengangkat kepala. Lesu menyelimuti wajah rupawan itu.
“Oh, mejamu?” tanyanya, suaranya agak tercekat. Soya mengangguk pelan. “Sori, meja lain udah keburu penuh. Aku ....”
“Ng, nggak apa-apa. Pakai aja mejanya.”
Kala Soya memberi anggukan pamit, Kaspian mengernyit. “Masih ada kursi.” Ia mengayunkan tangan pada kursi kosong di sebelahnya.
Ah ... Soya tak bisa menolak itu, kan? Dengan sungkan, ia menarik kursi kayu di sebelah Kaspian dan menaruh buku-buku yang sedari tadi dipeluknya. Kaspian pun lanjut mengerjakan salinan latihan soal-soal Fisika. Terlihat dari earphone yang menggantung malas, ampas penghapus yang berserakan, dan jarinya yang berulang kali mengacak poni bahwa cowok itu mulai frustasi menjelang nomor sebelas.
Baru saja Soya mengerjakan empat soal Arab-Melayu, Kaspian merosot ke meja dan menguap keras-keras. Ia melirik, mumpung cowok itu membelakanginya.
Walau baru satu minggu tidak berjumpa, rasanya lama. Mengingat mereka biasa bertemu dua atau tiga hari sekali. Ia teringat perdebatan sang ketua dan wakilnya yang selalu menghias hari-hari latihan. Atau saat Kaspian sumpek dan diam-diam menyeret Soya untuk membeli iced latte bersama di kafe seberang.
Di tengah-tengah lamunan Soya, Kaspian tahu-tahu berputar menghadapnya. Cewek itu buru-buru membuang muka.
“Ngapain?” Kaspian mengernyit. Soya tak menjawab, jantungnya berdebar kencang karena malu tertangkap basah. “Hei. Kamu kenapa, sih? Kayak musuhan aja.”
Soya menatapnya ragu-ragu. Ia mengulang pertanyaan yang sama yang diberikan kepada Nova lalu.
“Marah? Daripada marah, aku lebih ke ... kesal aja, sih. Tapi aku sadar aku nggak bisa nyalahin kamu.” Kaspian menghela napas. “Orang tuaku juga strict, Soya. Tapi bedanya, mereka memang pengin aku tetap berada di dunia akting. Kalau ada alasan mereka marah, itu adalah cara Pak Sastra ngajak kita ke pertigaan. Ya kali anak sutradara malah bawa kotak sumbangan di pinggir jalan.”
Soya refleks mengembuskan napas berat. “Aku merasa bersalah,” gumamnya. “Dulu ... dulu aku memang kesal sama Pak Sastra, tapi sekarang beda. Kalau lihat beliau, rasanya aku yakin semua bakal lebih baik ....”
Kaspian mengangguk lesu. “Aku kangen latihan juga. Aku ... sampai sempat terpikir untuk ikutan audisi buat film lagi nanti saat masuk kuliah.”
Soya mengerucutkan bibir. “Lombanya ....”
“Ya, akhir Maret.”
“Dua minggu lagi.”
Cowok itu menegakkan punggung, sekadar untuk bersandar pada kursi. “Dua minggu lagi,” ulangnya lirih.
Selama sesaat, mereka hanya tercenung di kursi. Soya tak tahu mesti melakukan apa, selain menyadari bahwa waktu istirahat tidak berlangsung lama. Ia memutuskan untuk meraih pensil dan mengerjakan nomor selanjutnya, ketika Kaspian menyodorkan sebelah earphone miliknya.
Saat Soya memasangnya di telinga, alunan ‘Panggung Sandiwara’ membanjiri pendengarannya.
Satu jam kemudian, ketika UTS Sastra Indonesia berlasung, Soya tak bisa berkonsentrasi dengan baik. Walau ia mulai berhasil menghapal aksara Arab-Melayu, tetapi sosok sang guru yang terpekur di pojok ruang membuat fokusnya berantakan.
Sastra berdiri bersandar di jendela yang menghadap pohon trembesi. Ketika gerimis mulai turun, lantas berangsur menjadi hujan yang deras di siang yang sendu, Sastra masih tak beranjak dari sana.
Sempat dipandangnya wajah Sastra, dan Soya merasa miris melihat kantung mata gurunya kian tebal dan gelap.
Ia bertanya-tanya apakah nasib Layar Surya akan berakhir begini saja.
UTS Sastra Indonesia berlangsung lambat dan membosankan. Kala tiba waktunya mengumpulkan lembar-lembar ulangan, Sastra menerima tiap sodoran dengan ekspresi datar, mengucapkan salam perpisahan, dan menenteng tas kulitnya keluar ruangan. Satu per satu murid mengikuti langkahnya dengan mulut menguap.
Guyuran hujan yang deras membuat Soya kesulitan mengecek apakah ada mobil ibunya di antara jajaran mobil hatchback di halaman parkir luar milik ibunya. Sadar bahwa mobil-mobil yang lantas beranjak itu bukan milik Yasmin, Soya bergegas mengecek ponsel. Ternyata sang ibu baru saja mengirim pesan bahwa ada arisan yang tak bisa dilewatkan.
Soya disuruh pulang sebelum waktunya Soni kembali, dan—ini yang terpenting—jangan sampai Soni tahu tentang rahasia kecil itu.
Soya menghela napas. Masih ada waktu sekitar satu jam sebelum jam bubar kantor ayahnya. Ia mengeluarkan payung lipat di tas saat tasnya disenggol seseorang.
“Eh, sori, sori.”
Soya terperangah. Itu Juni. Lama ia tidak melihat gadis berambut lurus tersebut sampai-sampai ia terpukau melihat jepit stroberi manis yang tersemat di poninya, senada dengan payung transparan dengan corak motif stroberi yang sama.
Seperti biasa, tangan Juni selalu menggenggam ponselnya. Bahkan cewek itu sempat tak tahu kalau dirinya menabrak Soya, hingga ia disapa.
“Juni!” kata Soya, sempat khawatir jika Juni begitu marah padanya sampai-sampai tak sudi melihat wajahnya.
Juni mengangkat wajah. “Oh, kamu, toh.” Ia tersenyum masam. “Kirain siapa. Nggak pulang? Ntar dimarahin papa mamamu mampus.”
Soya mengerucutkan bibir. “Iya, ini aku mau pulang. Kamu nggak bareng Kas?”
Ekspresi cewek itu sama sebalnya. “Nggak. Selama UTS dia diantar jemput.” Ia terdiam sejenak, memerhatikan raut Soya yang lebih mirip cewek habis diputus hubungan oleh pacar. Ia mendengus. “Pas banget kita ketemu. Lihat ini.”
Juni menyeret Soya berteduh di bawah atap pos satpam yang menjulur. Ia serahkan ponselnya yang hangat ke tangan Soya, menunjukkan kumpulan video yang sedang disusun. Itu adalah berbagai rekaman selama latihan teater.
Hatinya mencelus saat video pertama diputar. Itu adalah masa-masa saat Juni merekam Soya yang menunggu di luar gerbang SMA Surya Cendekia di hari pertama berkumpul—saat Juni menyorot Soya pertama kali, tetapi cewek itu justru menampar ponsel Juni hingga terjatuh.
Pekikan amarah Juni yang terekam di video itu pun melebur pada video selanjutnya, saat Juni merekam Soya yang menjeblak pintu ruang serba guna—mengira bahwa Nova akan dibunuh Sastra, padahal mereka hanya berlatih peran. Potongan-potongan video terus bergulir setelah itu, memanggil tiap jengka memori: ketika mereka berlarian dan berteriak di lorong, kala Daru memukau seluruh orang dengan kemampuan aktingnya, atau momen di mana Juni diam-diam merekam pertengkaran Nova dan Kaspian bahkan mengelompokkannya menjadi satu kompilasi kilat, momen latihan fokus berpasangan yang membuat Nova dan Kaspian kalah telak dari kecanggungan Daru dan Soya si anggota baru, dan—
Dan, saat Juni ternyata diam-diam merekam Soya bersandiwara sebagai permaisuri yang terus memejamkan mata, lantas berlanjut pada video kesan pesan yang Juni rekam secara acak tiap mereka kumpul di rumah Sastra. Pada Soya yang cuek saja saat direkam dari jarak dekat, dan tetap fokus menjawab pertanyaan Juni seolah-olah kamera itu tak pernah teracung mengancam di depannya.
Otak Soya sempat mengosong saat menonton itu. Apalagi ketika video kembali berputar pada titik awal—pada titik di mana Soya menjatuhkan ponsel Juni.
Sejak kapan ia berubah jadi cuek di depan kamera?
“Aku capek belajar buat UTS, makanya bikin itu sejak dua hari lalu,” kata Juni sementara Soya masih menonton. “Aku mikir, kalau ekskul kita emang nggak lanjut lagi, seenggaknya ada kenang-kenangan yang bisa aku kasih. Trus ....”
Soya tidak mendengarkan sisa ucapan Juni. Fokusnya terpaku pada satu hal. Kalau ekskul kita emang nggak lanjut lagi ....
Ekskul kita.
Nggak lanjut.
Lagi.
Soya merasakan jantungnya berdebar. “Nggak, nggak ....”
“Apa?”
Mungkin ini kesempatannya.
Soya menyerahkan ponsel Juni, tetapi alih-alih beranjak pulang, ia menggandeng tangan cewek itu. “Ayo, temani aku ke rumah Pak Sastra bentar.”
Haruskah kita bertemu lagi dengan efis---
Comment on chapter Prolog: Ambang Batas