Loading...
Logo TinLit
Read Story - Konfigurasi Hati
MENU
About Us  

“Loh, kamu beneran pindah, Rin?” Said berdiri di ambang pintu kamar asrama. Tangan kanannya menenteng kantong plastik hitam. Remaja laki-laki berkulit sawo matang itu baru saja kembali dari koperasi membeli keperluan mandi.

Zaryn melipat satu persatu pakaiannya ke dalam koper. Ia tidak langsung menjawab, hanya mengangguk pelan sambil merapikan tumpukan baju di dalam koper. Di sampingnya ada tiga tumpuk buku yang menanti untuk dikemas.

“Jadi pindah ke sekolah yang dekat rumah Ayahmu itu?” tanya Said lagi, masuk ke kamar dan duduk di lantai dekat kasur busa yang disandarkan ke tembok.

“Iya.”

Said terdiam beberapa detik, lalu berkata dengan suara lebih pelan, “Afwan, tapi aku masih belum mengerti, kenapa harus kamu yang keluar? Kalau begini sama aja kamu mengakui kesalahan, kan?”

Zaryn menghela napas. Ia menutup koper perlahan, lalu duduk sambil menyelonjorkan kaki.

“Karena terkadang yang salah bukan siapa yang berbuat, tapi siapa yang tak punya kuasa untuk membela diri.”

Said menunduk, menatap lantai. “Sayang sekali. Aku dan beberapa ikhwan lain tahu siapa yang sebenarnya terlibat, tapi… mereka tetap tidak percaya. Kang Amru juga sudah berusaha menghubungi Eja, tapi katanya dia enggak mau terlibat lagi.”

Amru adalah seorang senior yang ditunjuk sebagai kepala kamar yang ditempati Zaryn. Sementara itu Eja adalah santri baru yang diduga menjadi korban dalam kasus pembulian yang menyeret nama Zaryn.

“Mungkin Eja takut masalahnya bakalan makin rumit,”

“Sampean enggak merasa ini tidak adil?”

“Mau bagaimana lagi? Lagi pula saya sudah didaftarkan ke sekolah yang baru sama Ibu.”

Said berdiri, menepuk bahu Zaryn dengan lembut. “Semoga Allah mudahkan jalan antum, akhi."

Zaryn tersenyum tipis. “Jazakallah khairan, Said. Titip salam untuk yang lain, ya.”

Wa iyyaka. Insya Allah, jangan lupa kirim kabar kalau sudah sampai,” jawab Said sebelum melangkah keluar, meninggalkan Zaryn sendiri dalam keheningan kamar.

Waktu memiliki frekuensinya sendiri—kadang melambat, kadang melesat seperti Efek Doppler. Mungkin karena itulah, saat orang-orang mulai menjauh darinya, Zaryn hanya diam seperti bagaimana bunyi sirene terdengar berbeda saat mobil ambulans mendekat, lalu berubah ketika menjauh. Begitu juga dengan sikap teman-temannya. Saat mereka dekat, semuanya terdengar hangat dan akrab. Tapi saat mereka mulai menjauh karena rumor itu, nada bicara, tatapan, bahkan atmosfer diantara dirinya dan mereka berubah.

Zaryn tumbuh dalam keluarga yang tak banyak bicara soal dunia, tapi selalu punya waktu untuk duduk bersama selepas Magrib, membaca Qur’an bergantian, atau sekadar bertukar cerita sambil menyesap teh panas buatan Ibu. Di rumahnya, nilai tidak pernah diukur dengan angka di rapor, tetapi dari seberapa sering seseorang mengingat Allah dalam diam. Mereka percaya, ketika bekal agama sudah dicapai, hal-hal keduniawian akan mengikuti.

 Ayah dan ibunya percaya bahwa pendidikan terbaik bukan tentang mengejar peringkat, melainkan menanamkan nilai agama dan akhlak. Karena alasan inilah setelah lulus sekolah dasar, Zaryn dimasukkan ke sebuah sekolah terkemuka yang terafiliasi dengan pondok pesantren, tempat ayahnya dulu pernah mengabdi sebagai guru tahfidz.

Awalnya semua berjalan seperti seharusnya, hingga Zaryn menjadi santri di SMAIT Ihsanul Fikri, sekolah berbasis pesantren di pinggiran Jakarta yang terkenal dengan reputasi akademik dan program tahfidznya. Meski tak ingin menonjolkan diri, prestasinya nyata terutama dalam mata pelajaran Fisika yang menjadi favoritnya. Zaryn menyukai bagaimana rumus bisa menjelaskan gravitasi, momentum, dan gelombang.

Lewat angka-angka itulah dunia terasa lebih masuk akal. Ia juga pernah membawa nama sekolah menjuarai lomba esai tingkat nasional bertema “Etika sains dalam islam”, dan baru-baru ini memenangkan kompetisi debat Bahasa Arab tingkat provinsi. Namun semua itu lenyap saat kabar burung itu datang—rumor tentang perundungan yang menempatkan namanya sebagai pelaku.

Zaryn tahu itu fitnah. Beberapa temannya tahu juga. Saat itu dirinya hanya berusaha menolong Eja, namun siapa sangka niat baiknya berbuah pahit. Suara kesaksian tentang kejadian hari itu tenggelam di balik tangan berpengaruh. Pelaku sebenarnya adalah anak dari salah satu donatur besar yayasan. Dan yayasan, seperti ‘beberapa' institusi lain, lebih suka menjaga stabilitas donasi daripada memperjuangkan keadilan seorang siswa.

Tatapan guru berubah. Teman sekamar mulai menjaga jarak. Bahkan saat Zaryn dan orang tuanya meminta klarifikasi, pihak yayasan hanya memberi jawaban klise:

“Kami akan menyelidiki.”

Tapi penyelidikan itu tak pernah dilakukan secara benar dan adil. Tidak ada mediasi. Tidak ada ruang untuk menjelaskan. Seolah semua pencapaian Zaryn selama di sana menguap begitu saja.

Akhirnya, setelah banyak diskusi dan melihat tidak ada lagi harapan untuk menitipkan anak semata wayang mereka di tempat yang seperti itu—Ayah dan Ibu Zaryn mengambil keputusan untuk memindahkan Zaryn ke Madrasah Aliyah Negeri Satu atau MANSA yang ada di kabupaten—kampung halaman Ayahnya berada.

Menjelang sore hari, seorang Asatidz datang ke kamar Zaryn mengabarkan bahwa Ayah dan Ibunya sudah menunggu di paviliun pesantren. Setelah berpamitan dengan beberapa teman sekamarnya yang masih ada di dalam asrama, Zaryn melangkah keluar bersama pengurus tersebut menuju paviliun.

“Sudah siap?” tanya Ayahnya sambil merangkul erat bahu Zaryn.

Zaryn mengangguk dengan senyum kecil yang di paksakan.

Tidak banyak hal yang perlu dibicarakan selama proses pamit atau sowan ke pengurus pondok. Begitu pun ke pihak sekolah. Semuanya dilakukan hanya untuk formalitas dan menjaga kesopanan. Selesai menaikkan barang bawaan ke dalam bagasi mobil, Ibu memeluk erat Zaryn dengan sedikit isakan tangis.

***

Dua minggu kemudian, Zaryn duduk di bangku belakang mobil, mengenakan kaos polo hitam yang dilapisi kemeja putih bersih dan celana kain hitam panjang. Ia menatap ke luar jendela, memandangi deretan sawah dan kebun jati yang terhampar luas di sepanjang jalan. Ranting pohon jati yang menguning bergoyang ditiup angin, daunnya berjatuhan seperti pemandangan musim semi. Sementara itu langit terlihat sedikit mendung. Dalam diam, ia menarik napas panjang.

Pikirannya melayang ke masa-masa di pesantren. Ia teringat kamar asrama yang sudah ditempati olehnya selama hampir empat tahun. Walaupun sedikit sempit, namun terdapat banyak kehangatan disana. Suara bel sepuluh menit sebelum waktu salat dan jadwal padat yang tak pernah benar-benar memberi ruang bernapas. Tapi di sela-sela rutinitas itu, ada tawa teman-teman sekamar saat bergantian antri mandi subuh, obrolan ringan sambil mencuci baju di kolam, dan diam-diam membaca buku komik di balik kitab.

Wajah-wajah yang dulu akrab kini terasa jauh—terutama mereka yang memilih diam saat rumor itu mulai menyebar. Zaryn masih ingat betul bagaimana tatapan mereka berubah; dari yang awalnya ramah berubah menjadi ragu, dari percaya menjadi curiga.

Dan yang paling membekas, suara lantang seorang ustaz yang berkata, “Daripada sibuk membela diri, lebih baik kamu melakukan introspeksi. Kami tidak ingin membuat gaduh hanya karena masalah sepele yang belum tentu benar.”

Zaryn menunduk, menatap ujung celananya yang sedikit kusut. Ia tidak menyangka bahwa kebaikan yang pernah ia bangun bisa runtuh hanya karena cerita yang tak pernah ia ucapkan sendiri. Mobil terus melaju, dan deretan sawah pun perlahan tergantikan oleh rumah-rumah penduduk.

Mobil akhirnya berbelok ke jalanan beraspal kasar, melewati deretan rumah-rumah warga yang terpisah oleh beberapa kebun kecil. Beberapa anak kecil bermain layangan di sekitar tepi jalan, sementara ibu-ibu duduk di beranda sambil menampi gabah. Zaryn menegakkan punggungnya ketika mobil melambat, lalu berhenti di depan sebuah rumah berwarna krem pucat dengan genteng merah berlumut.

Rumah itu tak terlalu besar, tapi tampak kokoh. Dindingnya dari tembok semen biasa, halamannya luas, dikelilingi pagar tanaman perdu. Di sisi kanan halaman, tampak hamparan padi dijemur di atas terpal biru, terhampar seperti taburan wijen pada adonan kue. Bau khas gabah kering langsung menyambut saat pintu mobil dibuka.

“Sudah sampai,” kata Ayah sambil mematikan msin mobil. 

Ketika Zaryn turun dari mobil, suara langkah kakinya langsung disambut daun-daun kering yang berserakan di tanah. Udara sore terasa hangat dan berembus pelan membawa aroma apek dari debu halus padi yang di tampih.

Di sisi kanan halaman, tampak sosok lelaki tua berkulit legam dan bertubuh kurus, sedikit bungkuk berdiri di tengah hamparan jemuran padi. Ia bertelanjang dada, hanya mengenakan celana panjang lusuh dan topi caping lebar yang menutupi sebagian wajahnya. Di tangannya tergenggam sebuah garukan bambu panjang yang ia gunakan untuk membalik jemuran padi di atas terpal biru. Gerakannya lambat namun pasti, seolah tubuhnya sudah terbiasa dengan irama kerja petani. Setiap gerakan menghasilkan suara gesek-gesek halus dari gabah yang kering terkena matahari.

“Eh, wis teko koe,” ujarnya dengan suara serak kemudian meninggalkan aktivitasnya untuk menyambut keluarga anak bungsunya.

Tak jauh dari sana, di teras rumah, seorang perempuan tua duduk bersila di atas tikar pandan. Rambutnya yang sebagian besar telah memutih disanggul rapi ke belakang, dan bibirnya kemerahan oleh sirih pinang yang ia kunyah pelan. Di pangkuannya ada tampah bambu berisi potongan singkong mentah yang sedang ia kupas satu per satu dengan pisau kecil. Di sebelahnya, sebuah cobek tanah liat dan sepiring sambal terlihat seperti sisa makan siang yang belum dibereskan.

Begitu melihat mobil berhenti dan Zaryn turun, nenek itu tersenyum lebar, memperlihatkan gigi yang mulai tanggal dan sebagian berwarna kemerahan karena kunyahan pinang.

“Alhamdulillah sudah sampai cucuku,” katanya sambil mencoba bangkit berdiri dengan susah payah, menopang tubuhnya pada lutut dan menyeka tangannya pada kain batik yang membalut tubuh bawahnya.

Zaryn mendekat, menyalami keduanya bergantian. Kakek menyambut dengan jabat tangan, sementara nenek langsung memeluknya erat.

“Capek perjalanan, Le?” tanya sang nenek, sambil menepuk-nepuk pelan punggung cucunya.

“Ndak, Nek. Alhamdulillah lancar,” jawab Zaryn pelan.

“Masuk dulu sana, nanti mandi, terus makan. Tadi simbok masak sayur asem, lauknya ikan panggang pecak kesukaanmu."

***

Catatan :

1. Afwan : maaf

2.Antum : kamu

3. Akhi : saudara laki-laki

4.Jazakallah Khairan : Semoga Allah membalas kebaikanmu (diucapkan oleh laki-laki)

5. Wa iyyaka : jawaban dari Jazakallah khairan

6. Asatidz : Guru atau pengurus pesantren laki-laki.

 

 

 

 

 

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Katamu
3059      1163     40     
Romance
Cerita bermula dari seorang cewek Jakarta bernama Fulangi Janya yang begitu ceroboh sehingga sering kali melukai dirinya sendiri tanpa sengaja, sering menumpahkan minuman, sering terjatuh, sering terluka karena kecerobohannya sendiri. Saat itu, tahun 2016 Fulangi Janya secara tidak sengaja menubruk seorang cowok jangkung ketika berada di sebuah restoran di Jakarta sebelum dirinya mengambil beasis...
Kelana
745      541     0     
Romance
Hidup adalah perjalanan tanpa peta yang pasti, di mana setiap langkah membawa kita menuju tujuan yang tak terduga. Novel ini tidak hanya menjadi cerita tentang perjalanan, tetapi juga pengingat bahwa terbang menuju sesuatu yang kita yakini membutuhkan keberanian dengan meninggalkan zona nyaman, menerima ketidaksempurnaan, dan merangkul kebebasan untuk menjadi diri sendiri. Selam...
After School
3316      1362     0     
Romance
Janelendra (Janel) bukanlah cowok populer di zaman SMA, dulu, di era 90an. Dia hanya cowok medioker yang bergabung dengan geng populer di sekolah. Soal urusan cinta pun dia bukan ahlinya. Dia sulit sekali mengungkapkan cinta pada cewek yang dia suka. Lalu momen jatuh cinta yang mengubah hidup itu tiba. Di hari pertama sekolah, di tahun ajaran baru 1996/1997, Janel berkenalan dengan Lovi, sang...
Langit Tak Selalu Biru
81      68     4     
Inspirational
Biru dan Senja adalah kembar identik yang tidak bisa dibedakan, hanya keluarga yang tahu kalau Biru memiliki tanda lahir seperti awan berwarna kecoklatan di pipi kanannya, sedangkan Senja hanya memiliki tahi lalat kecil di pipi dekat hidung. Suatu ketika Senja meminta Biru untuk menutupi tanda lahirnya dan bertukar posisi menjadi dirinya. Biru tidak tahu kalau permintaan Senja adalah permintaan...
Harapan Gadis Lavender
3051      1331     6     
Romance
Lita Bora Winfield, gadis cantik dan ceria, penyuka aroma lavender jatuh cinta pada pandangan pertama ke Reno Mahameru, seorang pemuda berwibawa dan memiliki aura kepemimpinan yang kuat. Lita mencoba mengungkapkan perasaannya pada Reno, namun dia dihantui oleh rasa takut ditolak. Rasa takut itu membuat Lita terus-menerus menunda untuk mengungkapkan perasaa...
Broken Home
32      30     0     
True Story
Semuanya kacau sesudah perceraian orang tua. Tak ada cinta, kepedulian dan kasih sayang. Mampukah Fiona, Agnes dan Yohan mejalan hidup tanpa sesosok orang tua?
Beach love story telling
3033      1485     5     
Romance
"Kau harus tau hatiku sama seperti batu karang. Tak peduli seberapa keras ombak menerjang batu karang, ia tetap berdiri kokoh. Aku tidak akan pernah mencintaimu. Aku akan tetap pada prinsipku." -............ "Jika kau batu karang maka aku akan menjadi ombak. Tak peduli seberapa keras batu karang, ombak akan terus menerjang sampai batu karang terkikis. Aku yakin bisa melulu...
Asa
4762      1422     6     
Romance
"Tentang harapan, rasa nyaman, dan perpisahan." Saffa Keenan Aleyski, gadis yang tengah mencari kebahagiaannya sendiri, cinta pertama telah di hancurkan ayahnya sendiri. Di cerita inilah Saffa mencari cinta barunya, bertemu dengan seorang Adrian Yazid Alindra, lelaki paling sempurna dimatanya. Saffa dengan mudahnya menjatuhkan hatinya ke lubang tanpa dasar yang diciptakan oleh Adrian...
JEANI YOONA?
412      295     0     
Romance
Seorang pria bernama Nicholas Samada. Dia selalu menjadi korban bully teman-temannya di kampus. Ia memang memiliki tampang polos dan bloon. Jeani seorang perempuan yang terjebak di dalam nostalgia. Ia sangat merindukan seorang mantan kekasihnya yang tewas di bunuh. Ia susah move on dari mantan kekasihnya hingga ia selalu meminum sebuah obat penenang, karena sangat depresi. Nicholas tergabung d...
Cinta Pertama Bikin Dilema
5226      1434     3     
Romance
Bagaimana jadinya kalau cinta pertamamu adalah sahabatmu sendiri? Diperjuangkan atau ... diikhlaskan dengan kata "sahabatan" saja? Inilah yang dirasakan oleh Ravi. Ravi menyukai salah satu anggota K'DER yang sudah menjadi sahabatnya sejak SMP. Sepulangnya Ravi dari Yogyakarta, dia harus dihadapkan dengan situasi yang tidak mendukung sama sekali. Termasuk kenyataan tentang ayahnya. "Jangan ...