Loading...
Logo TinLit
Read Story - CTRL+Z : Menghapus Diri Sendiri
MENU
About Us  

Sen mengamati dengan tidak minat pemandangan di luar sana ketika mobil terus melaju, meninggalkan Surabaya. Malam ini, ia benar-benar akan pindah ke Kota Malang yang sebelumnya tempat itu biasanya akan menjadi bahan candaan mama dan papanya saat mereka ingin menghabiskan masa tua di sana.

Masa itu, Sen sangat rindukan. Tiga tahun setelah mamanya meninggal karena kanker payudara, masih menyimpan bekas luka. Belum lagi, saat papanya malah menikah lagi, lima bulan yang lalu. 

Sen, semakin membenci sosok papanya.

"Sen, kamu akan tinggal bareng sama Mbak Nayara. Mbak Nayara adik papamu. Rumahnya juga tidak terlalu jauh dari sekolah baru kamu nanti. Setelah diskusi dengan pihak sekolah, kamu sudah mulai bisa masuk sekolah besok," jelas Shinta yang berada dijok paling depan, di samping supir yang melajukan mobil di jalan tol.

Sen sama sekali tidak tertarik setiap apa yang Shinta katakan. Ia selalu menganggap, perkataan Shinta terasa begitu omong kosong.

Namun setidaknya, ia bisa jauh dari bayang-bayang papanya. Tempat dan sekolah baru, seperti akan banyak cerita yang Sen temukan. Sen harap akan seperti itu.

Hingga tidak terasa, mereka sudah tiba di tujuan mereka. Sebuah rumah minimalis lantai dua dengan balkon depan berwarna orange. 

Sen masih mengamatinya dari jendela mobil, sebelum ia mendengar suara pintu mobil diketuk beberapa kali oleh Shinta, membuat Sen sedikit tersentak.

"Ayo keluar, boy. Itu Mbak Nayara juga ada di luar sudah nunggu kamu," ucap Shinta yang hanya mendapatkan tatapan dingin oleh Sen yang kemudian pintu itu terbuka.

Sen keluar dari sana dan ia bisa melihat sosok wanita berambut panjang yang menatapnya dengan senyum lebar. Perlahan, wanita itu mendekat.

"Wah, keponakan Mbak sudah besar. Kamu udah lama nggak main ke Malang lagi," ucap Nayara yang langsung mendapat helaan napas dari Sen.

"Terakhir sama Mama. Itu juga karena Mama paksa Abang Mbak buat ambil cuti karena Abang Mbak itu gila kerja," kata Sen dengan spontan yang membuat Nayara tertawa kecil.

Ia mengangguk. "Mbak ingat itu dan Mbak senang banget kamu bisa tinggal temenin Mbak yang sendirian di rumah ini," ucap Nayara dengan santai.

Baru Sen ingin membalas, Shinta langsung memegang pundak Sen yang membuat Sen mengambil jarak begitu saja. Sen bisa melihat raut wajah terkejut Shinta ataupun Nayara, tapi Sen tidak peduli.

Shinta pun terlihat kembali menciptakan senyum di wajahnya. "Mbak, aku titip Sen ya. Mas Aksa belum bisa ke sini. Tapi ini cuma sementara. Aku juga bakalan bujuk Mas Aksa agar Sen bisa kembali ke Surabaya," ucap Shinta entah kenapa, membuat Sen begitu muak

Demi apapun, Sen benci dengan raut wajah Shinta yang menurutnya sangat palsu, sok suci dan perhatian padanya. Terlebih, apa lagi yang tadi ia katakan? Mencoba membujuk papanya? Apa itu bisa dipercaya. Sen malah berpikir, Shinta akan semakin mendorong papanya untuk berpikiran buruk tentang dirinya dan membencinya.

Sen yakin dengan apa yang ia pikirkan!

"Hati-hati ya, Mbak. Aku titip salam ke Abangku juga. Tenang aja, Sen bakalan baik-baik aja di sini," ucap Nayara sembari mengusap pundak Sen.

Sen hanya diam tapi kemudian menoleh ke arah Nayara. "Mbak, aku masuk duluan ke rumah Mbak, boleh?" Pertanyaan itu, membuat Nayara tersenyum sembari mengangguk.

"Tentu saja boleh. Rumah Mbak, rumah kamu juga. Apalagi, Mbak juga nggak punya anak dan bagi Mbak, cuma kamu anak Mbak," ucapnya yang tanpa basa-basi langsung diangguki oleh Sen. 

Bahkan, Sen langsung melenggang begitu saja. Tanpa ia berpamitan atau menoleh ke arah Shinta sebentar saja. Menurut Sen, itu hanya membuang-buang waktunya.

Alhasil, ia langsung memasuki rumah Mbaknya dan meninggalkan dua wanita itu yang entah kemungkinan melanjutkan obrolan, ikut masuk bersama atau bagi Sen, Shinta yang tidak tahu malu meninggalkan tempat.

Intinya, Sen ingin istirahat. Karena belum tahu letak kamarnya, ia memilih istirahat di sofa ruang tamu. Perlahan, matanya terpejam beberapa saat dan entah kenapa, ia merasakan kedamaian.

Dalam tidurnya, Sen merasakan kehangatan mamanya. Terlebih ketika dirinya terluka dan kesakitan, mamanya malah akan menangis dan mengobati lukanya. Bahkan, pelukan mamanya adalah obat yang paling manjur dan Sen rindukan.

"Mama, Sen kangen ...."

"Mama ...."

"Sen, ayo bangun. Mbak obati lukamu dulu, abis itu kamu bisa lanjut istirahat. Mbak udah siapin kamar kamu." Sebuah suara yang membuat Sen perlahan tersadar.

Ketika ia berputar pada kenangan bersama mamanya, ia harus kembali pada kenyataan bahwasanya itu hanyalah sebuah kenangan yang tidak bisa lagi ia rasakan. Karena kenangan itu, membuatnya begitu merindukan kasih sayang mamanya.

Perlahan, Sen membuka mata dan mendapati sosok mbaknya yang tengah duduk di samping yang tertidur dengan posisi duduk. Seketika, Sen memperbaiki posisinya yang terasa agak pegal.

"Maaf, Mbak. Aku--"

"Mbak tahu, kamu pasti capek. Tapi mbak obati lukamu dulu ya. Abis itu kamu ganti baju terus tidur. Besok kamu udah masuk sekolah. Mbak udah siapin kebutuhan kamu di kamar itu," ucap Nayara sembari membuka kotak P3K yang sudah dipegangnya lalu menunjuk sebuah kamar yang memang ada di lantai bawah.

Bahkan, Nayara langsung membersihkan luka Sen yang hanya diam saja tanpa membalas perkataannya. Sen yang mendapati perlakuan itu, dibuat tersentak karena luka yang diobati memang terasa sedikit perih.

"Mbak, sakit ...."

Nayara hanya tersenyum. "Mbak minta maaf, ya. Lagian, kamu juga nggak balas pertanyaan Mbak. Coba, apa yang kamu pikirkan sekarang? Dia juga udah balik dari tadi," balas Nayara yang bisa Sen pahami, kata dia adalah Shinta.

Sen hanya menghembuskan napas kasar. "Lagian, kenapa Papa harus nikah lagi sama dia? Papa juga jarang di rumah dan sibuk kerja. Papa ... Papa banyak berubah setelah menikah dengan dia," kata Sen yang kali ini, merasa tidak peduli atas kesakitan akibat luka itu, luka yang beberapanya diciptakan oleh papanya sendiri.

Nayara sontak menghentikan kegiatannya itu dan menatap keponakannya dengan lekat. "Kamu juga berubah. Kamu bukan Sen yang Mbak kenali."

"Sen yang Mbak kenali sudah lama hilang. Bahkan, sudah lama tenggelam dan rasanya melupakan jalannya pulang," kata Sen yang kemudian bangkit dari duduknya. Ia meraih koper dan ranselnya, meninggalkan Nayara yang membeku melihat kepergian keponakannya ke kamar.

***

Sen sama sekali tidak ada minat untuk hidup, apalagi bersekolah. Ketika ia merasa akan hidup tenang di sini, nyatanya menghadapi Mbaknya adalah sebuah ujian. Sen memang ingat jika ia akan masuk ke sekolah dan berkas kepindahan dan kelengkapan lainnya akan menyusul karena koneksi papanya. Akan tetapi, ia tidak menyangka saja jika Mbaknya begitu antusias.

Terbukti ketika ia sudah rapi menggunakan seragam putih SMA Nirwana Utama yang entah bagaimana caranya, Nayara memilikinya.

"Memang aneh, tapi jangan terlalu memikirkan semuanya. Kamu hanya perlu bersekolah dan buktikan pada papamu jika kamu itu tidak seperti yang dia pikirkan. Mbak percaya sama kamu," ucap Nayara pada Sen sambil mengedipkan satu matanya lalu tertawa.

Sen yang tengah menikmati sarapan sereal yang Nayara sajikan memilih mengangguk. Tapi Sen tidak mengatakan apapun. Walau sebenarnya ia ingin bertanya, apa papanya menanyai tentang dirinya? Hanya saja, bibirnya begitu kelu untuk mengatakan itu.

Hal yang ia lakukan bahkan bangkit dari duduknya dan bersiap untuk ke sekolah. "Mbak, aku berangkat sekarang ya--"

"Mbak antar ya."

Sen menggelengkan kepala. "Aku mau berangkat sendiri. Aku sudah cari tahu, sekolah itu nggak jauh dari sini."

Nayara yang mendengarnya menghela napas pelan. "Iya, cuma lima menit seingat Mbak. Terus itu, di sana seingat Mbak ada sepupumu juga, Galih. Dia bisa bantu kamu. Mbak juga sudah kasih tahu Galih kalau kamu pindah ke sana," ucapnya yang hanya dibalas deheman.

Sen bahkan langsung meninggalkan rumah tanpa menoleh sedikit pun. Ia merasa, setiap tatapan penuh perhatian dari Nayara hanya akan menjadi beban baru. Hatinya sedang tidak baik, pikirannya kusut dan tubuhnya masih terasa sakit, terutama bagian wajah yang memar akibat ulah papanya sendiri.

Ia melangkah di trotoar kecil menuju sekolah barunya, menyusuri jalanan perumahan yang cukup tenang sambil menaruh headphone di telinganya. Musik mengalun, menjadi pelarian paling ampuh dari segala kekacauan yang bersarang dalam kepalanya. Semilir angin pagi yang sejuk tidak mampu menenangkan hatinya. Sen menarik jaketnya lebih rapat, menutupi sebagian seragam barunya.

Lima menit kemudian, mata Sen menangkap bangunan megah yang mulai tampak dari kejauhan. Sekolah itu berdiri gagah di perbatasan utara Kota Malang, SMA Nirwana Utama. Sebuah sekolah yang cukup bergengsi dan dikenal dengan fasilitas lengkap serta murid-muridnya yang berasal dari keluarga terpandang. Bangunannya didominasi warna putih dan abu dengan aksen kaca-kaca besar yang mencerminkan langit pagi.

Gerbang utamanya menjulang tinggi, terbuat dari besi dengan ukiran logo sekolah yang tampak elegan. Di atasnya, terpampang tulisan besar berwarna emas:

'SMA NIRWANA UTAMA'
Menjadi Bintang dalam Prestasi dan Pribadi.

Sen berdiri di depan gerbang itu, menatapnya tanpa ekspresi. Ia melepas headphone, menurunkannya ke pundak. Musiknya masih menyala, tapi telinganya kini mendengar suara dunia nyata—suara tawa, langkah kaki, obrolan murid-murid lain yang mulai berdatangan.

Seragam mereka sama. Atasan putih bersih, dan bawahan—yang untuk laki-laki adalah celana panjang motif kotak-kotak orange kuning. Sen menatap celana itu dengan tatapan malas. Ini konyol, pikirnya.

Baru saja ia hendak melangkah masuk, tiga murid laki-laki muncul di sisi gerbang. Yang di tengah menatap Sen tajam, seolah hendak menilai dan menantang kehadirannya. Sen menghentikan langkah, mata mereka bertemu. Tapi hanya beberapa detik sebelum ekspresi menantang itu berubah menjadi senyum lebar.

“Wah, selamat datang di SMA Nirwana Utama, sepupu,” ujar murid itu santai, suaranya sedikit nyaring agar terdengar jelas.

Galih Adikara.

Sen mengenalnya. Wajah yang sering ia lihat di foto-foto lama waktu keluarganya masih lengkap. Tapi bagi Sen, saat ini semua wajah itu tak ada maknanya.

Tanpa membalas sapaan Galih, Sen kembali melangkah. Tidak memedulikan tatapan si sepupu atau dua temannya yang ikut memperhatikan. Ia berjalan menembus gerbang, melewati mereka seperti angin lalu, dingin dan acuh.

"Kamu bisa bertanya dan meminta bantuanku kalau kamu kesulitan, Nawasena Adikara," ucap Galih dengan senyum miring yang perlahan berjalan mendekat ke arah Sen yang terlihat tidak peduli.

"Sen ... Sen! Aku tahu, kamu pindah karena perilakumu yang berandal itu. Kamu hampir membuat anak orang tiada, kamu melawan papamu. Demi apapun, terkadang aku berpikir, apa karena perilakumu ini yang membuat mamamu tiada? Aku jadi kasihan." Galih melanjutkan perkataannya.

Karena itu, bahkan membuat Sen langsung menghentikan langkahnya yang berjalan hampir meninggalkan Galih di belakang. Perlahan, Sen menarik napas dan menghembuskannya. "Katakan sekali lagi. Aku ingin mendengarnya," ucap Sen yang yakin Galih bisa mendengarnya karena jarak mereka yang tidak jauh.

Sen yang masih diposisi membelakangi Galih bahkan bisa mendengar suara mereka tertawa, membuat kedua tangan Sen langsung mengepal kuat.

"Apa? Ah ... itu. Aku hanya bilang. Kamu bisa mencariku Sen jika di masa depan kamu kesulitan. Aku bisa lihat itu dan aku juga tahu, karena kesialanmu itu, kamu kehilangan semuanya. Termasuk, mamamu tidak ada karena kamu. Bukan, aku lupa! Mamamu kan penyakitan waktu itu," ucap Galih yang kemudian tertawa bersama dengan temannya. Seolah-olah perkataan yang mereka lontarkan sebuah candaan. 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
Kamu Tidak Harus Kuat Setiap Hari
2791      1533     0     
Inspirational
Judul ini bukan hanya sekadar kalimat, tapi pelukan hangat yang kamu butuhkan di hari-hari paling berat. "Kamu Tidak Harus Kuat Setiap Hari" adalah pengingat lembut bahwa menjadi manusia tidak berarti harus selalu tersenyum, selalu tegar, atau selalu punya jawaban atas segalanya. Ada hari-hari ketika kamu ingin diam saja di sudut kamar, menangis sebentar, atau sekadar mengeluh karena semua teras...
Let me be cruel
6447      3135     545     
Inspirational
Menjadi people pleaser itu melelahkan terutama saat kau adalah anak sulung. Terbiasa memendam, terbiasa mengalah, dan terlalu sering bilang iya meski hati sebenarnya ingin menolak. Lara Serina Pratama tahu rasanya. Dikenal sebagai anak baik, tapi tak pernah ditanya apakah ia bahagia menjalaninya. Semua sibuk menerima senyumnya, tak ada yang sadar kalau ia mulai kehilangan dirinya sendiri.
Bunga Hortensia
1691      136     0     
Mystery
Nathaniel adalah laki-laki penyendiri. Ia lebih suka aroma buku di perpustakaan ketimbang teman perempuan di sekolahnya. Tapi suatu waktu, ada gadis aneh masuk ke dalam lingkarannya yang tenang itu. Gadis yang sulit dikendalikan, memaksanya ini dan itu, maniak misteri dan teka-teki, yang menurut Nate itu tidak penting. Namun kemudian, ketika mereka sudah bisa menerima satu sama lain dan mulai m...
Tumbuh Layu
518      338     4     
Romance
Hidup tak selalu memberi apa yang kita pinta, tapi seringkali memberikan apa yang kita butuhkan untuk tumbuh. Ray telah pergi. Bukan karena cinta yang memudar, tapi karena beban yang harus ia pikul jauh lebih besar dari kebahagiaannya sendiri. Kiran berdiri di ambang kesendirian, namun tidak lagi sebagai gadis yang dulu takut gagal. Ia berdiri sebagai perempuan yang telah mengenal luka, namun ...
Wabi Sabi
212      156     2     
Fantasy
Seorang Asisten Dewi, shinigami, siluman rubah, dan kucing luar biasa—mereka terjebak dalam wabi sabi; batas dunia orang hidup dan mati. Sebuah batas yang mengajarkan jika keindahan tidak butuh kesempurnaan untuk tumbuh.
Perahu Jumpa
335      271     0     
Inspirational
Jevan hanya memiliki satu impian dalam hidupnya, yaitu membawa sang ayah kembali menghidupkan masa-masa bahagia dengan berlayar, memancing, dan berbahagia sambil menikmati angin laut yang menenangkan. Jevan bahkan tidak memikirkan apapun untuk hatinya sendiri karena baginya, ayahnya adalah yang penting. Sampai pada suatu hari, sebuah kabar dari kampung halaman mengacaukan segala upayanya. Kea...
FLOW : The life story
113      98     0     
Inspirational
Dalam riuh pikuknya dunia hiduplah seorang gadis bernama Sara. Seorang gadis yang berasal dari keluarga sederhana, pekerja keras dan mandiri, gadis yang memiliki ambisi untuk mencari tujuannya dalam berkehidupan. Namun, dalam perjalanan hidupnya Sara selalu mendapatkan tantangan, masalah dan tekanan yang membuatnya mempertanyakan "Apa itu kebahagiaan ?, di mana itu ketenangan ? dan seperti apa h...
Di Antara Luka dan Mimpi
936      511     68     
Inspirational
Aira tidak pernah mengira bahwa langkah kecilnya ke dalam dunia pondok akan membuka pintu menuju mimpi yang penuh luka dan luka yang menyimpan mimpi. Ia hanya ingin belajar menggapai mimpi dan tumbuh, namun di perjalanan mengejar mimpi itu ia di uji dengan rasa sakit yang perlahan merampas warna dari pandangannya dan menghapus sebagian ingatannya. Hari-harinya dilalui dengan tubuh yang lemah dan ...
Behind The Spotlight
3605      1788     621     
Inspirational
Meskipun memiliki suara indah warisan dari almarhum sang ayah, Alan tidak pernah berpikir untuk menjadi seorang penyanyi, apalagi center dalam sebuah pertunjukan. Drum adalah dunianya karena sejak kecil Alan dan drum tak terpisahkan. Dalam setiap hentak pun dentumannya, dia menumpahkan semua perasaan yang tak dapat disuarakan. Dilibatkan dalam sebuah penciptaan mahakarya tanpa terlihat jelas pun ...
Diary of Rana
247      205     1     
Fan Fiction
“Broken home isn’t broken kids.” Kalimat itulah yang akhirnya mengubah hidup Nara, seorang remaja SMA yang tumbuh di tengah kehancuran rumah tangga orang tuanya. Tiap malam, ia harus mendengar teriakan dan pecahan benda-benda di dalam rumah yang dulu terasa hangat. Tak ada tempat aman selain sebuah buku diary yang ia jadikan tempat untuk melarikan segala rasa: kecewa, takut, marah. Hidu...