Anak laki-laki dengan seragam putih terdapat bercak cairan berwarna merah dan terkoyak-koyak memperlihatkan keberingasannya pada anak laki-laki lainnya yang kini berada di bawahnya. Ia, Nawasena Adikara, papan nama yang terlihat di seragamnya terus memberikan tinju tidak ada henti, bahkan ketika musuhnya sudah tidak berdaya dengan penuh babak belur.
"Kamu adalah orang yang benar-benar ingin aku habiskan saat ini juga!"
"Sudah berapa kali aku peringatkan, kamu bisa menghinaku, tapi jangan menghina mamaku!" ucap Sen dengan kedua mata yang memancarkan kemarahan. Beriringan dengan tangan kanan yang mengakhiri satu tinju ke wajah laki-laki itu sekali lagi, membuat cairan berwarna merah kembali muncrat mengenai wajahnya.
Sen, perlahan mengamati sosok yang wajahnya bahkan sulit untuk dikenali. Akan tetapi, laki-laki itu belum tiada karena Sen sudah memprediksi, musuhnya harus tetap hidup dan menanggung rasa sakit seperti menuju kematian secara perlahan.
Melihat sosok yang ada dihadapannya, tidak menimbulkan emosi kesedihan, kesenangan ataupun rasa khawatir. Rasanya hampa dan Sen sendiri tidak bisa memahaminya. Ia seperti berada didasar jurang kegelapan yang perlahan, jurang itu menelannya.
Tubuhnya seperti terdorong secara perlahan, seperti ia ingin terjun bebas. Seakan dunia yang sebenarnya ada di dalam sana menyambutnya. Apakah memang seperti itu?
Mama ....
"Tangkap dia!"
Sen mengerjapkan mata detik itu juga. Suara itu, membuatnya sadar akan bayangan kehampaan yang sering ia rasakan. Seketika, Sen yang masih pada posisinya, duduk di tubuh laki-laki yang sudah terbujur kaku mengamati kedua tangannya yang terdapat bercak cairan merah dan goresan luka.
Mata Sen, sedikit membulat. "Aku ... hampir membunuhnya," ucap Sen yang kemudian dikejutkan dengan kedua tangannya yang diborgol oleh beberapa tim kepolisian yang ternyata sudah ada di sana.
"Atas dugaan pelanggaran hukum yang anda lakukan, anda ditangkap. Anda memiliki hak untuk diam. Apa pun yang anda katakan dapat dan akan digunakan sebagai barang bukti. Kami akan memborgol anda," ucap polisi yang tidak bisa Sen elak. Bahkan ketika secara paksa, ia meninggalkan tempat itu dengan tangan diborgol dan arahan paksa dari polisi.
Untuk kesekian kalinya, Sen berhadapan dengan pihak kepolisian. Hanya saja, ini yang menurutnya cukup parah. Terlebih, hanya ia sendirian di sana dengan posisi telah memberdayakan seseorang. Tentu saja, siapapun yang melihatnya akan berpikiran jika ialah pelakunya.
Sen tidak membantah dan menjawab berdasarkan fakta. Walau ia harus menghadapi kenyataan berada dibalik jeruji dan menunggu keputusan yang akan diberikan untuknya.
Namun, setidaknya. Di tempat dingin dan sunyi ini, Sen merasa sedikit lebih baik. Ia merasa tidak masalah berada di sini. Hanya saja, sosok itu bagi Sen sepertinya tidak senang akan apa yang Sen rasakan.
Terbukti ketika baru dirinya beberapa jam berada di sana, pihak yang katanya bertugas untuk memberikan pembelaan datang dengan membawa jaminan. Bahkan, berhasil membuat pihak kepolisian dan keluarga korban memilih jalan damai dengan jaminan yang telah disepakati.
Alhasil, Sen bebas begitu saja dari jeruji besi itu. Tapi, tidak ada yang ia katakan. Wajah yang terdapat beberapa luka seperti di ujung bibir dan sekitar hidungnya menatap kosong ke depan. Hingga ketika ia berada di bagian luar lapas, ia melihat sosok wanita karismatik dengan menggunakan setelan kemeja dan rok span berwarna merah maroon senada menatap Sen dengan bibirnya yang dipoles merah merona melebar.
Kakinya berbalut stiletto mendekat ke arah Sen. "Anak manis, bagaimana rasanya berada di balik sana? Apa tempat ini bisa membuatmu bisa berpikir lebih logis untuk tidak berbuat nekat ...." Wanita itu, Shinta Barbara hanya bisa menghela napas dengan senyum yang masih lebar melihat Sen yang memilih tidak peduli dan berjalan lebih dulu menuju mobil.
Sen tidak peduli dengan apapun yang dikatakan dan dilakukan wanita yang sudah dinikahi papanya dua tahun yang lalu. Wanita itu, bagi Sen hanyalah wanita yang menginginkan seluruh harta papanya setelah tiada nanti.
"Sen, Papamu masih berada di kantor. Tapi, Papamu berpesan agar kamu tetap di rumah hari ini. Sampai Papamu datang dan ingin mengajakmu berbicara penting," ucap Shinta di belakang sana dengan suara agak berteriak, tapi nyatanya berhasil membuat Sen menghentikan langkahnya.
Terlepas dari semua yang ia lakukan untuk bertahap hidup, mendengar perkataan ibu tirinya itu, membuat Sen berpikir hidupnya akan berakhir saat itu juga.
Ma, apa aku akan benar-benar menemuimu dalam waktu dekat ini?
***
Sen berdiri dengan kepala tertunduk saat seorang pria yang mulai memasuki umur setengah abad melemparinya berkas. Tatapan Sen kosong, tapi ia bisa merasakan aura kemarahan dan kekesalan dari sosok papanya itu, Aksa Adikara.
"Lihat perbuatanmu! Kamu dikeluarkan dari sekolah! Secara tidak terhormat! Kamu pikir kamu siapa bisa berbuat semaumu?" ucap Aksa yang terlihat menahan kemarahannya ketika terdapat Shinta yang berusaha menenangkan suaminya.
"Tenangkan dirimu. Jangan sampai kamu berbuat di luar batas pada anakmu sendiri--"
"Shinta, kali ini, kamu jangan terus berpihak padanya. Anak tidak tahu diuntung ini bahkan—"
"Aku tahu kamu ingin terlihat seperti Mama yang baik di depan Papa, tapi tolong berhentilah. Jangan sok peduli padaku, karena aku tahu sebenarnya kamu hanya berpura-pura. Kamu adalah ular berbisa yang menunggu waktu untuk menghancurkan kami semua!" potong Sen lantang dengan tatapan tajam menusuk ke arah wanita yang berdiri tak jauh dari mereka.
"Sen!" suara Aksa meninggi, tapi Sen terlihat tidak ingin berhenti.
"Aku tidak akan diam, Pa! Dari dulu aku diam, dan lihat hasilnya! Semua orang sok suci, termasuk orang yang selalu kusebut Papa!"
Namun, perkataan Sen membuatnya mendapatkan tamparan keras begitu cepat dipipinya, menghentikan napas Sen beberapa saat. Kepalanya terhempas ke samping, dan luka di sudut bibirnya kembali terbuka, meneteskan cairan segar. Pipi kirinya memerah dengan jelas. Namun mata Sen, merah bukan karena air mata melainkan karena kemarahan yang mendidih dan kepedihan yang terus mengendap.
"Dasar anak kurang ajar!" Aksa meraung, meraih kerah baju Sen dan menariknya ke depan. Pukulan kedua mendarat di rahang Sen, membuat tubuh remaja itu terhuyung. Ia mencoba bertahan, tapi tenaganya kalah jauh.
"Papa …," bisik Sen pelan, bukan sebagai permohonan, tapi sebagai konfirmasi. Sosok yang dulu ia panggil dengan penuh hormat itu, kini benar-benar menunjukkan siapa dirinya. Bukan pahlawan ataupun pelindung. Melainkan, iblis dalam balutan jas terhormat.
"Saya menyesal punya anak seperti kamu! Saya sangat menyesal!" bentak Aksa, lalu mendorong tubuh Sen begitu saja hingga ia terhempas ke lantai marmer yang dingin dan keras.
"Aksa, tolong … cukup! Jangan begini, tolong hentikan!" Suara Shinta terdengar sangat panik. Perlahan ia mencoba mendekat. Tapi Aksa hanya melotot ke arahnya dan mengangkat tangan, membuat Shinta mundur ketakutan.
Aksa kemudian berbalik dan menatap Shinta yang berdiri membeku melihat kondisi Sen. Walaupun Shinta adalah mama tiri Sen, sebelum Shinta bekerja sebagai sekretaris dan tangan kanan Aksa selama ini.
"Shinta, siapkan berkas kepindahannya. Malam ini juga. Anak tidak tahu diri ini harus keluar dari rumah ini. Saya tak mau melihat wajahnya lagi."
Sen tetap tergeletak di lantai, sudut bibirnya tak berhenti mengeluarkan cairan, napasnya berat, tapi tatapannya tidak padam. Di balik luka, ada kobaran bara yang menyala. Ia tidak akan hancur di tempat ini.
Akan tetapi, kesadaran benar-benar direnggut detik itu juga. Bahkan jika bisa, ia berharap Tuhan mengabulkan doanya untuk bisa menemui mamanya.