Sen tidak bisa mengendalikan dirinya. Seakan seluruh tubuhnya digerakkan begitu saja dan tanpa ia sadari, menciptakan masalah baru untuk dirinya. Namun, tidak ada rasa penyesalan di wajah Sen ketika satu persatu tinju ia layangkan pada Galih.
Dalam titik terdalam Sen, Galih pantas mendapatkannya. Bahkan, Galih pantas tiada karena berani mengatakan hal buruk soal mamanya.
"Ini ganjaran dari setiap perkataan yang kamu lontarkan, sepupu," ucap Sen dengan dingin. Ia tidak peduli lagi ketika cairan merah mulai tampak ketika ia tengah menduduki tubuh Galih.
"Apa kamu sudah gila!" Suara itu terdengar dari belakang, bahkan beberapa berusaha menahan pergerakan Sen. Namun, Sen memberontak dan membuat orang sekitarnya takut.
"Cepat panggil siapapun itu! Miss, Mr atau Pak Satpam! Dia bisa tiada jika terus seperti ini!" Suara itu kembali terdengar.
Namun, Sen tidak peduli. Ia tidak ingin melepaskan Galih. Sorot matanya yang penuh amarah, terus terpusat pada Galih yang sudah tidak sadarkan diri. Ia bisa melihat musuhnya lemah, tapi Sen masih tidak ingin membiarkan Galih begitu saja.
Tangannya yang mengepal kuat, masih ingin memberikan pukulan yang bertubi-tubi pada Galih, namun seseorang menahan tangannya dan menariknya untuk menjauh dari Galih yang sudah terkapar.
Sen menatap sekilas seorang wanita yang bisa ia pastikan itu adalah salah satu guru, tapi tidak membuatnya gentar. Ia ingin kembali menghajar Galih.
"Galih pantas untuk mendapatkannya!"
Akan tetapi, langkah Sen dihentikan oleh wanita itu dengan tatapan dinginnya. "Jika kamu berani melangkah ke sana lagi, saya akan mengeluarkan kamu dari sekolah ini," ucapnya yang berhasil mengalihkan tatapan Sen yang sebelumnya terfokus pada Galih kini sepenuhnya pada wanita yang terlihat anggun dan mendominasi itu.
"Ta--tapi ... dia yang memulai semuanya--"
"Murid baru ini bohong Miss Serena! Teman kami, Galih hanya berkata jika dia kesulitan, dia bisa meminta bantuan pada kami. Jika tidak percaya, coba tanyakan pada semua orang yang melihat murid baru ini langsung menghajar Galih hingga tidak sadarkan diri," ucap salah satu di antara mereka yang membuat Sen mengepalkan kedua tangan.
Wanita yang bernama Miss Serena menatap Sen dan Galih secara berulang kemudian melihat murid lainnya yang mengangguk setuju akan perkataan itu. Sen bisa melihatnya dan hal itu sungguh membuatnya muak.
"Murid baru itu seperti preman!"
"Benar Miss, dia seperti tidak punya otak! Bagaimana bisa dia hampir membuat murid lain tiada?!"
"Jangan-jangan dia masuk ke sini hanya ingin membuat masalah!"
Berbagai suara mulai bersahutan, saling menyambar seperti badai di kepala Sen. Ia menatap tajam ke segala arah, sorot matanya menyala, dipenuhi amarah dan rasa muak yang membuncah. Ingin rasanya ia menghajar satu per satu dari mereka yang bicara tanpa tahu apa-apa. Ingin ia sumbat mulut-mulut yang hanya bisa mencaci, tapi tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.
Namun, sebelum ia bisa bergerak lebih jauh, tangan Miss Serena kembali menahan bahunya dengan tegas.
“Cukup, Nawasena Adikara!” Suara Miss Serena terdengar lantang, tak terbantahkan. “Sebelum kamu tambah membuat masalah, lebih baik kamu ikut saya sekarang juga!”
Sen hanya mendengus pelan, dadanya naik turun cepat menahan emosi. Sorot matanya masih menyiratkan amarah, namun ia tahu ini bukan saatnya untuk melawan wanita yang punya kuasa penuh atas nasibnya di sekolah itu. Ia tidak menjawab. Tidak satu kata pun keluar dari mulutnya. Ia hanya menunduk sebentar, lalu melangkah mengikuti Miss Serena yang mulai berjalan meninggalkannya.
“Pak Satpam, tolong bawa Galih ke UKS sekarang juga. Pastikan dia mendapatkan penanganan cepat,” ucap Miss Serena kepada petugas yang baru datang terburu-buru.
“Baik, Miss,” jawab Pak Satpam dengan sigap, segera mengangkat tubuh Galih yang lemas dan berlumuran darah, dibantu dua murid lain yang tampak masih syok.
Saat Sen melangkah melewati kerumunan, cemoohan dan bisikan tidak berhenti terdengar.
Telinga Sen menangkap semuanya, namun ia memilih diam. Kakinya terus melangkah, mengikuti Miss Serena yang tidak menoleh sedikit pun. Hanya sorot matanya yang perlahan mulai meredup, berganti dengan kehampaan.
Dada Sen terasa sesak, bukan karena takut, tapi karena kecewa. Hari pertamanya di sekolah baru seharusnya jadi awal yang baik, tapi justru berubah menjadi kekacauan yang bisa saja mengakhiri semuanya lebih cepat dari yang ia kira.
Sen bahkan tidak menduga ketika apa yang ia lakukan ternyata membawanya ke masalah yang semakin besar. Ia tidak tahu soal Miss Serena, tapi melihat nama dan jabatannya sebaga Kepala Pengawas Room Delete, membuat Sen tidak mengerti.
Namun, ia tidak mengeluarkan satu patah kata. Bahkan ketika Miss Serena menyuruhnya untuk duduk di sebuah kursi yang berhadapan dengan kursinya.
"Nawasena Adikara, ini hari pertamamu. Lantas, apa yang membuatmu berani membuat kekacauan di sekolah ini!" Perkataan Miss Serena begitu tegas dan seperti menusuk Sen.
Sen mengangkat wajahnya. Matanya menatap lurus ke arah Miss Serena, tanpa ragu, tanpa takut. Tatapan penuh harga diri yang selama ini ia jaga, meskipun dunia seperti ingin merobeknya hari itu.
“Aku tidak suka kalau mendiang mamaku dihina,” ucapnya datar namun dalam, seolah suara itu berasal dari luka yang tak kunjung sembuh.
Miss Serena mengamati remaja di hadapannya. Sebuah senyum tipis tersungging di wajahnya, entah karena simpati atau sekadar isyarat bahwa ia memahami.
“Saya bisa mengerti maksudmu, Sen,” ucapnya perlahan. “Tapi kamu tidak bisa berbuat seenaknya. Kekerasan bukan jalan keluar. Sebelumnya, apa kamu menyesal? Kamu bisa meminta maaf agar masalah ini selesai dan—”
“Aku sama sekali tidak menyesal.” Suara Sen memotong tegas, bahkan lebih keras dari sebelumnya. “Walau dia sepupuku dan dia tidak berhak mendapatkan kekerasan ini. Aku tidak akan meminta maaf karena Galih memang pantas mendapatkannya dan bahkan lebih dari itu semua.”
Mata Miss Serena menatap lekat, seolah ingin mencari sesuatu di dalam diri Sen. Suasana menjadi hening sejenak. Bahkan suara jarum jam di ruangan itu terasa lebih nyaring.
“Kamu sadar atas apa yang kamu katakan dan lakukan?” tanya Miss Serena, kali ini dengan nada serius.
Sen mengangguk pelan. “Aku sadar.”
Seolah waktu memilih momen yang tepat, terdengar ketukan di pintu.
“Masuk,” ujar Miss Serena tanpa mengalihkan pandangannya dari Sen.
Pintu pun terbuka perlahan dan seorang wanita muda dengan wajah cemas masuk ke dalam ruangan. Rambutnya digelung rapi, dan sorot matanya langsung tertuju pada Sen.
“Mbak Nayara?” Sen refleks bangkit dari kursi, terkejut, bahkan nyaris tidak percaya.
Nayara buru-buru menghampiri. “Sen," bisiknya, lalu beralih pada Miss Serena. “Saya minta maaf, Miss Serena. Atas nama keluarga kami, saya minta maaf atas perbuatan keponakan saya.”
Miss Serena hanya mengangguk tipis, lalu menunjuk kursi di samping Sen. “Silakan duduk, Bu Nayara.”
Setelah Nayara duduk, Miss Serena bersandar sejenak di kursinya. Raut wajahnya tampak lebih tenang, tapi tetap tegas.
“Masalah ini,” katanya perlahan, “sebenarnya sudah di luar kekuasaan saya.”
Sen dan Nayara sama-sama mengangkat wajah menatap Miss Serena bersamaan.
“Saya sudah bicara dengan Sen. Sayangnya, ia sama sekali tidak menunjukkan penyesalan. Ia juga menolak untuk meminta maaf,” lanjutnya. “Dan setelah melihat kondisi korban serta kesaksian para siswa, saya tidak bisa berbuat banyak. Keputusan akhir ada pada Kepala Sekolah dan Tim Dewan Sekolah.”
Nayara tampak tegang, tubuhnya menegang di kursi. “Tapi ... Miss, tolong, beri dia kesempatan. Dia masih baru dan—”
“Dan Nawasena Adikara,” potong Miss Serena dengan pelan tapi tajam, “termasuk dalam kategori siswa yang mungkin perlu dikirim ke Room Delete.”
Kata itu menghantam ruangan seperti petir yang jatuh di tengah senyap.
Sen mengerutkan alis. “Room Delete?”
Ia melirik Mbaknya yang tiba-tiba terdiam, matanya berkaca-kaca.
“Mbak?” panggil Sen lirih.
Namun, Nayara tak langsung menjawab. Ia hanya menunduk dalam-dalam, menggenggam tangannya erat di pangkuan. Sementara itu, Miss Serena kembali menatap Sen, kali ini dengan sorot mata yang lebih tajam namun tidak menghakimi.
***
Sen kini dihadapkan pada sebuah fakta yang juga mengejutkan SMA Nirwana Utama. Pasalnya, Sen adalah murid pertama yang baru menjadi murid tapi langsung memasuki area yang dijauhi semua orang.
Room Delete.
Nyatanya, keputusan Kepala Sekolah dan Tim Dewan Sekolah tidak main-main. Hal itu juga dilakukan karena tidak ada rasa bersalah dan penyesalan dari Sen. Bahkan, Sen seperti masih memiliki keinginan kembali memberikan pelajaran pada Galih yang bahkan kini berada di rumah sakit karena membutuhkan penanganan lebih.
Sen sama sekali tidak mengerti. Apapun yang mereka katakan tentang Room Delete setelah ia menjadi salah satu penghuni kelas tersebut yang katanya berada menjauh dari kelas pada umumnya.
Bahkan, ketika mereka semua berkata Sen masih beruntung karena tidak langsung dikeluarkan dari sekolah di hari pertamanya hingga ia kini memegang pin namanya.
N-21.
"Apa maksudnya?"