Mobil itu melaju menuju kota tempat makam Ayah. Suasana mobil nampak hening. Zindy memandang ke arah luar jendela mobil dengan tatapan kosong. Raganya ada di dalam mobil, namun pikirannya berkelana ke berbagai penjuru arah. Mencari jawaban dan bukti atas kejadian yang menimpanya.
“Apakah masih jauh?” Zean nampak lelah. Dia terus menempel di pelukan Ibu.
“Sebentar lagi. Sebentar lagi akan sampai ke tempat Oma dan Opa. Oma dan Opa juga rindu Zean dan Zindy.” Tante Bella berusaha menguatkan.
Mobil itu masuk ke sebuah rumah yang masih nampak hening. Orang-orang masih nampak lalu lalang di halaman rumah itu. Bendera kuning masih terpasang di beberapa sisi rumah itu.
“Bunda….” Panggil Tante Bella. Seorang wanita tua datang bersama seorang kakek renta di atas kursi roda. “Aku membawa pulang cucu dan istri Kak Zein….” Dia memeluk Oma Lily.
“Apa ini cucuku?” Tunjuk Opa Zacky dengan tangan gemetar.
“Iya, Ayah. Ini Zindy dan Zean. Anak Kakak Zein. Ini Kak Mirna, menantu Ayah.” Tante Bella mendekatkan kursi roda itu ke arah Zindy dan Zean.
“Kau mirip sekali dengan Zein waktu kecil.” Oma Lily menyentuh wajah Zean. “Maaf ya, Nak. Kau pasti sangat menderita.” Oma Lily menangis sambil memeluk Zean.
“Aku masih punya kakek dan nenek dari ayah?” Zean menangis pikiran dan hati kecilnya yang masih muda berusaha mencerna apa yang terjadi.
“Iya. Masih ada Oma dan Opa.” Zindy berusaha menjelaskan dengan bahasa paling sederhana.
“Kenapa Oma dan Opa tidak pernah menghubungiku?” Mata Zindy seolah rapuh. Air matanya ingin menetes. Jutaan tanya ada di dalam hatinya.
“Maaf, Nak…..” Oma Lily memeluk Zindy. “Maaf membuatmu kecewa. Ini permintaan Zein. Dia tak ingin kau tahu kondisinya. Ayahmu sakit parah. Setiap bulan harus rutin cuci darah. Aku sebagai ibu tidak tahu harus bagaimana selain menurut. Opa juga sudah sakit, Nak. Kuharap kau mau memaafkan kami ya….” Air mata itu tak terbendung. Rindu, jutaan tanya yang tertahan dalam angan serta rasa kecewa campur jadi satu.
“Jadi, ayah sudah dimakamkan?” Mulut mungil Zein berusaha memahami situasi itu. Langkah kecilnya mengikuti arahan Om Andre yang memimpin di depan. Nampak batu nisan di kiri kanan jalan setapak itu.
“Iya. Ini kita pergi ke rumah Ayah. Suatu saat Zean, Ibu dan Kakak juga akan di sini. Tapi waktunya kapan … hanya Tuhan yang tahu.” Ibu berusaha menguatkan diri. Dia tak ingin nampak rapuh. Meski ratapan tersembunyi dan hati yang pedih masih menyelimuti dirinya.
Ayah, kenapa secepat ini? Apa mimpiku itu ucapan perpisahan dari Ayah? Ayah, aku sudah membencimu selama ini. Apa aku bersalah. Aku tidak tahu jika Ayah sakit. Jika aku tahu pasti aku takkan marah, Ayah. Aku rindu. Ingin sekali saja memeluk Ayah.
Zindy berusaha menguatkan langkahnya. Tangan kanannya dengan erat memegang tangan kiri Ibu. Ketiganya melangkah dengan perlahan. Setiap langkah merupakan langkah berat. Jutaan tanya seolah terjawab, namun jawabannya membuat luluh lantak hati.
“Ini makam Kakakku Zein….” Ujar Tante Bella.
“AYAH!!!!” Teriak Zindy. Tangisnya pecah di atas makam yang masih basah itu. “AYAH!!” Panggilnua lagi. Meski puluhan kenangan buruk dia alami beberapa tahun ini, namun tak bisa ditampik. Zindy juga memiliki memori-memori indah masa kecil bersama Ayah. Memori saat Ayah masih sehat.
“Sabar, Nak … sabar …..” Ucap Ibu. Dia berusaha menenangkan Zindy.
“Ayah ….” Panggil Zean. Air mata Zean juga tak bisa dibendung. Dia menangis terisak-isak.
Ayah. Aku rindu padamu. Sekarang aku hanya bisa memeluk nisanmu. Ayah, aku tidak marah. Ayah tenanglah di sana. Zindy akan rajin mendoakan Ayah.
Ratapan tangis itu terus mengalir. Jutaan pertanyaan di benak Zindy sudah terjawab. Amarah sedikit demi sedikit redam. Berganti rasa sedih dan sesal. Lantunan doa dari hati juga mulai mengalun. Ayah tak pergi karena benci tapi karena peduli. Amat peduli sehingga tak ingin membebani.
“Ikhlaskan Ayah ya….” Tante Bella membelai lembut Zindy. Zindy menyandar di bahunya. “Ayah sudah tenang di sana.”
“Aku akan berusaha ikhlas, Tante. Ini takdir yang sudah harus Zindy terima …..” Zindy berusaha menyeka air matanya.
“Zean kangen Ayah. Ayah kenapa begitu tega….” Zean menangis tersedu-sedu.
“Ayah sudah tenang di sana….” Ibu berusaha menenangkan Zean. “Sedih boleh, Zean boleh menangis tapi jangan benci Ayah ya ….”
“Ini adalah kamar yang dulu ditempati Kak Zein….” Tante Bella membukakan pintu kamar itu.
Tampak kamar sederhana dengan dinding penuh tempelan foto. Itu adalah foto cetakan saat Zindy dan Zean saat masih kecil. Ada juga foto Ibu. Foto-foto itu nampak bahagia.
“Ayah tidak membenciku. Dia masih mengingatku….” Air mata Zindy kembali menetes. Tangannya membelai salah satu foto. Foto yang menampakkan kenangan saat dulu berkunjung ke taman kota. Ketika Zindy kecil dan Ayah masih sehat.
“Ayahmu tak pernah membencimu. Dia selalu mengingatmu, Zean dan Kak Mirna.” Tante Bella menyalakan sebuah laptop tua yang sudah usang. Bunyi kipas laptop itu sangat berisik seperti air hujan. Saat laptop itu dinyalakan nampak wallpaper berupa foto Zindy, Zean dan Ibu.
“Ini laptop Ayah?” Zindy menyentuh laptop usang warna abu-abu. Cat laptop itu sudah mengelupas di beberapa bagian.
“Iya, ini laptop ayahmu. Dia mencoba mengumpulkan sedikit uang untuk bertahan hidup dan katanya untuk masa depan Zindy dan Zean.” Tante Bella membuka file di laptop itu. “Ayah mengarang beberapa novel di platform online. Tubuhnya lemah, tapi dia berusaha bekerja….” Tante Bella membuka sebuah buku tulis kecil. “Ada sebuah buku berwarna biru di dalamnya. “Ayah mengumpulkan sedikit demi sedikit uang ini.”
“Buku tabungan?” Zindy menerima buku itu. Sebuah kertas kecil dari sticky notes warna kuning tertempel di halaman pertama buku itu.
Untuk putra dan putriku Zindy dan Zean. Ayah berharap kalian bisa sekolah tinggi. Setinggi bintang di langit.
“Setinggi bintang di langit….” Air mata Zindy kembali menetes. “Aku akan rajin sekolah, Ayah….”
“Coba buka buku itu, Nak….” Ujar Tante Bella lembut.
Tangan Zindy sedikit gemetar saat membuka buku itu. Ada nominal dengan dua digit yang tercantum di buku itu. Tante Bella juga menyerahkan sebuah kartu debet.
“Ayahmu berwasiat untuk menyerahkan rekening ini kepadamu. Ini kartu debet dari buku tabungan ini. Kakakku merasa sangat bersalah karena pergi meninggalkanmu dan Kak Mirna. Dia berharap sedikit uang ini bisa membantumu untuk melanjutkan pendidikanmu dan Zean. PIN-nya ada sticky notes di halaman paling belakang buku itu.”
Buku itu dibuka di halaman yang paling belakang. Sebuah sticky notes tercantum.
Saat buku ini diserahkan, raga Ayah mungkin tak bisa menemani. PIN: 080808. Ayah mengambilnya dari hari ulang tahun permata Ayah, Zindy….
“Ayab selalu ingat Zindy. Ayah benar-benar tak membenciku….” Air mata Zindy kembali mengalir.
“Ada yang masih perlu diserahkan juga.” Tante Bella memberikan sebuah dompet kecil. “Coba bukalah!”
Dompet kecil itu bergambar logo sebuah toko emas. Zindy membuka resleting dompet itu dengan hati-hati. “Kalung dan cincin?” Ada sebuab kalung emas serta cincin. Kalung itu terbuat dari emas putih. Ada liontin dengan bentuk huruf Z. Ada sebuah kertas kecil juga ada di dalam dompet itu.
Zindy pertama hati ayah. Maaf karena membuatmu menderita. Ayah beruntung bisa menang untuk pertama kalinya. Semoga suatu saat kamu bisa menerima benda ini. Cinta Ayah selalu menemanimu lewat hadiah ini, Nak.
“Iya. Ini cincin pernikahan ayah dan ibumu dulu. Segetir apapun keadaannya, ayahmu tidak pernah akan menjualnya. Kalung ini adalah hasil saat ayahmu pertama kali juara lomba menulis.” Tante Bella membelai bahu Zindy.
“Ayah benar-benar sayang padaku. Dia selalu ingat aku. Ayah, maaf. Aku pernah membencimu. Aku sayang Ayah…..” Zindy memeluk kalung kecil itu.
“Ini adalah handphone terakhir yang digunakan ayahmu. Sengaja tidak dikunci. Dia meninggalkan semua password media sosialnya di dalam aplikasi notes. Kakak bilang dia masih punya satu novel yang ingin ditulis….” Tante Bella membuka aplikasi EN. Itu adalah aplikasi online untuk menulis novel. Nampak karya-karya ayah Zindy. Karyanya sering bertemu dunia persilatan. Ada juga tentang keluarga. Ayah Zindy menggunakan nama pena zz_world.
“Simfoni Rindu Zindy?” Zindy membaca draft novel yang ditunjukkan Tante Bella. Karya itu masih bab 1.
Zindy, dia adalah permata yang diberikan Tuhan padaku. Tangis kelahirannya adalah wujud anugerah yang indah. Murni seperti embun di pagi hari. Megah dan bersinar seperti bintang di langit. Anak perempuanku yang paling cantik.
“Ayah, sehari saja. Satu hari saja, seandainya kita bisa bertemu pasti menyenangkan. Zindy sayang Ayah…..” Buliran air mata Zindy menetes. Dia memeluk benda kenangan itu.