Zindy terbangun. Dia merasakan angin bertiup melewatinya. Nampak pemandangan hijau rerumputan. Pohon-pohon nampak rindang dan hijau di sisi kiri dan kanan.
“Dimana aku?” Zindy merasa bingung. Namun tak asing. “Air mancur itu….” Dia merasa familiar dengan air mancur itu. Air mancur yang ada di tengah danau. “Ini taman kota itu. Taman kota yang pernah aku datangi sebelum Ayah pergi.” Air mata Zindy menetes. Kenangan manis itu berputar kembali. Kenangan saat ayah, ibu, adik dan dirinya berkunjung ke taman. Sehari sebelum Ayah menghilang.
“Zindy….” Terdengar suara familiar yang sudah lama tidak dia dengar. Zindy langsung menoleh. Nampak seorang sosok pria yang sangat dia rindukan.
“Ayah!” Panggil Zindy. Dirinya langsung berlari ke arah sosok itu. Sosok itu tidak terlalu jelas, tapi wajahnya amat terkenang di memori Zindy.
Lelaki itu tersenyum dengan mata berkaca-kaca. “Ayah minta maaf. Ayah salah. Tapi, Ayah selalu sayang sama kamu, Ibu dan Zean. Selamanya akan selalu sayang. Zindy, Ayah pamit. Kamu kebanggaan Ayah….” Sosok itu perlahan-lahan semakin kabur.
“Ayah…. Ayah …..!” Teriak Zindy. Sosok itu semakin kabur.
“Terima kasih sudah jadi anak hebat. Ayah pamit, Nak. Tolong maafkan Ayah. Ayah hanya tak ingin jadi beban…..” Suara itu semakin menjauh.
“Ayah…. Ayah…. Ayah…..” Kakk Zindy mencoba mengejar tapi seolah tak berguna. Sosok itu pergi semakin cepat.
Bruk!
Zindy terjatuh ke tanah. Sekelilingnya gelap seketika. Taman hijau nan cantik itu hilang dalam sekejap mata.
“Kakak….” Terdengar suara Zean. “Kakak, bangun, Kak. Zean nggak mau sendirian! Zean janji nggak bakal nakal! Bangun, Kak….” Terdengar suara Zean terisak-isak.
Mata Zindy perlahan-lahan terbuka. Cahaya dari dunia luar mulai masuk ke penglihatannya. Samar-samar dan pelan-pelan kesadarannya mulai pulih.
Ternyata itu hanya mimpi. Ayah, apa yang sebenarnya kau sembunyikan?
“Zean….” Panggil Zindy lirih.
“Kakak!” Zean langsung memeluk tubuh Zindy.
“Jangan tinggalin Zean, Kak. Zean takut. Kakak tiba-tiba nggal sadar….” Zean masih terisak.
“Kakak nggak apa-apa. Boleh tolong ambilkan minum dulu?” Zindy menatap gelas di atas kursi. Zean dengan cekatan menuruti permintaan kakaknya. “Dimana yang lain?”
“Ibu dan Nenek ada di ruang tamu. Abang Kalib baru ke apotik beli obat buat Kakak.” Zean terus saja memegang tangan Zindy.
“Bantu Kakak ke ruang tamu ya….” Zindy meminta Zean memapahnya ke ruang tamu. Di ruang tamu itu nampak Tante Bella,Om Andre, Ibu dan Nenek duduk saling berhadapan. Suasana hening namun berasa tegang.
“Jadi apa yang sebenarnya terjadi?” Terdengar suara Ibu.
“Kakakku memilih pergi karena tak mau membebanimu dan anak-anakknya. Dia sakit gagal ginjal kronis saat pergi beberapa tahun lalu….” Suara Tante Bella terdengar.
“Kita belum pernah bertemu secara langsung. Aku ada di luar negeri. Sibuk bekerja bersama suamiku untuk menyekolahkan anak-anakku agar bisa kuliah. Saat Kakakku kritis itu entah bagaimana bisa kebetulan saat aku mengambil cuti tahunan. Dia pulang ke kota tempat kelahirannya. Dia tak mau membebani siapa pun. Kakak memilih tinggal sendirian. Dia ingin tetap mandiri.” Tante Bella mengusap air matanya. “Kak Zein meminta orang tuaku untuk memutus hubungan komunikasi denganmu Kak Mirna. Agar kau dan anak-anak tidak khawatir.”
Zindy berusaha menguatkan dirinya. Dia berusaha mengumpulkan tenaganya. Kenyataan ini berasa memukul hatinya namun juga membuat bingung.
“Jadi, itu alasannya dia pergi? Dia tak membenciku dan anak-anak?” Ibu menangis.
“Dia tak pernah membenci. Dia amat cinta. Kakakku tak ingin membebanimu. Dia bilang tak ingin melihat Zindy dan Zean melihatnya cuci darah setiap bulan.” Tante Bella nampak menunjukkan foto Ayah kepada Ibu.
“Zein!” Ibu menangis saat melihat foto itu.
“Jadi, selama ini, Ayah tak membenciku?” Zindy berusaha berjalan sambil dipapah oleh Zean.
“Dia tak pernah benci Zean dan Zindy. Ayah kalian sangat sayang pada kalian. Dia menghilang karena tak ingin membebani.” Tante Bella mengeluarkan sebuah surat dari tas selempangnya. “Ini surat yang terakhir kali ditulis oleh ayah kalian!” Ibu membuka surat itu.
Untuk anak-anakku yang berharga Zindy dan Zean serta untuk istriku yang paling kucintai, Mirna.
Saat kalian menemukan surat ini, Ayah mungkin sudah tiada. Kalian boleh membenci Ayah. Ayah tak bertanggungjawab. Aku sudah menggores luka yang amat pedih. Hilang begitu saja.
Nak, Putriku, Zindy. Kau adalah permata hati Ayah yang berharga. Cantik seperti embun dan indah seperti bintang di langit. Maaf membuatmu terbebani. Ayah takut kau semakin susah melihat Ayah sakit gagal ginjal.
Zean, putra Ayah. Kau adalah kebanggaan Ayah. Maaf membuatmu memiliki kenangan buruk. Ayah hanya tak ingin membuatmu makin menderita. Sakit Ayah parah, Nak. Mohon maafkan Ayahmu yang tak berguna ini.
Untuk istriku, Mirna. Maaf sudah pergi seolah tak peduli. Aku hanya ingin kau tak semakin terbebani dengan kondisiku yang lemah dan kian hari makin parah.
Aku pamit pergi. Mohon maafkan, Ayah. Ayah hanya tak ingin kalian menderita lebih jauh.
Ayah masih berusaha mengumpulkan sedikit…..
Surat itu terputus. Tak ada lagi penjelasan. Banyak tanya masih mengakar dalam angan.
“Jadi Ayah tak membenciku?” Zindy tak bisa menahan tangis. “Dia pergi karena sakit parah?”
“Iya. Ayah kalian pergi karena tak ingin membebani. Dia berwasiat. Jangan beritahu sebelum dia dimakamkan. Surat ini ditulis saat kondisi Ayah kalian sudah kritis. Karena itu terputus.” Om Andre memberikan penjelasan.
“Zein!” Teriak Ibu. Dia tak kuasa membendung air matanya. “Kenapa kau tak jujur saja? Aku takkan marah.” Tangis Ibu terus terdengar.
“Aku juga tak menyangka hal ini….” Nenek bersuara. “Zein sosok yang bertanggungjawab. Aku ikut benci padanya tapi setelah tahu hal ini. Kurasa dia begitu besar mencintai anakku dan cucuku.” Mata Nenek menahan haru.
Kalib termenung di pintu masuk ruang tamu. Dia bisa merasakan rasa kehilangan itu. Rasa kehilangan sosok yang amat penting bagi hidup seorang anak.