Loading...
Logo TinLit
Read Story - UNTAIAN ANGAN-ANGAN
MENU
About Us  

"Hah? Yuza? Kok lo disini?" 

 

Alvi terlihat kebingungan. Begitu juga Yuza. 

 

"...lo juga kok disini, Ndut?" Yuza malah balik bertanya.

 

"Ini rumah sepupu gue," jawab Alvi, matanya masih besar karena belum bisa mempercayai pemandangan yang dilihatnya. 

 

"Ini rumah temennya Bapak gue," Yuza akhirnya menjawab pertanyaan Alvi. 

 

"Ohh.." 

 

Alvi akhirnya selesai kaget. 

 

"Gila! Ini beneran Yuza! Baju gue bagus gak ya hari ini? Parfum gue masih wangi kan? Muka gue... suara gue... aman gak ya?" pikir Alvi heboh. 

 

"Lo gabut gak sih, Ndut?" tanya Yuza tiba-tiba. 

 

Alvi sebenarnya tidak gabut. Karena ia harus bermain bersama sepupu kecilnya. Tapi ia tau jika ia menjawab sejujurnya, ia akan melewatkan kesempatan menghabiskan waktu bersama Yuza. 

 

Jadi, Alvi hanya mengangguk. 

 

"Main basket, yuk?" ajak Yuza. 

 

Alvi mengangguk. Ia berusaha sangat keras supaya senyumnya tidak merekah di wajahnya. Cukup di hati saja. 

 

--- 

 

"Main aja, Vi. Gak usah pusingin si bocil, mah. Nanti Tante yang urus!"

 

Begitu jawab Tante-nya Alvi setelah ia meminta izin kepadanya untuk bermain basket dengan Yuza. Alvi tersenyum dan menyerahkan sepupunya kepada Tante. 

 

"Kalian ternyata satu sekolah toh! Kalo pulang sekolah besok-besok main kesini aja! Rumah ini selalu terbuka buat kalian. Mau main basket, main bola, numpang makan juga boleh!" Tante tertawa senang. 

 

Alvi tersenyum lebar, mengangguk. Yuza tidak menanggapi apa-apa. 

 

"Tante lo extrovert parah ya, Ndut?" 

 

Alvi tertawa kecil. 

 

"Emang gitu dari dulu. Untuk ketemu Om yang sama ekstrovertnya," jawab Alvi ramah. 

 

Yuza tidak menanggapi. Membuat Alvi sedikit malu. 

 

---

 

Alvi memang tidak jago dalam bermain basket. Tidak seperti Yuza yang sudah pernah sekali memenangkan lomba basket tingkat povinsi. 

Badan besarnya berlarian, fokus ke melihat bola dan berusaha mencari peluang untuk mengambil bola basket dari tangan Yuza yang lihai memantulkan bola itu dan menghindari mata Alvi.

Tapi sekali Alvi merebut bolanya, ia langsung melemparkannya ke keranjang basket dan mencetak poin. 

"Nice, Ndut!" 

Tapi jantung Alvi berdegup kencang mendengar pujian itu.

"Kayaknya gue gak usah ngalah kalo main sama lo, hahah," kata Yuza. 

"Jadi dari tadi lo ngalah? Jangan lahh! Kayak lo biasa main aja!" rengek Alvi. 

"Lo jangan nyalahin gue kalo kalah nanti, ya!" seru Yuza dengan bangga. 

"Gak akan!" 

Alvi tertawa kecil.

 

Benar saja, Yuza tiba-tiba menjadi lebih gesit. Sebelum Alvi bisa membaca gerakannya, Yuza sudah melompat, menembakkan bola basket ke arah ring. 

"Yess!" Yuza memeringati kemenangannya. 

Alvi bertepuk tangan. "Keren!" pujinya. 

Mereka lanjut bermain basket di lapangan belakang, di rumah mewah milik sepupu Alvi. Walaupun akhirnya kalah, Alvi yakin ia tidak akan melupakan momen ini sampai kapanpun. 

 

---

 

"Halo, Vi. Akhirnya lo berani ke kelas gue lagi, nih?" sapa Nadya begitu Alvi masuk ke kelasnya. 

 

Alvi hanya tertawa kecil, sebelum melihat ke arah teman sebangku Nadya dengan gugup. Teman itu tetap tidur seperti biasa, wajahnya terbenam dalam meja. Alvi diam-diam merasa lega.

 

"Nih buat lo, Nad," Alvi menyodorkan bolu kukus yang dikemas rapi dengan plastik dan pita cantik ke arah Nadya. 

 

"Lucu banget warnanya ungu pink! Makasih, Vi!" Nadya berseru, suara lembutnya penuh ketulusan. 

 

"Sama-sama!" Alvi menjawab dengan semangat. 

 

Ia baru saja memberikan satu kepada Nadya. Tapi ia masih punya banyak di paperbag yang ia bawa. 

 

Alvi melihat ke arah pojok kelas Nadya yang ramai. Seperti biasa, Yuza ada di tengah-tengah mereka. 

 

"Gak usah ragu. Kasih aja, Vi. Yuza gak pernah nolak makanan," kata Nadya sebelum Alvi berkata apa-apa. 

 

"Uh.. ahh..." Alvi bingung mau berkata apa. 

 

Nadya hanya menertawai kegugupan Alvi. 

 

"Hayo cepet kalo mau ngasih. Nanti keburu bel, lho, Vi," Nadya mengingatkan. 

 

Alvi hanya bisa menahan nafas panjang dan menghembuskannya perlahan. Ia mempersiapkan diri untuk menjadi berani. 

 

"Yu...za?" panggil Alvi lirih sesampainya ia di sekitar pojok kelas itu. 

 

Keberadaan Alvi sulit diabaikan. Pertama karena ukurannya besar, tidak mungkin kelewat mata. Kedua, karena wangi parfum Alvi yang harum tapi tercium terlalu banyak. 

 

"Za, nyariin lo tuh!" 

"Gila, lo kenal dia, Za?" 

"Hahahah! Yuza dicariin cewek kelas sebelah!" 

 

Yuza melihat Alvi menghampirinya dengan gugup. Tapi ia tidak bereaksi apa-apa. 

 

"Za?" panggil Alvi lagi. Yuza akhirnya mengedipkan matanya. 

 

"Kenapa, Ndut? Ngapain nyariin gue?" tanggapnya dengan senyuman jahil. 

 

"Lo.. suka bolu kukus gak?" tanya Alvi. 

 

Teman-teman Yuza yang berada disekitarnya langsung bersiul dan menggoda mereka. 

 

"...gue makan apa aja, Ndut. Kenapa?" jawab Yuza. 

 

Alvi akhirnya menyodorkan bolu kukus yang spesial ia siapkan untuk Yuza. Hanya satu rasa, coklat. Bentuknya sempurna. Dikemas dengan plastik dan pita cantik. 

 

Yuza menerimanya. Wajahnya datar. Tidak begitu banyak reaksi disana. 

 

"Thanks, Ndut," kata Yuza, tersenyum supaya sopan. 

 

Kemudian Alvi berbalik menoleh ke arah teman-teman Yuza. 

 

"Uhh... ini buat kalian. Semoga suka," 

 

Alvi mulai membagikan bolu kukus lainnya kepada mereka. 

 

"Wih kita juga dapet?" 

"Anjay, makasih!"

"Enak nih kayaknya," 

 

Alvi hanya tersenyum dan melangkah pergi dari pojok kelas. Ia tidak sempat melirik ke arah Yuza lagi karena ia sudah merasa sangat malu. Akhirnya, ia melambaikan tangan kepada Nadya sebelum melangkah keluar kelas. 

 

Nadya tersenyum dan membalas lambaian tangannya dengan ramah.

 

"Makasih, Nad! Berkat lo, hari ini misi gue selesai," pikir Alvi sambil tersenyum. 

 

Ia melangkah menuju kelasnya dengan hati berbunga-bunga. 

 

---

 

"Vi. Kok lo bisa dapet jawaban yang nomor 3? Gue dari kemarin cari gak dapet-dapet," salah satu siswa pintar di kelas Alvi, bertanya padanya. 

 

"Oh ini... Lo harus gini dulu..." 

 

Alvi mulai menjelaskan cara yang ia gunakan saat menyelesaikan persoalan matematika itu. Walaupun Alvi tau teman-teman sekelasnya tidak begitu menyukainya dan malah serimg mengomonginya di belakang. Alvi tetap memjawab siswa yang bertanya itu dengan sabar. 

 

Tidak ada yang bisa mengalahkan rasa malu Alvi saat SMP dulu. Ia seringkali jadi target empuk bullying karena gemuk, hitam, rambut keriting, bau, bodoh dan aneh. Maka dari itu, Alvi merasa setidaknya ia harus belajar giat dan pintar di atas orang-orang biasa. 

 

Tidak akan ada menyukai orang yang jelek, aneh dan bodoh. Setindaknya Alvi tidak masuk dalam satu kategori itu. Alvi berharap semoga ada hari dimana ia bisa jadi tidak termasuk kedalam kategori itu. 

 

Tapi saat ini, hanya jadi pintar dan baik yang bisa ia usahakan. 

 

"Okeh makasih, Viii," 

"Sama-sama!" jawab Alvi dengan senyum lebar. 

 

Siswa itu tidak capek-capek melihat Alvi dan langsung kabur ke mejanya semula. 

 

"Vi," 

 

Kali ini siswa di bangku belakangnya memanggil. 

 

"Tolong kasih Yara lagi ya," katanya. 

 

Alvi tersenyum dan mengangguk. 

 

"Thanks, Vi," 

 

Alvi tersenyum kecil, senang karena ada orang yang mengapresiasinya. Walau tidak begitu tulus. 

 

---

 

"Alviii! Lu suka sama gua ya? Kok lu selalu repot-repot bawain gua makanan sihh!" 

 

Yara memeluknya erat-erat saat ia memberikan bekal itu. Alvi sedikit gugup. 

 

"Gak lah! Ini karena lo sering anterin gue ke sekolah pagi-pagi," kata Alvi. 

 

"Iya dehh. Betewe menu hari ini apa, princess?" Yara menanggapi dengan cuek sebelum bertanya. 

"Telur dadar sama tumis sawi putih," jawab Alvi. 

 

Kali ini, ia mengingat menu bekal yang akan ia berikan ke Yara supaya ia tidak kaget dengan pertanyaan-pertanyaan Yara. 

 

"Lo doyan apa aja kan? Atau ada makanan yang gak lo suka?" tanya Alvi. 

 

Yara, yang sedang sibuk membuka kotak bekal dengan tangannya berhenti untuk berpikir sejenak. 

 

"Hmmmm...." 

 

"Gua gak bisa makan seafood, terus gak bisa makan yang terlalu pedes juga... terus beberapa hari sebelum tanding gua harus makan yang kaya protein. Tapi di hari tanding harus banyak makan yang ada gulanya. Gitu sih?" jelas Yara. 

 

"Lu mau bikinin makanan spesial buat gua ya, Viii?" tanya Yara. 

 

Alvi hanya tersenyum jahil. 

 

"Kalo gue cuma penasaran gimana?" goda Alvi. 

 

Yara tertawa. 

 

"Ya gak apa-apa juga sih, Vi. Kan kita temen, pasti ada penasaran-penasarannya satu sama lain," Yara menjawab dengan kasual. 

 

Sementara Yara sibuk melahap makananya, Alvi larut dalam perasaannya. 

 

Kenapa hati Alvi rasanya tidak enak saat Yara berkata bahwa mereka adalah teman? 

 

--- 

 

Bel pulang berbunyi.

Di hari Senin seperti ini, Alvi selalu ingin pulang bersama dengan Nadya. Seperti biasa, menunggu angkot yang sepi dan lega.

Alvi memikirkan sesuatu. Biasanya, Nadya akan membuatnya menebak berapa angkot yang melintas sebelum akhirnya mereka berdua bisa naik dan pulang. 

 

Sayangnya, hari ini tidak berjalan semulus itu. 

 

"Alvi?" 

 

Suara imut bagaikan malaikat itu memanggil namanya. 

 

Dilihat dari banyak laki-laki yang melirik ke arah belakang Alvi, Alvi bisa menebak siapa yang memanggilnya. 

 

"Hai, Fan?" sapanya kikuk. 

 

Alvi berbalik menghadap Fana wajah ke wajah. Dan ia menyadari bahwa senyuman manis yang biasa dilontarkan dengan mudah kepada siapa saja lawan lawan bicaranya , sekarang tertahan. 

 

Fana tidak tersenyum seperti biasa. Senyuman Fana kali ini terlihat lelah dan kesal. 

 

"Umm... kenapa Fan?" tegur Alvi yang melihat Fana hanya diam aja. 

 

"Gam apa-apa, kok. Tadi pagi kita gak ketemu, jadi aku pengen sapa kamu aja," Fana berbicara. 

Alvi hanya garuk-garuk kepala, bingung, sebelum akhirnya paham. 

"Oke," kaya Alvi. 

Selang beberapa detik, akhirnya Fana angkat suara. 

"Kamu... waktu itu kamu bilang kamu gak deket sama Yara," katanya.  

Jantung Alvi mulai berdebar kencang, panik. Tapi ia tetap berusaha tenang. 

"Uhhh..." 

"Kamu buatin dia bekel tiap hari, ya?" Fana bertanya. 

Sebenarnya yang membuat bekal untuk Yara bukan dirinya. Tapi ia tutup mulut dan menjaga janjinya kepada siswi yang duduk di belakangnya. 

"I-iya," jawab Alvi, bohong. 

Ia melihat mata Fana yang bertambah tajam. 

 

"Fana, lo..." 

 

"Lo gak suka sama Yara ya?" tanya Alvi, lirih dan hati-hati. 

 

bersambung

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
CTRL+Z : Menghapus Diri Sendiri
120      107     1     
Inspirational
Di SMA Nirwana Utama, gagal bukan sekadar nilai merah, tapi ancaman untuk dilupakan. Nawasena Adikara atau Sen dikirim ke Room Delete, kelas rahasia bagi siswa "gagal", "bermasalah", atau "tidak cocok dengan sistem" dihari pertamanya karena membuat kekacauan. Di sana, nama mereka dihapus, diganti angka. Mereka diberi waktu untuk membuktikan diri lewat sistem bernama R.E.S.E.T. Akan tetapi, ...
Kisah Cinta Gadis-Gadis Biasa
836      482     1     
Inspirational
Raina, si Gadis Lesung Pipi, bertahan dengan pacarnya yang manipulatif karena sang mama. Mama bilang, bersama Bagas, masa depannya akan terjamin. Belum bisa lepas dari 'belenggu' Mama, gadis itu menelan sakit hatinya bulat-bulat. Sofi, si Gadis Rambut Ombak, berparas sangat menawan. Terjerat lingkaran sandwich generation mengharuskannya menerima lamaran Ifan, pemuda kaya yang sejak awal sudah me...
No Life, No Love
1035      792     2     
True Story
Erilya memiliki cita-cita sebagai editor buku. Dia ingin membantu mengembangkan karya-karya penulis hebat di masa depan. Alhasil dia mengambil juruan Sastra Indonesia untuk melancarkan mimpinya. Sayangnya, zaman semakin berubah. Overpopulasi membuat Erilya mulai goyah dengan mimpi-mimpi yang pernah dia harapkan. Banyak saingan untuk masuk di dunia tersebut. Gelar sarjana pun menjadi tidak berguna...
Ruang Suara
189      130     1     
Inspirational
Mereka yang merasa diciptakan sempurna, dengan semua kebahagiaan yang menyelimutinya, mengatakan bahwa ‘bahagia itu sederhana’. Se-sederhana apa bahagia itu? Kenapa kalau sederhana aku merasa sulit untuk memilikinya? Apa tak sedikitpun aku pantas menyandang gelar sederhana itu? Suara-suara itu terdengar berisik. Lambat laun memenuhi ruang pikirku seolah tak menyisakan sedikitpun ruang untukk...
Izinkan Aku Menggapai Mimpiku
116      93     1     
Mystery
Bagaikan malam yang sunyi dan gelap, namun itu membuat tenang seakan tidak ada ketakutan dalam jiwa. Mengapa? Hanya satu jawaban, karena kita tahu esok pagi akan kembali dan matahari akan kembali menerangi bumi. Tapi ini bukan tentang malam dan pagi.
Halo Benalu
828      404     0     
Romance
Tiba-tiba Rhesya terlibat perjodohan aneh dengan seorang kakak kelas bernama Gentala Mahda. Laki-laki itu semacam parasit yang menempel di antara mereka. Namun, Rhesya telah memiliki pujaan hatinya sebelum mengenal Genta, yaitu Ethan Aditama.
Tanda Tangan Takdir
158      134     1     
Inspirational
Arzul Sakarama, si bungsu dalam keluarga yang menganggap status Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai simbol keberhasilan tertinggi, selalu berjuang untuk memenuhi ekspektasi keluarganya. Kakak-kakaknya sudah lebih dulu lulus CPNS: yang pertama menjadi dosen negeri, dan yang kedua bekerja di kantor pajak. Arzul, dengan harapan besar, mencoba tes CPNS selama tujuh tahun berturut-turut. Namun, kegagal...
Deep Sequence
599      468     1     
Fantasy
Nurani, biasa dipanggil Nura, seorang editor buku yang iseng memulai debut tulisannya di salah satu laman kepenulisan daring. Berkat bantuan para penulis yang pernah bekerja sama dengannya, karya perdana Nura cepat mengisi deretan novel terpopuler di sana. Bisa jadi karena terlalu penat menghadapi kehidupan nyata, bisa juga lelah atas tetek bengek tuntutan target di usia hampir kepala tiga. N...
Simfoni Rindu Zindy
708      517     0     
Inspirational
Zindy, siswi SMA yang ceria dan gigih, terpaksa tumbuh lebih cepat sejak ayahnya pergi dari rumah tanpa kabar. Di tengah kesulitan ekonomi dan luka keluarga yang belum sembuh, Zindy berjualan di sekolah demi membantu ibunya membayar SPP. Bermodal keranjang jinjing dan tekad baja, ia menjadi pusat perhatian terkadang diejek, tapi perlahan disukai. Dukungan sahabatnya, Rara, menjadi pondasi awal...
Di Punggungmu, Aku Tahu Kau Berubah
1529      709     3     
Romance
"Aku hanya sebuah tas hitam di punggung seorang remaja bernama Aditya. Tapi dari sinilah aku melihat segalanya: kesepian yang ia sembunyikan, pencarian jati diri yang tak pernah selesai, dan keberanian kecil yang akhirnya mengubah segalanya." Sebuah cerita remaja tentang tumbuh, bertahan, dan belajar mengenal diri sendiri diceritakan dari sudut pandang paling tak terduga: tas ransel.