"PASS, VI!"
Alvi menggunakan seluruh kekuatannya untuk melempar bola basket ke arah teman setimnya.
"Nice! Shoot!"
"WOOOOHHH!"
Bola basket itu masuk ke dalam ring dengan mulus.
Alvi tersenyum, melompat-lompat kegirangan sebelum ia menarik senyumnya kembali.
"Ah, jangan lompat..." pikirnya, menahan diri.
Akhirnya basket putri bisa bermain setelah beberapa Selasa terlewati dengan latihan membosankan karena kekurangan anggota.
Walaupun awalnya Alvi memasuki ekskul basket untuk mengikuti Nadya, Alvi ternyata lumayan menyukai permainan bola ini. Memang ada sedikit keterbatasan bergerak karena ukuran tubuh Alvi, dan Alvi tidak begitu jago menghasilkan score. Tapi dia menyukai perasaan saat bola basket masuk sempurna dalam ring dan penonton bersorak senang dalam euphoria.
Mungkin bagi orang, itu hal yang biasa. Tapi bagi Alvi yang hanya mendengar sorakan cemooh sebelum ia memasuki ekskul ini... ia benar-benar menikmatinya.
"Semoga gue bisa cepetan pinter main basket. Mungkin jadi atlet? Haha," pikir Alvi kepada dirinya.
---
"Let's go princess, kita balikkk!"
Alvi tertawa kecil.
Hari ini, Alvi diantar pulang oleh Yara. Alvi awalnya tidak sadar bahwa Yara berlatih silat hampir setiap hari. Tapi ia mengingat-ingat beberapa saat ketika Yara mengajak Nadya dan Alvi pulang segera setelah bel berbunyi untuk membolos latihan silat.
"Pasti susah jadi atlet, harus konsisten juga," pikir Alvi.
"Jangan lupa pake helm princess," kata Yara sambil menyodorkan helm pada Alvi.
"Hahah! Lo kenapa sih manggil princess-princess mulu!"
"Lho emang kenapa? Lu gak suka gua panggil princess?" tanya Alvi.
Alvi hanya tertawa.
"Dia mah pantesnya dipanggil Ndut,"
Suara yang familiar tiba-tiba terdengar.
Alvi mendongak dan melihat Yuza yang masih mengenakan baju basketnya. Keringat tampak strategis di dahinya, membuatnya lebih tampan.
"Woy, Ndut. Lo ngapain di sebelah motor gue?" tanyanya cuek.
"Hah? Ini motornya Yara," jawab Alvi, suaranya penuh kebingungan.
"Ini motor gua. Lu kok ngaku-ngaku, Za?"
"Apa sih? Jelas-jelas ini motor gue," bela Yuza.
Yuza dan Yara saling berpandang kesal.
"Lo kan cewek, emang bisa naik motor ginian pake rok? Jangan ngaco deh lo,"
"Heh, gua selalu pake celana silat jadi gak pernah ada masalah bawa motor ginian,"
"Ya bodo lah pokoknya ini motor gue,"
"Ini motor gua! Kok lu ngaku-ngaku sih!"
Alvi melihat perdebatan itu dengan canggung. Tapi ia memiliki satu kesimpulan.
"Motor kalian tipenya sama, ya?" tanyanya lirih.
Kedua siswa itu menoleh ke arahnya, bingung.
---
"..."
Yuza berdiam diri di atas motornya, samping-sampingan dengan Yara dengan motor ninja hitamnya yang sama dan Alvi diboncengannya.
Tebakan Alvi benar. Mereka punya motor dengan tipe yang sama persis. Yang membedakan hanya plat nomornya saja, tapi kedua siswa yang lelah setelah berolahraga itu tidak memperhatikannya.
"Jadi lu gak mau minta maaf, Za?"
"...sorry," gumam Yuza.
"Hah? Gak kedengeran?!" goda Yara.
"Sorry! Sorry! Ah elah, Yar!" Yuza berteriak, wajahnya memerah, malu karena ia sudah mengakui motor Yara adalah miliknya.
Yara tertawa cekikikan.
"Lu sticker-in pink aja deh motor lu!"
"Ogah! Lo aja kali. Kan lo cewek!"
"Dih, justru karena lu cowok. Kalo motor lu pink, pasti lebih banyak cewek yang merhatiin lu,"
"Gila! Hahahah!"
Alvi melihat mereka dengan ekspresi yang bertabrakan.
Satu sisi, Alvi senang karena ini adalah kali pertama ia memandangi Yuza se-lama ini. Sisi lain, Alvi merasa sedikit iri dengan Yara.
"Kalo badan gue bagus dan gue cantik, gue pasti bisa ngobrol panjang sampe ketawa-ketawa gitu sama Yuza," angannya dalam hati.
---
"Vi, lo deket sama Yara?"
Alvi merasa pernah mendengar pertanyaan ini sebelumnya, dari orang yang berbeda.
"Umm... lumayan,"
Tapi jawaban yang ia berikan sangat berbeda dari pertanyaan saat itu.
"Lo boleh, tolong kasihin ini gak buat dia?"
Alvi menengok ke belakang. Siswi yang biasanya sibuk menyuruhnya menunduk karena tidak bisa melihat papan tulis itu terlihat beda. Ekspresi malas atau kesalnya tidak terlihat seperti biasa. Justru ada senyum kecil di bibirnya.
"Ini apa?" tanya Alvi, menunjuk paperbag di atas meja siswi itu.
"...gue bikin bekel buat Yara. Tapi gue malu ngasihnya. Lo boleh tolong kasih?"
Alvi sedikit terkejut.
"Kenapa lo mau ngasih dia bekel?" tanya Alvi tanpa sadar.
Siswi itu menatap Alvi tajam.
"Kalo lo mau ya mau, kalo gak ya gak! Rempong banget sih lo!" omelnya ketus.
"Ah! Ehh... gak, gak. Maksud gue... uh, gue bakal kasih kok," Alvi dengan gagap menjawab.
"Gitu, dong. Gak usah bilang ini dari gue. Lo bilang aja itu dari lo," lanjut siswi itu ketus sebelum bangun dari kursinya dan keluar dari kelas. Mungkin ke kantin, karena ini jam istirahat.
Alvi, yang terbiasa makan sendiri di kelas memiliki misi sekarang. Ia harus pergi ke lantai 3, mencari kelas Yara, X IPS-5.
"LOH, VII! LU TUMBEN KESINI! KANGEN GUA YA?"
Belum sempat Alvi memanggil namanya, Yara sudah menyambutnya duluan.
Alvi hanya tersenyum. Teman-teman Yara meliriknya dari bangku mereka masing-masing.
"Itu siapa?"
"Temennya Yara?"
"Hah? Yara temenan sama orang gendut gitu? Yang bener aja?"
Senyum Alvi mulai terasa dipaksakan setelah mendengarkan bisikan-bisikan itu.
"Vi?"
"Oh, iya. Makan bareng, yuk? Ini ada bekel,"
"Wihh! Lu yang masak, Vi?"
"Uhh..."
Alvi tidak menjawab. Tapi sepertinya ia tidak perlu menjawab karena Yara sudah merebut paperbag berisi kotak bekal sekali pakai transparan itu.
"Yuk, makan!"
Alvi mengekor di belakang Yara.
Tidak terhitung berapa orang yang menengok ke arah mereka berdua. Perbedaannya seperti langit dan bumi.
"Haah.. tetep gak bisa biasa. Padahal kalo jalan sama Fana juga mirip-mirip gini," pikir Alvi, ngedumel.
Bedanya, jika berjalan dengan Fana hanya laki-laki yang menengok ke arahnya. Jika berjalan dengan Yara, laki-laki dan perempuan akan menengok ke arahnya. Tidak heran. Kalau lihat sekilas, Yara terlihat tampan.
"Oh iya, besok lu kemana, Vi?"
"Gue diajak ke rumah sepupu sama orang tua. Kenapa? Kalo lo kemana?"
"Yah sayang sekalii. Padahal gua mau ajak lu nonton tanding,"
"Tanding? Tanding silat? Lo yang tanding?"
"Iyess," jawab Yara.
Sebenarnya tawaran itu menarik. Selama ini, Yara seringkali dipanggil ke podium tiap upacara untuk apresiasi dari kepala sekolah. Kepala sekolah senang kalau ada siswa berprestasi yang baru memenangkan lomba, apa saja bidangnya. Makanya ia akan dipanggil dan dibangga-banggakan di depan anak lainnya. Sekalian jadi motivasi buat siswa lainnya untuk berprestasi.
Alvi tertarik melihat seberapa kuat Yara saat bertanding sampai-sampai ia selalu memenangkan perlombaan silat.
Biar begitu, ia sudah punya agenda lain dan ia tidak berani datang ke perlombaan olahraga sendiri.
Tidak kebayang seberapa banyak bisikan yang akan ia dengar disana.
"Lu gak perlu kepaksa dateng kok. Kalo lu udah ada acara yaudah," kata Yara.
"Makasih ya, Vi. Bekelnya enak!" puji Yara.
Alvi hanya tersenyum.
---
"Hai, Vi!"
"..nadya?"
"Nadya!" panggil Alvi bersemangat.
Nadya masih menyapanya dengan suara yang menenangkan dan senyuman ramah. Alvi sudah lama tidak mendendengarnya.
"Lo dari mana aja, Nad! Gue kangen sama lo!" Alvi berseru senang.
"Haha, gue gak kemana-mana. Lo aja udah gak pernah ke kelas gue buat ngeliatin Yuza lagi," jawab Nadya dengan ramah.
"Haha, iya juga sih!"
"Tapi Lo juga jarang keliatan di halte akhir-akhir ini!" bela Alvi.
"Itu.. iya! Hahah!"
Mereka berdua tertawa ramah sampai beberapa detik.
"Jadi... lo... gak marah kan sama gue?" Alvi bertanya dengan lirih.
Nadya mengerutkan dahinya.
"Kapan gue pernah marah sama lo?"
Alvi terdiam.
"...gue kira lo marah sama gue. Abisnya semenjak... itu... lo gak ngehubungi gue juga. Lo gak bilang apa-apa sama gue," jelas Alvi lirih.
"Haha! Enggak lah, Vi. Yang ada gue minta maaf karena temen sebangku gue ngomong kayak gitu. Maaf, ya. Dia biasanya diem, tapi hari itu lagi ada masalah, makanya dia jahat ke elu. Yah, walau itu juga bukan alasan sih," jelas Nadya.
"Gak apa-apa. Gue udah maafin kok," jawab Alvi.
Bohong.
Kata-kata teman sebangku Nadya itulah yang membuatnya menggunakan seperempat botol parfum tiap berangkat sekolah. Tapi Alvi tidak mau Nadya mengetahui itu.
"Makasih ya, Vi," kata Nadya dengan lembut. Alvi membalasnya dengan senyum.
Tiba-tiba, senyum jahil tersungging di bibir Nadya.
"Tebak, Vi, menurut lo angkot keberapa yang sepi?" tanya Nadya.
"Mmm.. ketiga?"
Mereka akhirnya pulang setelah menunggu 7 angkot yang penuh.
---
Hari ini hari Minggu.
Yara sedang bertanding, sedangkan Alvi sedang mengunjungi rumah sepupunya.
Rumah sepupu Alvi sangat besar dan lega. Terasnya luas dan banyak kursi. Begitu juga dengan ruang tamunya. Kelihatan sekali Om dan Tante-nya sangat suka mengundang orang dengan jumlah banyak ke rumah. Kehidupan sosial mereka sangat baik. Kali ini, banyak sekali tamu yang tidak Alvi kenal wajahnya ikut berkumpul melingkari Om dan Tante-nya Alvi.
Sepertinya mau ada acara besar.
"Alvii, ya ampun udah besar aja!" sapa Tante.
"Shh! Jangan ngomong gitu di depan dia!" Om menegur istrinya dengan volume rendah.
Alvi geleng-geleng kepala.
"Eh, main sama sepupu-mu dulu ya! Kami yang tua tua mau ngobrol sambil ngerokok," kata Om-nya Alvi.
Alvi mengangguk patuh dan mengajak sepupunya yang masih berumur 5 tahun itu masuk ke ruang tamu.
"??? Ndut?"
Ia tiba-tiba mendengar suara yang familiar.
"Hah? Yuza? Kok lo disini?" tanya Alvi kebingungan.
bersambung