Loading...
Logo TinLit
Read Story - Behind The Spotlight
MENU
About Us  

Malam semakin larut, tetapi cowok itu masih terjaga. Ucapan vocal coach tadi sore cukup membebani pikirannya. Mereka bicara banyak hal, bukan hanya tentang kualitas vokalnya, tetapi tentang nyawa dari lagu yang dia nyanyikan. Mereka melihat dan memahaminya, tetapi tidak merasakannya karena Alan membayangkan sendirian, bukan menerjemahkan lagunya, kemudian menyampaikan rasa yang sama pada mereka.

Kalimat lelaki yang akrab dipanggil Bang Jalu tadi siang terngiang kembali.

"Saya udah dengar suara kamu dan saya suka banget tipe suara seperti itu, tapi sayangnya kedengaran apa, ya? Kosong?" Melihat Alan kebingungan, Jalu melanjutkan ucapannya. "Seperti kamu bercerita tentang sesuatu, meyakinkan, tapi bukan itu isinya. Ngerti nggak maksud saya? Ketika menyanyi, apa yang kamu bayangkan?"

"Kalau sedih, bayangin almarhum Ayah. Kalau senang bayangin mimpi saya yang terwujud."

Pembicaraan mereka semakin menarik. Sekarang dia tahu mengapa Alan menghayati lagunya, tetapi terlihat kosong. "Suara itu nggak pernah bohong, Alan. Kami melihatnya, tapi kami tidak merasakannya karena bukan itu isi lagunya."

Alan menghela napas. Bagaimana dia mencoba memberi nyawa pada lagu-lagu tersebut jika dia saja tidak mau lebih dalam menerjemahkan, cukup tahu maknanya, kemudian membayangkan dua hal yang disebutkan sang bunda? Alan sampai diberi tugas untuk mendeskripsikan dirinya sebab sampai detik ini Alan belum tahu lagu apa yang akan dibawakan untuk challenge pertama nanti.

Lelaki itu meliarkan pandangannya, memindai selingkar. Ren belum terlihat sejak mereka selesai berlatih tadi. Di mana anak itu? Alan bangkit dari posisinya, lantas keluar kamar. Beberapa titik sudah tampak gelap, terlebih kamar masing-masing peserta. Hanya satu ruangan yang masih tampak menyala. Ruang latihan. Dia berjalan mengendap ke dekat ruangan itu, kemudian mengintip dari jendela. Ternyata benar, Ren masih di sana.

Anak itu bernyanyi sembari memetik gitar, tetapi kemudian terbengong lama. Dia tampak frustrasi, entah karena apa. Terdorong rasa penasaran, Alan masuk ke ruangan tersebut, membuat Ren yang semula duduk bengong terkejut melihat kedatangannya.

"Aa belum tidur?"

Alan menggeleng. "Lo masih latihan? Nggak bisa besok lagi emang?"

"Aku minder, A, lihat yang lain. Mereka hebat-hebat banget, termasuk Aa. Cuma aku yang modalnya pas-pasan dari segi mana pun. Jadi, aku harus berusaha lebih keras dibanding yang lainnya."

"Tapi, seenggaknya elo bisa menilai diri lo sendiri dan tau lagu apa yang bakal dibawain. Lagu yang emang cocok sama karakter dan benar-benar menggambarkan hidup lo. Kesempatan buat latihan juga lebih lama jadinya. Gue ... gue bahkan belum tau mau bawain lagu apa."

"Aa juga disuruh nulis, ya, sama Bang Jalu?"

Dengan cepat Alan mengangguk.

"Aku juga gitu tadi. Terus dikasih catatan ini."

Alan mulai membaca catatan Ren. Meskipun, sudah terkoyak karena dilipat asal, untungnya masih terbaca. Di sana hanya terdapat rentetan pertanyaan dan Ren sudah menulis masing-masing jawabannya.

1. Apa kelebihan kamu?
2. Apa kekurangan kamu?
3. Apa yang bikin kamu kuat?
4. Apa yang bikin kamu merasa rapuh?
5. Perasaan apa yang dominan saat ini?
6. Genre apa yang cocok dengan perasaan dan kondisi kamu saat ini?
7. Apa yang ingin kamu sampaikan ke penonton?
8. Jawab semua pertanyaan dengan jujur

"Ren, gue boleh salin ini?"

Anak itu mengangguk, lalu tersenyum manis, hingga tampak menggemaskan lesung pipinya. Alan pergi sebentar untuk membawa buku catatan, kemudian kembali dan mulai menyalin pertanyaan di sana ke dalam buku catatannya.

"Makasih." Alan kemudian duduk memisahkan diri dari Ren. Sebelum mulai mengisi, dia lebih dulu bertanya, "Lo keberatan nggak kalau gue di sini?"

Tegas, Ren menggeleng. Dia malah senang karena merasa ditemani.

Tangan kanan pemuda itu mulai bergerak mengisi pertanyaan demi pertanyaan yang tertera. Siapa sangka pertanyaan sesederhana itu sulit sekali menjawabnya. Mungkin karena Alan tidak suka terlalu banyak bicara, apalagi menjelaskan tentang dirinya. Satu-satunya yang bisa membantu hanya poin nomor delapan. Jujur. Jadi, Alan berusaha menjawab semua pertanyaan itu dengan jujur.

1. Apa kelebihan kamu?
Aku ... suka musik. Aku merasa hidup dengan bermusik.

2. Apa kekurangan kamu?
Aku lebih suka nggak terlihat
Aku nggak suka ngobrol terlalu banyak
Social energy-ku minim dan pemulihannya lama

3. Apa yang bikin kamu kuat
Ayah dan kenangannya

4. Apa yang bikin kamu merasa rapuh
Ayah dan kepergiaannya.

5. Perasaan apa yang dominan saat ini?
Kosong, nggak punya motivasi, takut gagal.

6. Genre apa yang cocok dengan perasaan dan kondisi kamu saat ini?
Aku suka rock, pop, tapi untuk saat ini ... ballad? Yang pelan dan patah.

7. Apa yang ingin kamu sampaikan ke penonton?
Perasaan kesepian, kosong, dan aku yang bukan diriku sepenuhnya. Mereka mau nggak menerima aku yang seperti ini?

Melihat Alan yang hanya duduk diam setelah mengisi semua pertanyaan di buku catatannya, Ren menyimpan gitarnya, kemudian bergerak mendekat. "Udah Aa jawab semua?" tanyanya.

Sebelumnya, Alan berniat menyembunyikan, tetapi melihat Ren begitu terbuka padanya, hati kecilnya tergerak untuk bicara. "Udah. Menurut lo gimana?" tanyanya sembari menunjukkan isi buku catatannya. "Ada lagu yang kepikiran dari awal. Tapi, gue ragu bawain lagu itu."

Sekali lagi, lagu Last Child yang berjudul “Diary Depresiku” terlintas di kepalanya. Meskipun tidak seratus persen menggambarkan tentang bagaimana Alan sekarang, lagu itu merupakan manifestasi dari semua lukanya.

"Aku juga awalnya bingung, A. Tapi, pas kebayang wajah Bapak, aku langsung tau mau bawain lagu apa. Aku lagi kangen Bapak, jadi cuma itu yang bisa aku ekspresikan buat penampilan nanti."

"Lo anak tunggal?"

Ren menggeleng. "Aku anak bungsu dari tiga bersaudara. Aku punya dua kakak dan mereka udah nikah semua. Jadi, di rumah cuma ada aku, Bapak, sama Ibu. Kebayang gimana repotnya Ibu selama aku nggak di sana. Bapak stroke dari aku pertama jadi trainee. Makanya, sekarang harus berhasil biar Bapak bangga dan aku bisa ngasih kehidupan yang lebih layak buat mereka."

Tujuan mereka secara garis besar sama. Memperbaiki hidup. Bedanya, Ren lebih tulus sebab anak itu mendapatkan segalanya sekalipun kedua orang tuanya memiliki keterbatasan, sedangkan Alan hanya budak ambisi.

Alasan mengapa sang bunda memintanya menyanyi karena menyanyi itu gratis, tidak membutuhkan modal besar seperti main drum. Orang dengan kesulitan ekonomi seperti bundanya pasti realistis, mana yang mengeluarkan biaya seminimal mungkin dan menghasilkan lebih banyak, itu yang dipilih. Sementara bermain drum dianggap tidak memiliki pengaruh apa pun untuk hidup mereka.

"Aa sendiri? Anak tunggal?"

"Iya."

"Enak dong. Pasti dimanja," kata Ren sembari tertawa lebar. "Orang tua masih lengkap?"

"Ayah udah nggak ada. Tinggal Bunda."

"Eh, sorry."

"Nggak masalah. Gue udah biasa kayak gitu bertahun-tahun. Mereka nggak nanya, jadi gue nggak merasa harus ngasih tau atau menjelaskan apa pun. Beda sama lo sekarang. Lo mau nanya."

Demi Tuhan, Ren juga tidak pernah memikirkan hal itu sebelumnya. Saat mereka masih trainee Alan cenderung pendiam dan sulit didekati. Jadi, Ren ragu untuk berusaha lebih dekat. Cowok itu kemudian membaca kembali buku catatan Alan, dan benar ... Alan hancur setelah kepergian ayahnya. Segala sesuatu terbentuk bukan tanpa dasar. Sikap dingin Alan dan kebiasaannya menyendiri, salah satu bentuk perlindungan diri agar tidak semua orang berhasil menjamah lukanya. Tak tampak berdarah-darah memang, tetapi Ren tahu ... setiap disentuh, tetap sama sakitnya.

"A?"

"Hm?"

"Temenan, yuk?"

Sepasang alis tebal Alan saling bertaut. "Temenan? Bukannya udah?"

Remaja enam belas tahun itu menggerakkan tangganya di depan dada Alan, seperti membuka sesuatu, beranalog seolah di dada lelaki itu terletak sebuah pintu, dan dia menggenggam kuncinya. "Udah aku buka, kuncinya aku bawa. Nggak akan aku balikin. Pokoknya kita harus temenan sampai akhir. Berteman, dan minimal punya satu orang yang bisa dipercaya buat cerita nggak seburuk itu kok. Anggap aku orang itu. Aa boleh cerita apa pun."

Untuk sesaat Alan terpana. Ren orang pertama yang mengatakannya. Selama ini, tidak ada yang tahan dengan kepribadian Alan yang terlalu pendiam. Mereka menganggap Alan seram. Sama sekali tidak cocok dijadikan teman apalagi sandaran. Namun, Ren malah ingin mereka berteman. Berarti Ren adalah teman pertamanya, bukan?

***

Berbeda dengan pertemuan sebelumnya yang sangat pasif, kali ini Alan cenderung aktif memberi ide kreatif mengenai penampilannya nanti. Lagu “Diary Depresiku” pada akhirnya menjadi pilihan. Walaupun berat sungguh harus menjadikan luka yang selama ini dia sembunyikan sebagai tontonan.

Bang Jalu dan sang arranger tampak antusias mendengar semua yang Alan sampaikan. Dia tampak benar-benar berbeda dengan orang yang kemarin mereka temui. Belum sepenuhnya, tapi berani jujur dengan dirinya sendiri merupakan kemajuan besar.

"Kita coba, ya? Ide kamu udah bagus banget dan saya bisa membayangkan seperti apa nantinya," ujar Bang Jalu.

Alan mengangguk. Dengan hati-hati dia beralih ke sisi sebuah keyboard, kemudian mulai memainkan intro dari lagu tersebut.

"Jangan lupa nyawanya, ya, Lan." Bang Jalu kembali bersuara.

Malam ini hujan turun lagi
Bersama kenangan yang ungkit luka di hati
Luka yang harusnya dapat terobati
Yang kuharap tiada pernah terjadi

Jalu memperhatikan dalam-dalam. Ekspresi remaja di hadapannya mulai berubah bait demi bait. Bagaimana cara dia bernyanyi, menatap, sanggup menularkan rasa sakit dari setiap kata yang terucap. Lelaki itu berdecak kagum melihat Alan hari ini.

"Bagus, Alan! Ini yang saya maksud kemarin. Pertahankan sampai hari Sabtu nanti. Udah bagus banget, tapi jangan biarkan perasaan kamu menguasai diri kamu karena itu bisa berpengaruh besar terhadap suara kamu. Kamu harus tetap kontrol. Tapi, untuk hari ini kamu luar biasa. Kamu benar-benar keluar dari Alan yang kemarin. Good job!" komentarnya setelah Alan berhasil menyelesaikan lagu tersebut.

"Makasih, Bang."

"Kamu punya potensi besar. Jadi, jangan disia-siakan. Lakukan yang terbaik yang kamu bisa di setiap penampilan. Karena dengan cara itu kamu bisa bertahan sampai akhir."

Alan berusaha tersenyum, kemudian mengangguk.

"Sekarang panggilkan Sean, ya. Kamu boleh istirahat dulu."

Alan keluar dari ruang latihan dengan perasaan yang sulit dijelaskan. Setelah memanggil Sean, dengan sedikit tergesa cowok itu masuk ke dalam salah satu bilik toilet cowok, membungkuk di depan kloset, kemudian memuntahkan isi lambungnya di sana. Ternyata, bernyanyi dengan jiwa jauh lebih sulit dibanding sekadar membayangkan kekecewaan sang ayah seperti biasa. Bukan hanya bayangan ayahnya yang tampak, deret kenangannya pun berputar otomatis di kepalanya.

Lagi, Alan membuka mulut, membiarkan cairan lambungnya menggila. Bagaimana dia bisa melakukannya nanti jika hari ini yang belum seserius itu pun dia kepayahan? Bagaimana jika nanti dia gagal? Alan takut mengecewakan semua orang, terutama mereka yang berekspektasi tinggi terhadapnya.

"A!"

Seseorang mengetuk pintu kamar mandi dengan rusuh, membuat semua pikiran buruk di kepala Alan lenyap untuk sesaat. Yakin tidak akan muntah lagi, dia langsung bangkit, kemudian keluar dari bilik kamar mandi dengan wajah pucat serta banjir keringat.

Rupanya dua bocil menunggu, Ren dan Sakha.

"Kenapa?" tanya Alan dengan napas terengah.

Dia berjalan ke arah wastafel, kemudian membasuh wajahnya di sana.

"Aa yang kenapa?" tanya Ren.

Alan menggeleng sembari mengeringkan wajahnya yang basah. Nyaris tidak mungkin Alan bilang bahwa apa yang terjadi saat ini hanya karena dia terlalu mendalami lagu pilihannya.

"Aa sakit? Kalau sakit, nanti aku bilang sama staff biar kita berobat."

"Eh, nggak. Nggak usah. Gue nggak apa-apa."

"Beneran?"

Cowok itu mengangguk. "Kalian udah selesai emang? Malah pada ke sini."

"Kita khawatir tau," ujar Sakha jujur. Di antara yang lain, meskipun terkesan cuek, tapi nyatanya Alan paling peduli padanya.

"Mau dibikinin teh hangat nggak?" Gantian Ren yang bicara.

"Nggak usah. Udah enakan kok."

"A, kalau ada apa-apa, ingat apa yang aku bilang kemarin."

"Iya, bawel," sahut Alan sembari mengusap puncak kepala Ren dan Sakha bergantian. "Kalian latihan lagi sana."

"Iya. Tapi, janji, ya? Kita teman, oke?"

"Iya, kita teman."

Setelah puas mendengar jawaban Alan, kedua anak itu pergi, membuat Alan tersenyum tanpa sadar. Dia tidak tahu apakah suatu saat dia tidak akan menyesali semua ini?

How do you feel about this chapter?

3 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (12)
  • serelan

    Bertahan sampai akhir, Lan... Aku dukung kamu buat maju terus... dua bayi juga berusaha bertahan sampai akhir yaa... saling dukung terus...

    Comment on chapter Chapter 6 - Hal baru
  • vella

    Alan, kamu tetep semangat yaa, omongan orang iri nggk usah di masukin ke hati, biarkan jadi angin lalu.

    Comment on chapter Chapter 5 - Menjual kisah sedih, katanya
  • nazladinaditya

    Go alan!! u can do it, emg yg paling bagus itu tampil otentik alias jujur dari hati, jgn dengerin orang lain yg hatinya busuk. Terima kasih sudah bertahan, alann! šŸ¤

    Comment on chapter Chapter 5 - Menjual kisah sedih, katanya
  • serelan

    Wah, wah, waahhh.... Ada yang gak suka liat keberhasilan Alan. Sean ini emang sifatnya jelek kya gitu atau gimana ya? Kalau emang aslinya gitu knp bukan dia aja sih yg keluar. Eh tapi kalo gak ada konflik ntar gak rame ya.. Tapi asli jahat banget itu mulutnya... Alan diem, tapi hatinya pasti sakit itu... 🄺

    Comment on chapter Chapter 5 - Menjual kisah sedih, katanya
  • serelan

    Semangat semuanya, tampilkan yang terbaik sebagai jalan meraih mimpi kalian...
    Buat bundanya Alan, lewat lagu yang dinyanyikan Alan semoga beliau sadar tentang kesulitan dan sakit yang selama ini dirasakan Alan Lagu itu bukan hanya sekedar topeng untuk menarik empati tapi memang bener² mewakilkan apa yang Alan rasakan...

    Comment on chapter Chapter 4 - Diary depresiku
  • etika_tika

    Teh alaan jangan dibikin ubiii

    Comment on chapter Chapter 3 - Kita teman?
  • serelan

    Kuat ya Lan, mencoba membuka kelemahan & kesakitan kita ke orang lain itu gak mudah, apalagi buat orang yang emang sifat dasarnya tertutup. Buat bercerita tentang apa yang dirasakan aja udh sulit banget terkadang mikir lebih baik cuma kita aja yg tau dan ngerasain. Tapi andaikan ada orang yang tepat hadir dan bisa buat kita nyaman berbagi perasaan pasti itu lebih baik. Semoga Ren bisa jadi orang itu ya Lan...

    Comment on chapter Chapter 3 - Kita teman?
  • serelan

    Dipaksa buat ngelakuin sesuatu yg gak kita suka tuh bener² jadi beban banget. Kalo aku udh nyerah sepertinya. Apalagi buat seorang introvert tuh waktu me time bener² berharga banget setelah lelah menghadapi banyak org bener² harus ada waktu sendirian buat charge tenaga. Lebih enak ngabisin waktu sendirian d kamar daripada ngadepin banyak org.

    Comment on chapter Chapter 2 - Challenge pertama
  • nazladinaditya

    wkwkwk i feel u, alan. ngerjain sesuatu yang bukan keinginan kita emg senyebelin ituuuu

    Comment on chapter Chapter 2 - Challenge pertama
  • serelan

    Alan ikut audisi karena suruhan Bundanya kah? Santai banget sepertinya, pasrah banget sama hasilnya.. tapi biasanya yang begini malah lolos nih🤭

    Comment on chapter Chapter 1 - Alan versi lebih hidup
Similar Tags
Bittersweet Memories
47      47     1     
Mystery
Sejak kecil, Aksa selalu berbagi segalanya dengan Arka. Tawa, rahasia, bahkan bisikan di benaknya. Hanya Aksa yang bisa melihat dan merasakan kehadirannya yang begitu nyata. Arka adalah kembarannya yang tak kasatmata, sahabat sekaligus bayangan yang selalu mengikuti. Namun, realitas Aksa mulai retak. Ingatan-ingatan kabur, tindakan-tindakan di luar kendali, dan mimpi-mimpi aneh yang terasa lebih...
Senja di Balik Jendela Berembun
23      23     0     
Inspirational
Senja di Balik Jendela Berembun Mentari merayap perlahan di balik awan kelabu, meninggalkan jejak jingga yang memudar di cakrawala. Hujan turun rintik-rintik sejak sore, membasahi kaca jendela kamar yang berembun. Di baliknya, Arya duduk termangu, secangkir teh chamomile di tangannya yang mulai mendingin. Usianya baru dua puluh lima, namun beban di pundaknya terasa seperti telah ...
Kertas Remuk
139      112     0     
Non Fiction
Tata bukan perempuan istimewa. Tata nya manusia biasa yang banyak salah dalam langkah dan tindakannya. Tata hanya perempuan berjiwa rapuh yang seringkali digoda oleh bencana. Dia bernama Tata, yang tidak ingin diperjelas siapa nama lengkapnya. Dia hanya ingin kehidupan yang seimbang dan selaras sebagaimana mestinya. Tata bukan tak mampu untuk melangkah lebih maju, namun alur cerita itulah yang me...
The Call(er)
1691      1023     10     
Fantasy
Ketika cinta bukan sekadar perasaan, tapi menjadi sumber kekuatan yang bisa menyelamatkan atau bahkan menghancurkan segalanya. Freya Amethys, seorang Match Breaker, hidup untuk menghancurkan ikatan yang dianggap salah. Raka Aditama, seorang siswa SMA, yang selama ini merahasiakan kekuatan sebagai Match Maker, diciptakan untuk menyatukan pasangan yang ditakdirkan. Mereka seharusnya saling bert...
Annyeong Jimin
29909      4047     27     
Fan Fiction
Aku menyukaimu Jimin, bukan Jungkook... Bisakah kita bersama... Bisakah kau tinggal lebih lama... Bagaimana nanti jika kau pergi? Jimin...Pikirkan aku. cerita tentang rahasia cinta dan rahasia kehidupan seorang Jimin Annyeong Jimin and Good Bye Jimin
Catatan Takdirku
1199      736     6     
Humor
Seorang pemuda yang menjaladi hidupnya dengan santai, terlalu santai. Mengira semuanya akan baik-baik saja, ia mengambil keputusan sembarangan, tanpa pertimbangan dan rencana. sampai suatu hari dirinya terbangun di masa depan ketika dia sudah dewasa. Ternyata masa depan yang ia kira akan baik-baik saja hanya dengan menjalaninya berbeda jauh dari dugaannya. Ia terbangun sebegai pengamen. Dan i...
To the Bone S2
526      377     1     
Romance
Jangan lupa baca S1 nya yah.. Udah aku upload juga .... To the Bone (untuk yang penah menjadi segalanya) > Kita tidak salah, Chris. Kita hanya salah waktu. Salah takdir. Tapi cintamu, bukan sesuatu yang ingin aku lupakan. Aku hanya ingin menyimpannya. Di tempat yang tidak mengganggu langkahku ke depan. Christian menatap mata Nafa, yang dulu selalu membuatnya merasa pulang. > Kau ...
Our Perfect Times
1087      755     8     
Inspirational
Keiza Mazaya, seorang cewek SMK yang ingin teman sebangkunya, Radhina atau Radhi kembali menjadi normal. Normal dalam artian; berhenti bolos, berhenti melawan guru dan berhenti kabur dari rumah! Hal itu ia lakukan karena melihat perubahan Radhi yang sangat drastis. Kelas satu masih baik-baik saja, kelas dua sudah berani menyembunyikan rokok di dalam tas-nya! Keiza tahu, penyebab kekacauan itu ...
Kini Hidup Kembali
80      70     1     
Inspirational
Sebenarnya apa makna rumah bagi seorang anak? Tempat mengadu luka? Bangunan yang selalu ada ketika kamu lelah dengan dunia? Atau jelmaan neraka? Barangkali, Lesta pikir pilihan terakhir adalah yang paling mendekati dunianya. Rumah adalah tempat yang inginnya selalu dihindari. Namun, ia tidak bisa pergi ke mana-mana lagi.
No Longer the Same
420      315     1     
True Story
Sejak ibunya pergi, dunia Hafa terasa runtuh pelan-pelan. Rumah yang dulu hangat dan penuh tawa kini hanya menyisakan gema langkah yang dingin. Ayah tirinya membawa perempuan lain ke dalam rumah, seolah menghapus jejak kenangan yang pernah hidup bersama ibunya yang wafat karena kanker. Kakak dan abang yang dulu ia andalkan kini sibuk dengan urusan mereka sendiri, dan ayah kandungnya terlalu jauh ...