Bab 35 — Papa
---
Ulang tahunku ke-17 jatuh di hari Kamis. Sederhana aja. Nggak ada pesta. Cuma ucapan dari Ayah, Ibu, Raka, dan Reza, kue tart kecil dari Samudra, dan pelukan dari Sarah yang terlalu kencang sampai aku susah napas.
“Selamat ulang tahun, Ri. Kamu makin tua, tapi semoga makin kuat, ya,” celetuk Jeno sambil nyodorin kotak kecil berisi gantungan kunci berbentuk buku.
Samudra juga ngasih bingkisan. Isinya jurnal kosong warna hitam, “Tulis apa pun yang mau kamu simpan, tapi nggak bisa kamu ucapin,” katanya pelan. Aku senyum kecil. Nggak tahu harus jawab apa.
Hari itu berakhir seperti hari-hari biasa. Nggak ada yang terlalu spesial. Ibu cuma ngucapin selamat pagi-pagi, lalu bilang, “Kado Ibu nyusul, ya.” Aku ngangguk aja, tanpa tanya lebih.
---
Dua hari kemudian, Sabtu sore, Ibu masuk ke kamarku. Membawa kotak kayu jati, ukurannya sedang. Ditaruhnya pelan-pelan di meja belajarku.
Aku duduk tegak, penasaran.
“Ini... dari Papa kamu,” katanya pelan. Suaranya terdengar berat. Seolah memang kotak itu menyimpan lebih dari sekadar benda—ada kenangan di dalamnya.
Aku melirik kotaknya. Ada ukiran halus di bagian atas:
“Untuk Rika, putriku.”
Tanganku gemetar waktu membuka tutupnya. Di dalamnya ada selembar foto lama—Papa, Mama, dan aku kecil. Aku baru tiga tahun. Digendong Papa sambil senyum lebar. Aku yang kecil juga senyum, padahal biasanya aku takut kamera.
Lalu... ada pita rambut besar warna merah. Jahitannya masih terlihat. Agak miring, tapi rapi. Jahitan cinta.
Aku pegang perlahan, membayangkan tangan Papa yang mengerjakannya saat aku berumur empat tahun. Terakhir, ada secarik kertas yang dilipat rapi. Kertas tua, tapi masih utuh. Aku buka pelan-pelan. Tulisan tangan Papa. Tinta hitam, huruf tegak bersambung.
~
> "Selamat ulang tahun, Rika, putri kecil Papa :).
Hari ini mungkin kamu belum bisa baca ini. Tapi Papa titip surat ini buat kamu baca nanti—di ulang tahunmu yang ke-17 dan seterusnya.
Kalau surat ini sampai ke tanganmu... mungkin berarti Papa udah nggak bisa temani kamu lagi. Tapi kamu harus tahu: cinta Papa nggak pernah selesai. Papa akan selalu ada dalam hati dan ingatanmu, putri kecil Papa.
Setiap tahun, setiap ulang tahunmu, Papa selalu bayangkan kamu bertumbuh—dari anak kecil yang suka nempel, jadi remaja yang mulai cari jati diri.
Kamu pasti udah mulai capek sama dunia, ya? Kadang marah tanpa alasan. Kadang ngerasa sepi, padahal banyak orang. Tapi kamu tetap Rika, yang hatinya hangat... meskipun kadang kamu sendiri lupa. Kamu nggak harus jadi sempurna, Rika. Nggak harus kuat terus. Tapi kamu harus jujur. Terutama ke diri sendiri.
Kalau suatu hari kamu mulai kehilangan arah, ingat... kamu lahir dari cinta. Cinta yang Papa dan Mama punya buat kamu. Dan cinta itu nggak akan pernah mati.
Simpan pita ini, Rika. Papa jahit sendiri, waktu kamu umur empat tahun. Nggak bagus-bagus amat. Tapi waktu itu kamu senang banget pas nyoba. Kamu putar-putar di depan cermin dan bilang, 'Aku cantik kayak Mama.'
Dan kamu memang cantik. Di luar, tapi juga di dalam. Jangan takut tumbuh. Jangan takut berubah. Dan jangan takut buat menyuarakan perasaanmu. Tapi jangan pernah lari dari siapa kamu sebenarnya.
Papa sayang kamu. Selalu."
—Salam hangat, Papamu :D.
---
Aku tutup surat itu dengan napas berat. Tanganku masih gemetar. Mataku panas. Untuk pertama kalinya dalam waktu yang lama, aku nangis tanpa alasan.
Nggak karena panik. Nggak karena suara-suara di kepalaku. Tapi karena... aku merasa dicintai.
Bukan cuma hari ini. Tapi jauh sebelum aku paham arti cinta itu sendiri.
Aku peluk kotaknya. Lama. Seakan-akan memeluk Papa. Berbagai memori yang sebelumnya nggak pernah kulihat mulai muncul dalam pikiranku.
Seolah Rana—alterku, membagi ingatan yang selama ini ia simpan sendiri... lalu akhirnya diberikan padaku.
“Terima kasih, Pa,” bisikku.
“Aku akan jaga semuanya... termasuk diriku.” Dan untuk pertama kalinya juga, suara-suara di dalamku... ikut diam.
Seolah mereka juga sedang membaca. Dan merasa tenang. Seperti aku.
Memelukku. Dan terus menemaniku... untuk seterusnya, selamanya.
[Bersambung]