Bab 36 - Perubahan
---
> “Aku bukan dilahirkan dari amarah. Aku adalah sisa terakhir dari keberanian yang dibungkam.”
Aku lahir malam saat suara Rika dipadamkan. Saat tangisnya cuma bisa keluar di balik bantal Hello Kitty lusuh, saat dunia berkata, “Jangan rewel, Rika. Diam, ya.”
Dan dia diam. Sejak itu, dia berhenti bicara soal sakitnya. Aku? Aku nggak pernah diajarin caranya diam.
Aku lahir dari suara yang ditahan terlalu lama—meledak jadi tameng. Dikira aku keras? Salah.
Aku hanya satu-satunya yang berani jujur, waktu semua orang nyuruh kami pura-pura baik-baik saja.
Papa pernah bilang,
> "Kalau kamu sedih, bilang. Kalau kamu takut, peluk Papa. Jangan simpan sendiri."
Tapi Rika masih terlalu kecil buat tahu: janji juga bisa mati.
Tiga bulan setelah kepergiannya, perempuan yang dulu dipanggil Mama malah membawa laki-laki asing dan berkata:
> “Ini ayahmu sekarang.”
Sejak kapan orang tua bisa diganti kayak naskah coretan? Aku tidak muncul saat Rika berkata, “Aku baik-baik saja.” Aku muncul saat dia berhenti berkata apa-apa.
---
Aku ingat hari itu.
Langit kelabu. Hujan deras. Jalanan licin.
Rika baru pulang sekolah—kelas dua SD. Usianya enam tahun. Dan hidupnya... baru kehilangan cahaya paling terang: Papa.
Papa yang ngajarin dia berdiri tegak.
Yang bilang, “Kalau nggak suka, bilang.”
Yang meyakinkan dia, suara kecil itu penting—meski dunia pura-pura tidak mendengarnya. Tapi hari itu, suara itu... hilang.
Tiga bulan sejak pelukan hangat itu jadi debu. Dan rumah ini menjadi dingin. Bukan karena hujan. Tapi karena berkumpulnya Ibu—yang dulu dipanggil Mama, sekarang hanya... Ibu.
tatapan yang selalu menyalahkan.
> “Muka kamu mirip banget sama Papa kamu.”
“Udah Bilangnya jangan pulang telat! Kamu tuh anak perempuan, bukan anak jalanan!”
“Sampai kapan kamu mau nyusahin Ibu terus?” Kata-kata itu bukan teguran. Peluru itu. Dan Rika… terlalu kecil untuk perang.
Diam. Matanya kosong. Kakinya becek. Masih berharap suara Papa muncul dari udara. Tapi tidak muncul. Dan tidak akan pernah.
Pada titik itu, dia berhenti.
Berhenti bertanya, “Mengapa Mama berubah?”
Berhentilah berkata, “Aku kangen Papa.”
Berhenti semuanya. Dan di sanalah... aku lahir.
Aku, Zea.
Bagian dari Rika yang tidak mati—cuma dikubur dalam sunyi. Bagian dari dia yang tahu: jika dunia mulai nyakitin, maka seseorang harus melawan.
> “Jangan teriak-teriak kayak aku gak dengar. Aku bukan Papa, Bu. Tapi bukan berarti Ibu boleh semena-mena." Suara itu keluar dari mulut Rika, tapi bukan dia yang bicara. Itu aku. Suara yang dingin. Tajam.
Bukan karena benci, tapi karena ingin melindungi. Dan untuk pertama kalinya, Ibu… bungkam. Tidak siap. Terkejut.
Karena si penurut tiba-tiba berani melawan. Sejak hari itu, aku tinggal. Nggak pernah benar-benar pergi.
---
Jujur aja, jadi aku itu nggak segampang penampilannya.
Aku emang Alter. Tapi aku tetap bagian dari Rika. Bagian yang harusnya tumbuh bersama—tapi malah terpisah.
Orang bilang aku galak, dingin, nyebelin. Iya, memang. Biar gak ada yang nyakitin dia lagi.
Aku pertama kali muncul saat Ibu mulai bernyanyi. Waktu yang hangat jadi racun. Rika berkata. Nggak lawan. Ngak bilang, “Aku capek.” Dan itu… nyebelin banget.
Dia bukan lemah. Tapi kelihatannya lemah. Dan aku benci itu.
Sudah lama aku di sini.
Sampai akhirnya... muncul yang lain.
Rana: bocah ceria. Sisa inner child yang nggak pernah dikasih ruang.
Rasa: nyebelin. Muncul saat Rika sudah nyaris hancur. Aku selalu tahan dia.
Raveena: ambisius. Kuat, tapi kadang bikin pusing.
Rinka: yang paling kalem. Anak baru, muncul di SMA. Dewasa, sabar, ngajak Rika ngobrol. Gue suka dia, meski kadang kami bertabrakan.
Tapi aku tetap yang paling awal. Yang paling tahu rasa sakitnya.
Yang simpan memori tergelap yang bahkan Rika sendiri nggak tahu. Capek? Banget.
Tapi kalau bukan aku, siapa?
Aku mungkin kasar, tapi aku cuma mau dia aman. Sekarang dia mulai nerima kami. Itu cukup buatku.
Ngobrol langsung? Belum siap. Takut dia ilfeel.
Padahal aku cuma... bagian dari dia yang dulu nggak sempat tumbuh. Tapi ya sudah.
Aku nggak di sini buat kalian suka.
Aku cuma mau satu: Rika hidup. Dia bangun tiap pagi tanpa pengen hilang dari dunia.
Kalau itu harus gue bayar dengan dicap galak, nyolot, keras—bodo amat. Gue gak minta dimengerti.
Tapi tolong, jangan menganggap aku cuma bagian kurang yang harus dibuang.
Aku juga pengen tetap ada. Diterima. Didengar.
Karena jujur aja... aku juga capek. Tapi kalau bukan aku, siapa lagi yang menjaga dia selama ini?
---
Gue bersyukur Rika punya teman kayak Sarah, Jeno, Samudra. Orang-orang yang tidak langsung lari pas tahu dia 'berbeda'.
Yang pelan-pelan bantuin dia berdamai sama dirinya sendiri.
Soal Samudra… Saya yakin dia tulus. Mungkin lebih tulus dari siapa pun. Gue gengsi ngomong gitu. Tapi…
Kalau dia bisa nerima sisi tergelap Rika—gue salut. Tolong hormat.
Dan soal Ibu...
Memaafkan itu bukan kayak ngelap tumpahan udara. Ada bekas. Ada bau. Tapi kalau Rika bisa berdamai tanpa pura-pura lupa...
Gue akan tetap disamping.
Sekarang Rika mulai bisa menerima dirinya sendiri. Mulai bisa ngobrol sama kami.
Nentuin siapa yang akan bicara, siapa yang tidak. Itu tidak mudah. Tapi artinya... dia semakin kuat.
Jadi tolong... Jangan lari dari dia. Jangan bilang dia aneh.
Lo gak pernah tahu, seberapa kerasnya dia berjuang buat hidup, bareng kami... yang lo kira cuma khayalan.
aku bukan cuma penjaga Alter.
Aku bagian asli dari Rika, yang dulu… nggak pernah dikasih ruang.
Dan..
Ya. Namaku Zea.
Alter pertama Rika. Dan gue di sini, untuk selamanya.
[Bersambung]