Bab 24 – Sarah
---
Hai semuanya, ini Sarah lagi.
Setelah beberapa hari curiga ada yang tidak beres dengan Rika, aku sempat bertanya pada Jeno dan akhirnya berakhir dengan Bu Ratri. Lalu, Rika tiba-tiba tidak masuk sekolah selama satu minggu tanpa kabar.
Saya sudah sangat khawatir. Sore itu, sepulang sekolah, Bu Ratri bilang padaku bahwa dia akan mengunjungi rumah Rika dan akan memberiku kabar setelahnya. Dari nada bicaranya, saya yakin beliau juga khawatir.
Setelah dijelaskan oleh Bu Ratri, saya langsung mencari informasi lebih jelas. Ternyata, memang ada catatan medis yang menyatakan bahwa Rika mengalami gangguan disosiatif.
Aku... aku baru tahu soal itu.
Kupikir selama ini Rika baik-baik saja. Tapi ternyata, dia menyimpan luka yang sangat dalam. Kenapa dia tidak pernah memberitahuku? Tidak pernah berbagi cerita?
Ya, aku tahu... Rika bukan tipe yang mudah terbuka. Aku juga tahu betapa sulitnya menceritakan masalah terbesar kita, bahkan kepada sahabat yang paling dekat.
Huft... segitu dulu. Ini hari Minggu. Aku tidak akan banyak bicara. Sebenarnya, sejak semalam aku sudah memikirkan Rika terus.
---
Hari Senin itu, aku duduk sebangku dengan Rika, tapi rasanya seperti duduk di sebelah orang asing.
Dia tidak seperti biasanya—matanya kosong, wajahnya datar tanpa ekspresi, dan dia nyaris tidak terlihat.
Aku coba menyapa pelan, tapi dia hanya membalas singkat.
Entah kenapa, ada sesuatu yang sangat berat di dalam dirinya—sesuatu yang belum sepenuhnya aku pahami. Bahkan saat istirahat, dia tidak ikut ke kantin. Ia hanya diam, mencatat sesuatu di bukunya.
Saya sempat mengintip sedikit, dan tulisan itu... aneh. Kalimatnya kira-kira seperti ini:
"Ada orang yang mulai sadar. Apa kita harus melakukan sesuatu?" Aku jadi khawatir.
Sebenarnya aku masih bingung—apa benar Rika memiliki kondisi khusus seperti yang Bu Ratri bilang?
Soalnya gejalanya... jujur saja, sedikit mirip dengan bipolar, bahkan kadang orang bisa salah paham dan menyertai ke hal-hal yang gaib.
Tapi sudahlah, ini baru hari pertama dia masuk.
Aku yakin besok dia akan kembali seperti Rika yang biasanya.
---
Aku salah. Salah besar.
Hari kedua, dan Rika masih sama. Diam. Bahkan saat anak-anak OSIS bertanya soal kegiatan berikutnya, dia hanya menjawab,
"Aku sedang tidak tahu. Tanyakan saja pada yang lain." Itu bukan Rika.
Seandainya aku lebih peka, lebih memahami dia, mungkin dia tidak akan seperti ini. Tapi... tidak apa-apa. Ini masih hari kedua.
Besok masih ada. Aku yakin—
———
Huft...
Aku mulai kehilangan harapan. Rika tetap seperti itu. Di mana-mana.
Dia seperti boneka berjalan. Kadang muncul kosong, kadang berbinar.
Kadang dia diam, lalu tiba-tiba menatap tajam, marah, sedih... atau bahkan mengajak orang lain berbicara dengan ramah seolah-olah tidak terjadi apa-apa.
Yang lain senang belum sadar. Atau mungkin mereka sadar... tapi memilih untuk mengabaikannya.
Aku dan Jeno sudah sering membahas ini lagi. Dia selalu menyemangatiku untuk tetap ada di sisi Rika.
Bu Ratri juga terus mengingatkanku, bahwa aku harus menjadi sistem pendukungnya. Tapi aku sendiri bingung. Aku harus bagaimana?
Hanya duduk di tempatnya? Tanpa tahu siapa yang sedang aku hadapi? Semuanya terasa membingungkan.
Dan karena aku sudah tidak tahan lagi, ketika kulihat Rika kembali ke kelas dalam keadaan murung—padahal tadi saat keluar dia tampak bersemangat—aku akhirnya memberanikan diri untuk bertanya.
“Rika… aku mau tanya,” ucapku pelan. Rika—atau mungkin bukan dirinya—menatap ke arahku dengan mata cokelat khasnya.
“Kenapa, Sarah?” tanyanya. Aku menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan.
"Kamu... akhir-akhir ini berubah. Berbeda. Sebenarnya, yang sedang berbicara denganku ini siapa? Kamu benar-benar Rika? Atau hanya... sesuatu dalam diri Rika yang sedang menyamar?"
Mata yang tadinya masih menyisakan sedikit cahaya tiba-tiba meredup. Kosong. dingin.
tatapannya tajam. Ia tidak menjawab kata pun. Hanya lihat, lalu perlahan-lahan miringkan wajah ke arah lain.
Uh... apa aku membuat kesalahan fatal?
~~
Pulang sekolah
Huft...
Kalian penasaran kan? Sebenarnya, sejak kapan aku mulai ttertarik bersababat sama Rika?
Kalian pasti sudah baca Bab 5 kan?
Di situ aku tiba-tiba saja menawarinya naik motor bersamaku waktu ban mobil ayahnya pecah. Sebenarnya, aku sudah memperhatikan Rika sejak awal—saat tes tulis masuk.
Sayangnya, saya tidak sempat menyapanya karena sibuk dengan teman-temanku. Tapi aku masih ingat betul wajahnya. Terutama matanya.
Mata coklatnya itu. Mungkin kalian juga bertanya, kenapa aku tetap ingin berteman dengan Rika?
Jawabannya... ya karena aku memang memilih sahabat berdasarkan insting. Dan entah kenapa, dari awal aku merasa Rika itu... menarik.
Diam, tajam, tapi tetap punya aura yang hangat. Sekarang? Entahlah...
Kalau kalian ragu, apakah aku akan tetap di sisinya atau tidak... Hah, tentu saja aku akan tetap ada untuknya. Sebagai sahabat.
Dan kalaupun aku harus berhadapan dengan 'diri lain' dari Rika, aku tidak masalah—asal Rika yang asli tetap bisa kembali dan tetap berteman denganku.
Aku tidak pernah memandangnya ke sebelah mata. Dia sudah seperti saudaraku sendiri. Padahal aku ini anak tunggal.
Rika... adalah perempuan pertama yang kutemui, yang begitu kuat. Saya sangat mempesonanya.
Sayangnya, dia agak people pleaser.
Kadang itu bikin aku kesal. Tapi aku tidak pernah bilang langsung ke dia. Selama aku ada di sisinya, dia tidak perlu jadi seperti itu, kan?
Ah... aku sudah sampai rumah. Mungkin Bab ini sampai sini dulu. Sampai jumpa besok.
Tanpa aku tahu... besok adalah hari yang benar-benar membuatku terluka juga.
[Bersambung]