Bab 25 — Menjauh
---
Pagi itu, bangku sebelahku kosong.
Padahal biasanya, dia yang paling duluan masuk kelas. Duduk manis di sampingku, nyender tipis ke meja, botol minumnya berdiri rapi di atas sudut kanan—penuh, seperti biasa. Dan terkadang, tanpa diminta, dia akan ngerapihin lengan bajuku yang suka ngelemprek, sambil ngomel-ngomel kecil dengan nada bercanda.
Tapi hari ini... tidak ada jejaknya di bangku itu.
Dan yang paling nyakitin, bukan soal dia nggak duduk di sebelahku. Tapi karena dia memilih untuk tidak duduk di sana.
Awalnya aku kira dia telat. Atau mungkin izin mendadak. Saya sempat ngecek grup kelas, cari-cari nama “Rika” di notifikasi yang masuk. nihil.
Sampai lima menit sebelum bel masuk, langkah sepatunya muncul di ambang pintu. Rika—dengan rambut diikat asal dan ekspresi datar—masuk kelas tanpa suara.
Tapi yang membuat jantungku nyaris berhenti, bukan karena dia datang. Catat ke mana dia pergi.
Dia jalan lurus ke deretan paling belakang. Tanpa lihat ke kanan, tanpa cari aku. Tanpa ada siapa pun.
Langsung duduk sendirian di pojok, nunduk, buka buku, selesai.
Itu dia aku... nggak pernah jadi bagian dari hidupnya. Seolah-olah semua pagi yang kami lewati bersama, gak pernah benar-benar berarti buat dia.
Aku duduk kaku. Tanganku gemetar kecil saat narik resleting tas. Dan otakku, berisiknya minta ampun—muter-muter, nyari di mana letak salahku.
Kemarin... aku cuma tahu, siapa yang sebenernya aku ajak ngobrol hari itu.
Karena ada di sampingku, yang ngerespon kayak orang asing, itu bukan Rika yang aku kenal.
Tapi sekarang aku sadar, mungkin caraku bertanya... salah. Mungkin nada suaraku terlalu tajam. Atau mungkin, aku bikin dia ngerasa dia harus sembunyi. Lagi.
Dan yang bikin makin nyesek, bukan hanya dia yang berubah. Tapi juga muncul anak-anak lain. Bisik-bisik kecil mulai muncul kayak semut-semut yang melapisi pelan tapi pasti ke telinga.
Pas istirahat, aku lagi berdiri di depan loker pas Karen nyolek pundakku dan nanya sambil nengir, "Eh, lo sama Rika kenapa? Lagi musuhan ya?" Aku tersenyum, hambar.
“Enggak kok,” jawabku pendek. Tapi ekspresi mukaku, pasti mudah banget ditebak. Soalnya dari tatapan Karen aja, aku tahu dia nggak percaya.
~~~
Siangnya, aku nyari Jeno.
Kami duduk di tangga belakang gedung B—tempat pengungsi paling aman dari semuanya.
Di sana, sinar matahari tidak terlalu galak, suara dari kelas kedap air, dan hanya ada angin yang sesekali membawa aroma tanah basah dari pot-pot kecil yang berderet di samping.
Aku duduk bersandar, ngelus lutut pelan.
“Dia bener-bener nggak mau ngomong lagi, Jen,” suaraku nyaris tenggelam. Jeno, yang dari tadi nonton semut lewat di sela tangga, akhirnya nengok ke aku.
“Gue liat sendiri tadi pagi,” katanya pelan.
“Dia masuk kelas kayak biasa. Tapi langsung ke belakang. Duduk sendiri. Nggak noleh ke lo sama sekali.” Aku cuma ngangguk, pelan. Kayak gerakan itu adalah satu-satunya cara nahan semuanya supaya tidak bocor.
“Apa gue keterlaluan ya, nanya kayak gitu ke dia?” Pertanyaan itu keluar tanpa rencanaku. Tapi dari nadaku, nampaknya betapa besar rasa puas yang sudah tumbuh dalam diam.
Jeno nggak langsung jawab. Dia nyender, ngerapetin lututnya, terus baru buka suara, “Lo pengen ngerti. Itu hal paling manusiawi yang bisa lo lakuin.”
“Tapi kayaknya… gue malah bikin dia ngerasa diserang,” aku berbisik sambil berbisik.
Jeno cuma melirik, lalu ngelus tengkuknya. “Kadang orang nggak siap ditanya soal dirinya sendiri. Terutama kalau penjelasannya juga masih gelap buat dia.”
Aku menutup mata sebentar. Di kelopak, bayangan Rika kemarin muncul dengan jelas. dingin. Kosong. Tapi dibalik itu semua, ada rasa gemetar kecil yang tidak bisa dia sembunyikan.
Menatap orang yang takut banget... untuk dikenal lebih dalam. Dan aku, sialnya, malah nyoba buka pintu itu pakai paksa.
Hari ini, bukan hanya bangku kosong di sebelahku yang terasa aneh. Tapi juga ruang kosong di antara kami—yang dulu diisi tawa, sekarang heningnya menyiksa.
Aku kangen dia. Tapi yang paling bikin sakit... aku tidak tahu caranya deket lagi tanpa bikin dia makin menjauh.
KRIINGGG!
Bel istirahat berdentang. Aku dan Jeno melangkah pelan kembali ke kelas, langkah kami berat seperti pikiran kami yang penuh beban.
Di dalam, mataku langsung menemukan Rika—duduk sendiri di ujungnya, matanya menatap kosong ke arah jendela, seolah dunia di dalam kelas ini tidak lagi penting. Aku memandangi wajahnya yang tanpa ekspresi, dan dadaku mengerutkan kening. Dia tak sedikit pun melirik ke arahku.
Huft... Napas panjang kutarik dan hembuskan perlahan, namun rasa sesak tetap mencengkeram dadaku. Seperti ada tangan tak kasatmata yang meremas jantungku perlahan tapi pasti. Jeno duduk dua baris di belakangku, diam, mungkin juga bingung harus berkata apa.
Biasanya aku duduk bersama Rika. Tapi sekarang? Sunyi. Ada jeda yang menggantung di antara kami—dan anehnya, dia juga memilih duduk sendiri. Aku bisa saja bergabung dengan yang lain. Tapi... apakah seperti itu cara sahabat sejati berdoa? Pergi saat yang lain jatuh?
Dan... ya. Hatiku sudah memilih. Aku akan tetap berada di sisinya—meski hanya sebagai bayangan. Meski dia tak lagi menyapa atau menoleh. Aku percaya, Rika yang sebenarnya masih ada di sana, tersembunyi di balik luka dan ketakutannya. Dia bukan tipe yang mudah menyerah. Dia anak perempuan pertama di keluarganya—itu saja sudah cukup berat.
Aku tahu rasanya. Jadi yang pertama. Terlalu sering menelan semuanya sendiri. Meskipun aku anak tunggal, dan dia sulung, rasa diabaikan oleh ibu kami sama-sama kami telan dalam diam. Ironisnya bukan?
Tapi aku tak akan berbicara terlalu banyak soal masa laluku. Ada hal-hal yang lebih baik dilupakan. Mungkin aku belum pulih, mungkin juga luka-luka itu belum pulih sepenuhnya. Tapi satu hal yang kutahu: aku takut kehilangan. Dan rasa itu tak pernah pergi.
---
"Rika! Tunggu aku!"
Aku berteriak cukup keras ketika bel pulang berbunyi dan Rika langsung melesat keluar kelas tanpa menoleh sedikit pun. Langkahnya cepat, nyaris kabur. Aku refleks mengecilkan, hampir setengah berlari, mengejar sosok yang selama ini begitu kukenal—atau memperkirakan kukenal.
Tanganku berhasil menggenggam lengannya.
"Rika! Kau dengar aku, kan? Ini aku!" Dia berhenti.
Perlahan, dia memutar tubuhnya ke arahku. Dan saat mata kami bertemu... napasku tercekat. Bukan karena dia marah. Tapi karena itu terdengar dingin, tajam, asing. Rupanya aku sedang berdiri di hadapan orang yang benar-benar berbeda. Bukan Rika.
"Aku bukan Rika. Sudah berapa kali sih? Dasar bodoh, terus saja panggil Rika. Kau sudah tahu, kan, aku bukan Rika?"
Suara itu... serak, tegas, menusuk. Tapi bukan suaranya. Nada bicaranya berubah, seperti ada seseorang yang lain yang mengambil alih tubuh Rika. Aku teringat, seluruh tubuhku menegang.
"Apa kau masih butuh penjelasan lagi? Aku ini alter-nya. Namaku Zea. Z-E-A. Catat baik-baik. Aku tidak datang untuk berbuat jahat, jadi tolong, jangan ganggu aku terus. Karena kalau kau terus menempeliku, bisa saja aku malah kepikiran buat... menghancurkanmu.”
Aku hanya bisa menatapnya. Mulutku terbuka, tapi tak ada suara yang keluar. Seluruh dunia seakan membisu. Aku ingin menyangkal. Tapi semua yang kulihat, yang kudengar, tidak bisa kudebat. Ini… bukan Rika. Cara dia memandang, gerak tubuhnya, bahkan caranya menyebut namanya sendiri seperti sedang membaca identitas yang baru saja dipelajari—semuanya terasa sangat nyata.
Aku terlalu kaget. Tapi yang lebih menyakitkan… adalah rasa kecewa yang perlahan menggerogoti dadaku. Bukan kecewa pada Rika. Tapi pada diriku sendiri. Karena selama ini aku pikir aku cukup dekat dengannya. Tapi ternyata aku tidak tahu apa-apa. Sama sekali tidak.
"Hei! tidak dengar ya? Ya ampun. Capek ngomong sama kamu. Sudahlah, buang-buang waktuku saja. Dan, oh, bilangin ke gurumu itu—yang suka banget ngeliatin aku dari meja guru. Jangan terlalu terang-terangan, sebelum aku bikin mata… menghilang. Hahaha!! Byeee!"
Dia misalkan badan, melenggang begitu saja, seolah tak ada yang terjadi. Langkahnya ringan, seperti baru saja mengalahkan sesuatu.
Aku masih berdiri di situ, berbaring. Mataku panas. Dan sebelum aku sadar, air mata mulai turun, satu-satu, lalu pecah. Aku menunduk, menggigit bibirku kuat-kuat agar isak tidak keluar terlalu keras.
Rika... Apa yang masih kamu di sana?
---
Hari-hari berlalu.
Aku mulai terbiasa duduk sendiri. Bukan karena ingin, tapi karena tak ada lagi ruang di antara kami yang bisa kugapai. Dan aku tidak menyapa dia lagi—bukan karena marah, tapi karena aku sendiri tidak yakin siapa yang akan membalasnya.
Zea. Nama itu menempel kuat di kepalaku. Suara itu, mengulanginya, masih tergiang jelas. Setiap kali kulihat tubuh Rika melintas di lorong, aku selalu bertanya dalam hati... siapa yang sedang berdiri di balik wajah itu?
Saya sempat ragu. Tapi akhirnya, aku memutuskan: aku harus bilang. Maka siang itu, aku temui Bu Ratri. Kusampaikan semuanya, meski terasa absurd. Anehnya, Bu Ratri tidak bermasalah. Matanya membesar, tapi bukan karena kaget semata—lebih dari kekhawatiran yang ada di dalamnya.
“Jadi… dia memperkenalkan dirinya sebagai Zea?” tanya Bu Ratri pelan.
Aku mengangguk. “Dan dia bilang... dia mengubahnya Rika.”
Kalimat itu terdengar seperti adegan dari film psikologi. Tapi ini nyata. Masalahnya... hanya aku yang menyaksikannya. Tak ada saksi lain di lorong waktu itu. Jadi saat aku bercerita, rasanya seperti sedang menyampaikan kisah horor yang hanya aku percayai sendiri.
Tapi Bu Ratri percaya. Ia langsung bilang ingin bicara dengan Zea, jika bisa. Saya tidak tahu apa yang harus dipertimbangkan. Tapi satu pertanyaan terus berputar di kepalaku:
Bisakah aku tetap menjadi sahabat Rika… bahkan ketika aku tak tahu siapa yang tinggal di dalam dirinya?
---
Saat pertama kali aku melihat Rika yang diam itu… aku mulai berpikir: tidak semua orang yang diam berarti tidak butuh siapa pun. Justru, seringkali merekalah yang paling membutuhkan—tapi terlalu enggan untuk meminta bantuan
Dan Rika… adalah salah satunya.
Yang ia butuhkan mungkin bukan jawaban, tapi teman. Dukungan. Dan… keluarga.
Ngomong-ngomong soal itu, aku jadi bertanya-tanya—jika Rika memang menyimpan luka hingga akhirnya semua ini terjadi...
Luka seperti apa yang sanggup membelah dirinya? Apakah luka itu sedalam itu? Dan bagaimana mungkin... mengubah bisa menjadi pertahanan yang ia bangun untuk tetap bertahan?
[Bersambung]