Loading...
Logo TinLit
Read Story - Yang Tertinggal dari Rika
MENU
About Us  

Bab 23 — Bu Ratri (2)

---

 

Sudah satu minggu.

Tujuh hari berlalu tanpa jejak. Tanpa suara. Tanpa tanda kehidupan dari Rika.

Aku pernah mendapati siswa yang bolos karena malas, yang menghilang karena putus asa, atau yang mencoba menyembunyikan luka dalam tumpukan tawa palsu. Tapi Rika... dia selalu hadir. Selalu berusaha. Bahkan saat matanya lelah, senyumnya tak pernah benar-benar hilang. Ia bukan tipe yang menyerah begitu saja.

Atau barangkali... akulah yang terlalu cepat menyimpulkan. Terlalu cepat menganggap bahwa anak seperti dia tidak mungkin diam-diam tenggelam.

Sore ini, aku pergi sendiri.

Tanpa Sarah. Tanpa Jeno. Tanpa suara lain yang akan membuat langkah ini terasa semakin berat. Mereka ingin ikut, tentu. Tapi tidak semua perjalanan harus disaksikan. Ada luka-luka yang hanya bisa dibuka di ruang yang benar-benar sunyi.

Ini bukan sekadar ketidakhadiran seorang murid.

Ini... sesuatu yang jauh lebih dalam.

 

---

 

Rumah bercat krem itu berdiri tenang seperti biasa. Tapi ada kesunyian yang berbeda—seperti dinding-dindingnya sedang menyimpan rahasia yang terlalu lama dikunci. Udara sore menyimpan aroma tanah basah yang belum sempat disiram hujan, dan entah kenapa, aku merasa langkahku tidak sedang menuju rumah seorang murid, tapi menuju ruang pengakuan.

Aku sudah mencoba menelepon sejak hari ketiga. Jawabannya selalu sama: Rika sedang sakit.

Tapi tidak ada satu pun detail lain.

Tidak pernah ada suara Rika di balik ponsel.

Dan yang paling menggangguku—kenapa semuanya terdengar seperti skenario yang terlalu rapi? Kuketuk pagar itu pelan.

Jeda yang muncul terasa lebih panjang dari seharusnya. Lalu tirai di balik jendela bergeser sedikit.

Wajah seorang ibu muncul.

Mata sembab. Rambutnya diikat seadanya, ada sisa bedak yang menempel tak rata di pipi. Tapi yang paling jelas... pandangan pasrahnya.

“Ibu Ratri, ya?” Suaranya nyaris hanya bisikan.

Aku mengangguk. “Maaf saya datang tiba-tiba, Bu. Saya wali kelas Rika.”

Dia tidak menjawab. Hanya membuka pagar perlahan, lalu berjalan mendahuluiku ke dalam rumah, tanpa berkata apa-apa—seolah lelah menjelaskan. Seolah sudah terlalu lama menahan.

Dan begitu aku masuk ke dalam ruang tamu kecil itu, melihat kursi yang tidak dirapikan, gelas-gelas yang tak dicuci, dan udara yang entah kenapa begitu dingin...

Aku tahu.

Apa yang akan kutemukan hari ini...

tidak akan mudah.

Mungkin juga... tidak akan bisa kuperbaiki. Tapi aku harus mencoba.Karena kalau bukan sekarang— mungkin tak akan pernah ada waktu lagi.

 

---

 

"Minum dulu, Bu.”

Bu Rina menyodorkan secangkir teh manis hangat ke hadapanku. Aku mengangguk sopan, lalu menyesap sedikit sebagai bentuk penghargaan atas keramahan tuan rumah. Kami duduk di ruang tamu yang luas dan tertata rapi, nuansa hangat menyelimuti ruangan berdiameter hampir 10×10 itu.

Ia mengambil tempat duduk di seberangku, raut wajahnya tampak letih dan penuh kekhawatiran. Sejenak, ia memandangi cangkirku yang berembun.

"Ada perlu apa, ya, Ibu datang ke sini?" tanyanya hati-hati. “Rika sedang di kamar. Dia nggak mau ketemu siapa pun sejak seminggu lalu. Sudah saya paksa, saya marahi, tetap nggak berhasil. Bahkan dengan Reza pun… dia menjaga jarak. Padahal biasanya mereka itu nggak bisa dipisahkan.”

Aku mendengarkannya dalam diam. Senyumku tipis. Sebenarnya bukan kali pertama aku mendengar kalimat seperti itu dari orang tua yang cemas.

“Begini, Bu,” ucapku pelan. “Sebelum saya lanjut bicara soal Rika, izinkan saya memperkenalkan diri secara resmi dulu.”

Bu Rina mengangguk, walau matanya mulai menyiratkan rasa cemas yang lebih besar.

“Saya Ratri Maira Delicia, M.Psi. Lulusan Psikologi dari UIN, kemudian melanjutkan S2 di UI. Saya memang datang bukan hanya sebagai guru BK, tapi sebagai seseorang yang sudah lama memperhatikan Rika… dan ingin Ibu tahu sesuatu yang sangat penting. Saya minta tolong, dengarkan dulu sampai selesai, ya. Mohon jangan potong dulu—karena ini cukup berat.”

Bu Rina meneguk ludah, lalu pelan-pelan mengangguk.

“Nah… Saya tahu Rika tampak baik-baik saja selama ini. Tapi saya yakin, Ibu juga pernah merasa ada sesuatu yang… nggak biasa, ‘kan? Cara dia berubah sikap secara tiba-tiba. Kadang jadi sangat bersemangat, kadang tertutup, kadang seperti bukan dirinya sendiri?”

Bu Rina mengernyit. Matanya menatapku dengan campuran bingung dan takut.

“Itu bukan sekadar perubahan mood biasa. Bukan juga karena remaja labil atau terlalu banyak pikiran. Ini lebih dalam dari itu.”

Aku menarik napas perlahan, mencoba memilih kata-kata yang paling tepat—yang bisa dimengerti tanpa terdengar menghakimi.

“Kadang, saat seseorang mengalami pengalaman emosional yang terlalu berat—terutama di usia sangat muda—otaknya akan menciptakan mekanisme perlindungan. Seolah ada bagian dari dirinya yang ‘membelah’, agar ia bisa bertahan. Inilah yang terjadi pada Rika.”

Ekspresi Bu Rina membeku. Tangannya meremas ujung jilbabnya pelan.

“Dengan kata lain, kemungkinan besar Rika mengalami kondisi yang disebut Dissociative Identity Disorder, atau gangguan identitas disosiatif. Tapi, saya mohon jangan panik dulu. Ini bukan hal yang harus ditakuti—dan bukan pula kutukan.”

Aku membiarkannya terdiam sejenak, memberi ruang agar informasi itu meresap perlahan.

“Saya tahu, ini nggak mudah diterima. Banyak orang tua yang saat mendengar anaknya punya masalah kesehatan mental, langsung merasa gagal. Padahal tidak begitu, Bu. Justru karena Rika bertahan… berarti ia sangat kuat.”

“Jadi… anak saya… selama ini…?” bisik Bu Rina nyaris tak terdengar.

Aku mengangguk pelan.

“Ini bukan kesalahan Ibu. Bukan salah siapa pun. Tapi kita bisa memilih sekarang, Bu. Mau menutup mata dan membiarkannya menanggung sendiri, atau pelan-pelan menuntunnya keluar dari labirin ini.”

Aku menatapnya dalam, kali ini dengan penuh harap.

“Saran saya, bawa Rika ke psikolog profesional yang punya izin praktik. Saya memang berlatar belakang klinis, tapi tidak berwenang menangani langsung. Saya hanya ingin Ibu jadi bagian dari perjalanan penyembuhannya.”

Isak kecil mulai terdengar dari arah depanku. Bu Rina menunduk, pundaknya sedikit berguncang. Aku mendekat, meletakkan tangan di bahunya.

“Aku… aku benar-benar nggak tahu… Aku pikir dengan aku marahi dia, dia akan jadi lebih kuat… Tapi ternyata aku malah—” suara beliau pecah, tapi tetap tertahan, seolah sedang menahan tsunami rasa bersalah.

Aku tidak membalas dengan kata-kata. Hanya menepuk punggungnya pelan. Karena kadang, yang paling dibutuhkan seseorang adalah kehadiran yang tidak menghakimi.

Setelah beberapa menit terisak, Bu Rina akhirnya menyeka air matanya perlahan. Sorot matanya masih sendu, tapi kali ini ia menatapku langsung—ada kepedihan di sana, dan juga secercah harapan.

"Apa yang bisa saya lakukan, Bu? Saya… masih belum sepenuhnya percaya. Tapi saya juga tidak bisa mengabaikannya, karena Ibu adalah lulusan S2 Psikologi. Sulit dipercaya… bahwa Rika bisa mengalami hal seperti ini."

Aku mengangguk pelan, memahami beratnya kenyataan yang baru saja diterimanya.

"Terima kasih, Bu Rina. Terima kasih karena tidak meremehkan kondisi ini. Saya benar-benar menghargai itu. Banyak orang tua di luar sana yang langsung menyalahkan, bahkan menganggap masalah mental anak sebagai hal sepele. Tapi saya tahu, Bu Rina masih punya rasa peduli yang besar terhadap Rika."

Bu Rina menunduk, tangan di pangkuannya saling menggenggam erat. Aku melanjutkan dengan suara lembut namun tegas.

"Ibu sebenarnya sudah berada di tahap awal yang baik: menerima. Tapi Ibu tidak sendiri. Saya akan terus mendampingi Rika selama di sekolah. Yang penting sekarang, Rika juga tidak boleh merasa sendiri di rumah. Ia butuh dukungan, perhatian, dan ruang aman."

Aku menghela napas, berusaha menyampaikan penjelasanku sejelas mungkin.

"Memang, gangguan yang dialami Rika… tidak ada obat pasti sampai saat ini. Tapi bisa dikendalikan. Kuncinya, Rika menyadari apa yang sedang terjadi dalam dirinya, dan bisa belajar mengontrol tiap 'bagian lain' dari dirinya—kita menyebutnya Alter."

Aku berhenti sejenak, memastikan Bu Rina masih mengikutiku. Ia mengangguk pelan.

"Ibu bisa mulai dari hal-hal kecil. Jangan buat Rika merasa bersalah, takut, atau disalahkan. Bangun rasa percaya dan aman. Percayalah, seiring waktu, salah satu dari alter-nya mungkin akan mulai berbicara. Tapi perlu diingat, biasanya alter dan kepribadian utama tidak berbagi memori. Jadi kalau Rika tiba-tiba tidak mengingat percakapan sebelumnya… bisa jadi itu bukan Rika yang sedang Ibu ajak bicara."

Aku menambahkan, "Ada juga beberapa alter yang berbagi memori, tapi itu sangat jarang."

Jam dinding menunjukkan pukul 19.30. Sudah saatnya aku pamit.

"Saya harus pulang, Bu. Malam sudah cukup larut. Ibu tidak perlu memaksakan diri untuk menerima semuanya sekaligus. Proses ini memang butuh waktu. Tapi mohon, jangan salahkan atau membandingkan Rika dengan anak lain. Itu hanya akan membuatnya semakin tertutup."

Aku berdiri, Bu Rina ikut bangkit dari duduknya. Kami bersalaman—hangat dan khas ibu-ibu Indonesia.

"Terima kasih, Bu Ratri… Saya akan mencoba. Saya tahu ini tidak mudah, tapi saya akan berusaha," katanya lirih.

Aku mengangguk. "Itu sudah lebih dari cukup, Bu. Rika adalah salah satu murid terbaik di sekolah. Saya harap besok dia kembali masuk. Saya pamit dulu, ya."

Aku berjalan ke arah gerbang, sementara Bu Rina mengantar sampai depan rumah. Angin malam menerpa wajahku pelan saat aku melangkah pergi.

Semoga semuanya berakhir dengan baik. Atau… setidaknya, berjalan ke arah yang lebih terang.

[Bersambung]

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (0)

    No comment.

Similar Tags
7°49′S 112°0′E: Titik Nol dari Sebuah Awal yang Besar
1071      713     1     
Inspirational
Di masa depan ketika umat manusia menjelajah waktu dan ruang, seorang pemuda terbangun di dalam sebuah kapsul ruang-waktu yang terdampar di koordinat 7°49′S 112°0′E, sebuah titik di Bumi yang tampaknya berasal dari Kota Kediri, Indonesia. Tanpa ingatan tentang siapa dirinya, tapi dengan suara dalam sistem kapal bernama "ORIGIN" yang terus membisikkan satu misi: "Temukan alasan kamu dikirim ...
Lovebolisme
430      371     2     
Romance
Ketika cinta terdegradasi, kemudian disintesis, lalu bertransformasi. Seperti proses metabolik kompleks yang lahir dari luka, penyembuhan, dan perubahan. Alanin Juwita, salah seorang yang merasakan proses degradasi cintanya menjadi luka dan trauma. Persepsinya mengenai cinta berubah. Layaknya reaksi eksoterm yang bernilai negatif, membuang energi. Namun ketika ia bertemu dengan Argon, membuat Al...
CERITA MERAH UNTUK BIDADARIKU NAN HIJAU
247      213     1     
Inspirational
Aina Awa Seorang Gadis Muda yang Cantik dan Ceria, Beberapa saat lagi ia akan Lulus SMA. Kehidupannya sangat sempurna dengan kedua orang tua yang sangat menyayanginya. Sampai Sebuah Buku membuka tabir masa lalu yang membuatnya terseret dalam arus pencarian jati diri. Akankah Aina menemukan berhasil kebenarannya ? Akankah hidup Aina akan sama seperti sebelum cerita merah itu menghancurkannya?
When Flowers Learn to Smile Again
2310      1476     10     
Romance
Di dunia yang menurutnya kejam ini, Jihan hanya punya dirinya sendiri. Dia terjebak pada kelamnya malam, kelamnya hidup, dan kelamnya dunia. Jihan sempat berpikir, jika dunia beserta isinya telah memunggunginya sebab tidak ada satu pun yang peduli padanya. Karena pemikirannya itu, Jihan sampai mengabaikan eksistensi seorang pemuda bernama Natha yang selalu siap menyembuhkan luka terdalamnya. B...
Kamu Tidak Harus Kuat Setiap Hari
5443      2605     0     
Inspirational
Judul ini bukan hanya sekadar kalimat, tapi pelukan hangat yang kamu butuhkan di hari-hari paling berat. "Kamu Tidak Harus Kuat Setiap Hari" adalah pengingat lembut bahwa menjadi manusia tidak berarti harus selalu tersenyum, selalu tegar, atau selalu punya jawaban atas segalanya. Ada hari-hari ketika kamu ingin diam saja di sudut kamar, menangis sebentar, atau sekadar mengeluh karena semua teras...
Finding My Way
1852      1150     3     
Inspirational
Medina benci Mama! Padahal Mama tunawicara, tapi sikapnya yang otoriter seolah mampu menghancurkan dunia. Mama juga membuat Papa pergi, menjadikan rumah tidak lagi pantas disebut tempat berpulang melainkan neraka. Belum lagi aturan-aturan konyol yang Mama terapkan, entah apa ada yang lebih buruk darinya. Benarkah demikian?
Kaca yang Berdebu
249      198     1     
Inspirational
Reiji terlalu sibuk menyenangkan semua orang, sampai lupa caranya menjadi diri sendiri. Dirinya perlahan memudar, seperti bayangan samar di kaca berdebu; tak pernah benar-benar terlihat, tertutup lapisan harapan orang lain dan ketakutannya sendiri. Hingga suatu hari, seseorang datang, tak seperti siapa pun yang pernah ia temui. Meera, dengan segala ketidaksempurnaannya, berjalan tegak. Ia ta...
Tumbuh Layu
993      605     4     
Romance
Hidup tak selalu memberi apa yang kita pinta, tapi seringkali memberikan apa yang kita butuhkan untuk tumbuh. Ray telah pergi. Bukan karena cinta yang memudar, tapi karena beban yang harus ia pikul jauh lebih besar dari kebahagiaannya sendiri. Kiran berdiri di ambang kesendirian, namun tidak lagi sebagai gadis yang dulu takut gagal. Ia berdiri sebagai perempuan yang telah mengenal luka, namun ...
Anikala
3822      1329     2     
Romance
Kala lelah terus berjuang, tapi tidak pernah dihargai. Kala lelah harus jadi anak yang dituntut harapan orang tua Kala lelah tidak pernah mendapat dukungan Dan ia lelah harus bersaing dengan saudaranya sendiri Jika Bunda membanggakan Aksa dan Ayah menyayangi Ara. Lantas siapa yang membanggakan dan menyanggi Kala? Tidak ada yang tersisa. Ya tentu dirinya sendiri. Seharusnya begitu. Na...
Solita Residen
3958      1522     11     
Mystery
Kalau kamu bisa melihat hal-hal yang orang lain tidak bisa... bukan berarti kau harus menunjukkannya pada semua orang. Dunia ini belum tentu siap untuk itu. Rembulan tidak memilih untuk menjadi berbeda. Sejak kecil, ia bisa melihat yang tak kasatmata, mendengar yang tak bersuara, dan memahami sunyi lebih dari siapa pun. Dunia menolaknya, menertawakannya, menyebutnya aneh. Tapi semua berubah seja...