Loading...
Logo TinLit
Read Story - Jalan Menuju Braga
MENU
About Us  

Berly belum terlelap setelah perbincangan panjang dengan Dita malam ini. Sementara, sejak tiga puluh menit yang lalu Dita sudah lelap dalam mimpi indahnya. 

Segelas cokelat hangat dan sepotong roti sudah tertata rapi di meja teras depan. Angin dingin Bandung malam ini tidak mengurungkan niat Berly untuk bersantai malam-malam begini. 

 Meski juga suasana gelap dan sepi, tapi lampu taman di rumah tua berdinding putih ini membuat suasana taman jadi indah dan terang. Jelas saja, pemandangan ini menunjang me time Berly.

"Berly!" 

Saat damai-damainya menegak cokelat hangat, Berly langsung terbatuk-batuk ketika mendengar tiba-tiba saja ada yang memanggil namanya di tengah malam begini. Dengan merinding, ia memberanikan diri menoleh ke samping, menoleh ke belakang, bahkan melongok ke dalam ruang tamu yang tidak ada siapa-siapa itu. 

"Berly!" 

"Astaga, setan. Jangan ke Berly, atuh," Berly menegak air liur. "Itu .. besok pagi aja nampaknya. Gimana? Jangan malem-malem begini. Aku takut, atuh." Berly berusaha bernegosiasi dengan Setan menggunakan bahasa sundanya yang pas-pas'an nyerempet tidak bisa itu. 

"Astaga!" 

"Astaga astaga! Setan bisa bales ngeluh?" tanggap Berly. 

"Kalau setan memang nggak bisa bales ngeluh, tapi kalau aku bisa, Ly," balas seseorang. 

Dari balasan yang sedikit panjang itu, Berly bisa mengenali suaranya. Segera ia bangkit dan berjalan ke sumber suara. Perlahan demi perlahan ia melangkah, menembus temaramnya teras depan rumahnya yang hanya berpegangan pada cahaya lampu taman.

Dalam pencahayaan yang temaram, Berly masih dengan jelas bisa melihat sosok setan yang tadi ia maksud.

Rupanya, di balik pagar putih rumahnya, yang tingginya hanya setinggi dirinya yang tidak begitu tinggi, menjulang di sana tubuh laki-laki tampan dengan kaus putih yang berbalut jaket rajutnya berwarna cokelat gelap. Laki-laki itu saat ini berparas tak ramah. Tak ada seutas senyum pun di bibirnya. Ia cenderung dingin seperti dinginnya kota Bandung. Memang benar katanya, laki-laki ini seram.

"Saha?" tanya Berlin polos.

"Braga." 

"Oh, iya. Salah rumah, nya? Silahkan boleh kembali saja," Berly lekas berbalik. Ia memejamkan mata serta menggigit bibir bawahnya panik. Gimana atuh? Ini mah lebih serem daripada setan?

Gadis itu terus menggerutu sambil berjalan pelan kembali ke teras rumah. Pait pait pait-- cukup sudah ia berurusan dengan Braga di sekolah. Jangan sampai di rumah juga. Meski cakep, agak serem juga laki-laki itu. Aura premannya kentara--oi!

"Berly!" 

Lagi dan lagi, laki-laki di balik pagar putih itu memanggil Berly lagi. Dengan terpaksa, Berly berhenti dan kembali berbalik ke laki-laki itu. "Punten. Berly teh saha? Saya mah Zubaidah," ceplos Berly. 

Ceplosan itu membuat Braga refleks tertawa kencang. "Zubaidah?" ungkapnya. Tawa menggelegar hadir di sana setelahnya tanpa beban. Ada-ada saja celetukan gadis itu. "Oke. Mulai lagi dari awal. Zubaidah, bisa ikut aku sebentar?" ralat Braga.

Berly melongo mendengar Braga benar-benar memanggilnya dengan Zubaidah. Repot juga, kan, perempuan? Bilang sendiri namanya Zubaidah, dipanggil beneran ngambek.

"Ber--eh, Zubaidah. Gimana?"

"Ke mana, sih?" tanya kesal Berly.

"Ke ruko depan beli helm doang. Besok mau berangkat sekolah naik motor, nih, masak nggak pakai helm?" Jelas Braga dengan tersenyum. "Memang mau tanggung jawab kalau aku ditangkap pol--" 

"Ish! Apa, sih, dikit-dikit tanggung jawab!" sebal Berly. "Lagian mau beli helm, beli aja kali, Kak? Ngapain sampai ajakin aku segala?"

"Ya, memang kan yang salah, yang harus tanggung jawab? Ada yang salah dari konteks-nya? Tenang aja, aku cuma minta kamu ikut, bukan buat bayar helmnya."

Berly menggertak giginya. "Nggak ada yang salah, kok! Kak Braga memang udah benar, paling benar!" 

"Jadi gimana? Zubaidah bisa ikut Aa?" 

Berly menelan ludah. Pupil matanya membesar. Apa tadi? Aa?

Mata Berly melotot tidak santai. Sudah kesal karena didatangi tiba-tiba, ditambah kesal lagi dengan dipanggil Zubaidah, masih ditambah lagi drama Aa Aa ini! 

Gadis itu berjalan cepat membuka pagar untuk memaki Braga secara langsung, dari dekat, dan di hadapan laki-laki itu. Sebal ia. Sudah datang malam-malam begini, lalu Aa? Apa maksudnya, sih? Aa kan panggilan manis. Gak bisa sembarangan disebut ke sembarang laki-laki, bagi Berly.

Setelah bersungut-sungut membuka pagar, Berly segera berhadapan dengan Braga. Namun, jantung Berly rasanya merosot ketika melihat pemandangan mengejutkan di hadapannya.

Langkahnya sampai terhuyung saking kagetnya ia.

Haish!

Betapa terkejutnya Berly, nyatanya di balik pagar itu bukan hanya ada Braga seorang diri, melainkan juga ada Marlo, Jovan, dan Arendra--antek-antek utama Braga-- yang di mana tiga manusia itu tengah duduk manis di dalam mobil sembari senyam-senyum menatap Berly.

Mereka ber-3 kompak melambaikan tangan ke Berly sembari tersenyum lebar. "Eh, Neng Zubaidah. Kumaha damang? Malem-malem, kok, belum tidur atuh? Malah asik nongkrong di teras. Padahal kita cuma iseng lewat, gak taunya malah ada si Eneng." 

"Salam kenal, ya, Neng, dari kita, Barudak Tampan nan Mempesona," kelakar mereka dari dalam mobil cokelat tua yang terparkir di depan pagar. Lalu, setelah itu terdengarlah suara tawa menggelegar dari tiga Kakak kelasnya itu. 

Aish, sial! 

Berly tertunduk malu. Apalagi drama kehidupan Berly yang tentram ini, sih? Tak lupa ia juga meratapi penampilannya dengan piyama bergambar Pokemon yang menggemaskan ini di hadapan Braga dan pasukannya. Haish! Hari sial rupanya benar-benar tidak ada di kalender! 

"Neng Zubaidah, karena belum tidur, ikutan ke ruko depan bentaran hayuk? Daripada Aa Braga nanti ngamuk karena keinget tragedi helmnya, mending Neng ikut? Kumaha?" 

Melihat Berly yang sudah malu sekali, Braga hanya diam mengamati. Matanya tak pernah lepas menatap Berly dan senyum di bibirnya tak henti mengembang. Lucu, batinnya.

"Neng? Neng Zubaidah? Kumaha?"

"Ogah, ah! Zubaidah mau tidur!" kesal Berly.

Berly segera berbalik dan berkeinginan meninggalkan mereka semua. Ia akan mengunci pagar rapat-rapat dan tidak akan pernah tertipu lagi dengan keberadaan mereka. 

Dengan refleks Braga langsung menyambar tangan Berly, menghentikan langkah gadis itu. "Ikut sebentar. Sebentar saja," 

"Siapa?" tanya Berly masih dengan kekesalannya. Maksudnya, siapa yang diminta? Zubaidah? Atau Berly? Entahlah. Lucu memang. Bisa-bisanya Berly kesal dengan celetukannya sendiri.

"Berly." 

"Ulangi." 

"Sebentar aja. Ikut aku sebentar aja, Berly Janice Jagadhita. Hm?" pinta Braga.

Tatapan Berly naik menatap netra Braga dengan cepat. Dalam temaram lampu dan gelapnya malam, Berly terpaku beberapa saat. Seumur hidupnya, ini adalah pertama kali ada seorang laki-laki yang menyebut nama panjangnya setelah kepergian Jagad--ayahnya.

"Ulangi, Kak?" pinta Berly.

"Hm?" 

"Ulangi." 

"Seb--" 

"Setelahnya, Kak." 

"Ikut aku sebentar aja?" 

"Lalu?" 

"Berly Janice Jagadita."

Dengan menatap netra Braga, senyum Berly terbit di bibir indahnya. Sudah lama Berly tidak mendengar nama indahnya itu disebutkan. Itu mengharukan. Patut dimuseumkan dalam kenangan Berly.

"Aish! Bukan atuh, Braga. Ini mah Zubaidah, lain Berly. Kumaha, atuh?" Celetuk Jovan lagi.

Tawa lagi-lagi menggelegar dalam mobil tua itu, merusak suasana haru yang tercipta. Memang Jovan itu suka sekali usil. Dari ke 4 anggota tetap Svarga, Jovan adalah yang paling terkenal karena suka mencari masalah, usil, dan pemberani. Ia tidak takut guru, tidak takut dihukum, ia tidak punya urat malu. Hanya tiga yang ia takuti, Tuhan, bundanya, dan Braga. 

Bibir Berly mengerucut sebal dengan kelakuan Jovan. Ia langsung menunjuk Jovan tanpa ragu saat itu juga. "Kalau Kak Braga mau aku ikut dan aku tanggung jawab, sumpel dulu itu mulut Kak Jovan. Bisa?" sebalnya. 

Alis Braga terangkat saking kagetnya dengan permintaan ajaib Berly itu, sebelum akhirnya laki-laki itu kini terbahak. Terlebih lagi saat ini ketika melihat tatapan sinis Berly tepat jatuh di Jovan tanpa ragu. 

"Gimana? Bisa, nggak?" Berly sudah kepayang kesal dengan sosok Jovan itu.

Braga hanya mengangguk pasrah. "Boleh, boleh. Sesuka kamu aja gimana." 

Jovan tertawa remeh. "We, anying! Gelo maneh?! Belegug sia, yang betul aja si Braga ieu!" Protes Jovan.

Braga hanya tersenyum santai. "Maaf, Jov. Nanti sebagai gantinya beras 30kg ambil aja di Mang Sopian. Gimana?" 

"Deal!" Jovan setuju tanpa hambatan. 

Sebagai Anak Sulung dari 3 bersaudara, serta kedudukannya yang menjadi laki-laki satu-satunya di keluarga, Jovan ini suka sekali jika ada pemberian berupa sembako yang sangat berguna bagi keluarga kecilnya. Ya, keluarganya tidak kaya raya, tapi tidak pernah kekurangan juga.

Dari orang sekitarnya, sampai detik ini Braga masih tercatat sebagai donatur tetap soal sembako bagi keluarganya. Masalah dengan teman, royalitas Braga memang di atas rata-rata.

Setelah persetujuan Brag, Berly menunduk melihat pakaiannya yang ajaib. "Oke. Aku mau ganti dulu, Kak. Tung--" 

"Ngapain? Pakai begini aja." Braga menunjuk piyama Pokemon Berly. 

"Ogah! Kalian pake OOTD proper gini, masa iya aku cuma pakai piyama Pokemon? Engga ah!" 

Marlo dan Arendra sekejap turun dari mobil. Mereka berdua menarik Berly perlahan agar mengikuti arah mereka, meminta Berly itu duduk di mobil cepat-cepat. 

"Ihs! Pemaksaan!" teriak Berly. "Lepas gak! Aku mau ijin Ibu dulu," pungkasnya.

Seketika Marlo melepas paksaannya. "Bener juga. 4 menit, cukup? Dan satu lagi, gak usah pake acara ganti baju. Lama lo!"

"2 menit!" ucap Berly.

"Oke."

Berly segera membuka pagar dan masuk ke rumah. Dengan kecepatan kilat, ia berpamitan pada Dita. Sebenarnya ia sedikit takut tidak diberi ijin, karena ini sudah sangat larut, pukul sepuluh malam. Dan ini adalah pertama kalinya Berly keluar rumah hampir tengah malam begini. Namun, nyatanya Dita memberi ijin dengan mudah. Entah alasan apa di balik ijin itu.

Berly segera berlari ke kamarnya dan menyambar dompet serta ponselnya. Ia tidak mungkin keluar dengan tangan kosong, kan? 

"Nah, itu si Zubaidah!" kata Marlo lega saat Berly sudah keluar dari rumah. "Aish, pake bawa dompet segala lu, Zubaidah? Sepeser duit pun gak akan Braga biarin keluar dari dompet lo yang mungil itu," komentar Marlo.

"Ish biarin aja, sih, Kak? Sewot banget?"

Gadis itu kini mengunci pagar rapat-rapat. Ia kemudian berbalik dan melihat Marlo yang masih ngedumel itu menyambutnya. 

"Silahkan, Zubaidah. Buruan masuk. Udah ditunggu Aa Braga di sampingnya," ujar Marlo sembari ia membuka pintu mobil depan, mempersilahkan Berly masuk. 

Berly pun beranjak. Ia sejenak mengintip ke dalam mobil, sudah ada Braga yang duduk di belakang kemudi. Laki-laki itu tersenyum tipis ke Berly. "Masuk," ujarnya pelan.

Berly pun kini duduk di samping Braga--menjadi passengger princess. Ia sejenak mengamati mobil tua ini. Mobil cokelat tua ini sangat old vibes. Namun, meski begitu, entah dashboard, kursi kulitnya, atap-atap bludrunya, keseluruhan masih sangat terawat. Di spion dalam, juga bertengger gantungan dengan logo Svarga di sana.

"Udah ijin Ibu?" 

"Sudah, Kak." 

"Diijinkan? Apa perlu aku masuk dan minta ijin langsung?" ucap Braga.

"Enggak!" jawab Berly cepat. "Nggak perlu, Kak." 

"Alah alah, lucu pisan, euy," sahut Jovan. "Pake mau ijin ke Ibu. Ijin apaan, Ga? Mau ajak anak gadisnya beli helm tengah malem gini?" 

"Braga, Braga, ada-ada bae," Jovan terkekeh. "Sétan naon yang merasukimu, Braga? Kumaha manéhna bisa ménta meuli helm malem-malem begini, mana minta dianter awewe lagi? Lucu pisan, euy."

Sahutan itu membuat Braga mengamati Jovan dari spion. Tatapan tajam Braga jelas kentara, tapi sang mangsa belum juga sadar 

"Jov, gak mendingan kamu diem aja?" kata Arendra sedikit merasakan aura seram mulai tercipta. "Aku liak-liak kamu ini banyak bicara dari tadi. Annoying tau ndak?"

"Gak tau ini barudak gelo. Sungutna teu bisa cicing," sahut Marlo lagi. "Mending liat itu spion, biar diem mulut lo." 

Dengan cengar-cengirnya Jovan mengikuti instruksi Marlo untuk melirik spion. Di kaca itu terpampanglah wajah Braga yang pahit tanpa senyuman sedang menatapnya. "Hehe, tong ngambek atuh, Bro. Guyonan bae."

"Lo, cepet," perintah Braga.

Secepat kilat Marlo segera memasukkan segumpalan tissue yang sudah ia buat seukuran bola tennis ke dalam mulut Jovan yang tidak bisa diam itu. Seketika Jovan tergagap. "Eu! Eu! Eu eu eu! Eu eu!" ucapnya tidak jelas. 

"Jangan berani-berani lu muntahin itu tissue. Paham gak lu?" sengak Marlo.

"Eu eu! Eu eu eu!!"

"Nah, ini bagusan dikit. Jadi diem radio rusak ini!" ujar Arendra. 

Melihat kebrutalan yang terjadi di bangku belakang, Berly mengulum senyum. Ia terhibur. Nyatanya image seram itu luntur malam ini. Nyatanya, Svarga itu tidak semenyeramkan itu jika dilihat dari dekat. 

"Lucu, ya, tingkah mereka? Memang masih seram?" tanya Braga yang mengamati Berly sedang tersenyum di kursinya. 

Berly menggeleng. "Kalau sekarang, sih, enggak, Kak. Untuk besok, nggak ada yang tau." 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • suhar

    Bagus kak ❤
    Next Part Kapan Nih kak ???

    Comment on chapter P R O L O G
Similar Tags
GEANDRA
452      364     1     
Romance
Gean, remaja 17 tahun yang tengah memperjuangkan tiga cinta dalam hidupnya. Cinta sang papa yang hilang karena hadirnya wanita ketiga dalam keluarganya. Cinta seorang anak Kiayi tempatnya mencari jati diri. Dan cinta Ilahi yang selama ini dia cari. Dalam masa perjuangan itu, ia harus mendapat beragam tekanan dan gangguan dari orang-orang yang membencinya. Apakah Gean berhasil mencapai tuj...
MANITO
1404      940     14     
Romance
Dalam hidup, terkadang kita mempunyai rahasia yang perlu disembunyikan. Akan tetapi, kita juga butuh tempat untuk menampung serta mencurahkan hal itu. Agar, tidak terlalu menjadi beban pikiran. Hidup Libby tidaklah seindah kisah dalam dongeng. Bahkan, banyak beban yang harus dirasakan. Itu menyebabkan dirinya tidak mudah berbagi kisah dengan orang lain. Namun, ia akan berusaha untuk bertahan....
Unframed
743      484     4     
Inspirational
Abimanyu dan teman-temannya menggabungkan Tugas Akhir mereka ke dalam sebuah dokumenter. Namun, semakin lama, dokumenter yang mereka kerjakan justru menyorot kehidupan pribadi masing-masing, hingga mereka bertemu di satu persimpangan yang sama; tidak ada satu orang pun yang benar-benar baik-baik saja. Andin: Gue percaya kalau cinta bisa nyembuhin luka lama. Tapi, gue juga menyadari kalau cinta...
Bukan Bidadari Impian
141      113     2     
Romance
Mengisahkan tentang wanita bernama Farhana—putri dari seorang penjual nasi rames, yang di jodohkan oleh kedua orang tuanya, dengan putra Kiai Furqon. Pria itu biasa di panggil dengan sebutan Gus. Farhana, wanita yang berparas biasa saja itu, terlalu baik. Hingga Gus Furqon tidak mempunyai alasan untuk meninggalkannya. Namun, siapa sangka? Perhatian Gus Furqon selama ini ternyata karena a...
FAYENA (Menentukan Takdir)
538      352     2     
Inspirational
Hidupnya tak lagi berharga setelah kepergian orang tua angkatnya. Fayena yang merupakan anak angkat dari Pak Lusman dan Bu Iriyani itu harus mengecap pahitnya takdir dianggap sebagai pembawa sial keluarga. Semenjak Fayena diangkat menjadi anak oleh Pak Lusman lima belas tahun yang lalu, ada saja kejadian sial yang menimpa keluarga itu. Hingga di akhir hidupnya, Pak Lusman meninggal karena menyela...
CTRL+Z : Menghapus Diri Sendiri
139      124     1     
Inspirational
Di SMA Nirwana Utama, gagal bukan sekadar nilai merah, tapi ancaman untuk dilupakan. Nawasena Adikara atau Sen dikirim ke Room Delete, kelas rahasia bagi siswa "gagal", "bermasalah", atau "tidak cocok dengan sistem" dihari pertamanya karena membuat kekacauan. Di sana, nama mereka dihapus, diganti angka. Mereka diberi waktu untuk membuktikan diri lewat sistem bernama R.E.S.E.T. Akan tetapi, ...
Da Capo al Fine
348      286     5     
Romance
Bagaimana jika kau bisa mengulang waktu? Maukah kau mengulangi kehidupanmu dari awal? Atau kau lebih memilih tetap pada akhir yang tragis? Meski itu berarti kematian orang yang kau sayangi? Da Capo al Fine = Dari awal sampai akhir
Monday vs Sunday
222      174     0     
Romance
Bagi Nara, hidup itu dinikmati, bukan dilomba-lombakan. Meski sering dibandingkan dengan kakaknya yang nyaris sempurna, dia tetap menjadi dirinya sendiricerewet, ceria, dan ranking terakhir di sekolah. Sementara itu, Rei adalah definisi murid teladan. Selalu duduk di bangku depan, selalu ranking satu, dan selalu tampak tak peduli pada dunia luartermasuk Nara yang duduk beberapa meja di belaka...
Yang Tertinggal dari Rika
2407      1106     11     
Mystery
YANG TERTINGGAL DARI RIKA Dulu, Rika tahu caranya bersuara. Ia tahu bagaimana menyampaikan isi hatinya. Tapi semuanya perlahan pudar sejak kehilangan sosok paling penting dalam hidupnya. Dalam waktu singkat, rumah yang dulu terasa hangat berubah jadi tempat yang membuatnya mengecil, diam, dan terlalu banyak mengalah. Kini, di usianya yang seharusnya menjadi masa pencarian jati diri, Rika ju...
Te Amo
457      313     4     
Short Story
Kita pernah saling merasakan titik jenuh, namun percayalah bahwa aku memperjuangkanmu agar harapan kita menjadi nyata. Satu untuk selamanya, cukup kamu untuk saya. Kita hadapi bersama-sama karena aku mencintaimu. Te Amo.