Loading...
Logo TinLit
Read Story - Jalan Menuju Braga
MENU
About Us  

"Bu, kenapa Ayah pilih Bandung buat jadi tempat menua Ayah dan Ibu? Kalian memang punya banyak kenangan di sini?"

"Nggak juga," jawab Dita. "Berly. Kamu tau, kan, di jalan Asia Afrika, di bawah jembatan itu ada tulisan "Bumi Pasundan lahir ketika Tuhan sedang tersenyum"?"

"Iya, tau. Memang kenapa, Bu?"

"Kata Ayahmu yang suka meromantisasi hal-hal kecil, dia bilang Ibu rugi kalau menolak menua di kota ini. Katanya, Tuhan menciptakan Bandung sambil tersenyum, jadilah semua di Bandung itu indah setiap sudutnya. Hanya satu yang kurang di Bandung. Berly tau apa?"

"Apa?"

"Kata Ayah karena nggak ada senyum Ibu di sini," jelas Dita. Senyum Dita seketika merekah saat mengingat masa-masa indah itu bersama suaminya.

Di malam yang sunyi itu, Dita memeluk tubuh anak bungsunya sembari berbaring santai di kamar Berly. Ini adalah hal menyenangkan yang sering dilakukan Dita dan Berly. Bagi Dita, tidak ada yang lebih indah dibanding bercerita banyak hal dengan Berly sambil memeluk anak bungsunya ini.

"Bu, Ayah itu aneh, ya? Ayah, kan, asli orang Surabaya, tapi malah secinta itu sama Bandung."

"Iya, memang aneh. Ibu juga belum bisa benar-benar paham kenapa Ayah secinta itu sama Bandung. Yang jelas, sejak Ibu pacaran dengan Ayah, dia selalu saja bahas Bandung dan seisinya. Katanya dulu, cita-citanya adalah bawa keluarga kecilnya tinggal di Bandung."

"Untunglah cita-cita itu terwujud. Perjalanan keluarga kita yang pindah dari kota ke kota berakhir perjalanannya di Bandung. Ayah juga menyiapkan rumah untuk anak-anaknya di Bandung. Keluarga kita juga sempat berbahagia di Bandung."

"Ibu nggak pernah lihat wajah Ayah sebahagia itu, seperti waktu pertama kali menempati rumah ini dan tinggal di Bandung. Di hari itu Ibu baru menyadari, kalau Ayah memang berbahagia dan cinta sama Bandung."

Dita lalu mengulum senyum. "Ayahmu itu, secinta itu, kah, dengan Bandung? Sampai dia juga berakhir dikebumikan di Bumi Bandung," kata Dita pelan. Air mata yang tertahan jatuh membasahi pipi Ibu Berly. Ia haru mengingat sosok suaminya.

Berly segera memajukan diri memeluk ibunya erat ketika Dita mulai bergetar menahan tangisnya. "Ibu, maafin Berly, ya? Berly malah bahas Ayah, bikin Ibu nangis. Ibu kangen, ya?"

Dita menggeleng. "Iya, kangen. Ibu kangen sekali," jawab Dita. "Tapi, gak apa-apa Berly. Ibu malah senang kita bicara tentang Ayah. Lagian kalau bukan sama Berly, mau dengan siapa lagi Ibu mengingat Ayah?" ujar Dita. Ia lalu memeluk putri bungsunya lebih erat dan sesekali mencium dahi anak gadisnya itu. "Maafkan Ayah dan Ibu, ya? Sejak kecil tempat tinggal Berly berpindah-pindah. Berly harus berkali-kali adaptasi sama lingkungan baru, bahasa baru, dan kehidupan baru. Hal itu selalu membayangi Ibu. Ibu merasa bersalah sama Berly."

"Sekarang .. kamu, Ibu, Aa dan Teteh berakhir di Bandung. Ibu harap kita bisa abadi di Bandung, ya," lanjut Dita.

Berly menangis dalam pelukan Ibunya. Iya, Berly memang cengeng, apalagi jika menyangkut tentang Orang tuanya. Dalam urusan kedekatan, Berly paling dekat dengan ibunya. Sewaktu ayahnya masih hidup, Berly pun banyak dengan ibunya.

Ayahnya yang seorang tangan kanan Perusahaan sangat sibuk semasa hidupnya. Karena pekerjaannya itu, Jagad--Ayah Berly--harus membawa anak-anak dan istrinya berpindah-pindah kota sesuai penempatan kerjanya. Sejak kecil sampai menikah Jagad dan Dita menetap di Surabaya sampai Berly kelas 2 Sekolah Dasar. Lalu berpindah 2 tahun di Bali, 1 tahun di Solo, 1 tahun di Kalimantan, 3 tahun di Jakarta, dan perjalanan panjang itu membawa keluarganya ke kota kecintaan ayahnya, Bandung.

Seperti pembicaraan dengan Dita, ibu Berly juga masih tidak paham mengapa mendiang suaminya itu begitu cinta dengan Bandung. Pria romantis bernama Jagad itu selalu berandai-andai bahwa ketika ia dan Dita menua, anak-anaknya bertumbuh dewasa lalu sibuk dengan dunianya sendiri, ia dan Dita akan berbahagia di Bumi Bandung, jalan-jalan seperti anak muda di Asia-Afrika, bergandengan tangan, lalu mengenang masa muda mereka. Namun, ke mana realita dari andai itu?

Jangankan bergandengan tangan di Asia-Afrika, kini saling bertatap saja tidak. Pria romantis itu bahkan sudah berpulang, menutup usianya di usia 58 tahun di Bumi Bandung yang merupakan tempat menua impiannya. Jadi maksudnya, ini yang dinamakan menua di Bumi Bandung, Jagad?

"Berly ..."

"Iya, Ibu?"

"Nggak ada masalah di sekolah, kan? Ada yang ejek Berly lagi ngga masalah bahasa Berly?"

Berly menggeleng. "Nggak ada, Bu. Di sekolah Berly yang sekarang, nggak semuanya dari Bandung. Nggak semua orang Sunda. Banyak juga dari Jawa, Chinese, dan lain-lain. Jadi buat di sekolah, pakai Bahasa Indonesia formal aja, Bu."

"Syukurlah," ucap Dita.

Maklum saja jika Dita khawatir. Saat SMP, Berly pernah menangis sepulang sekolah, bahkan sampai mogok sekolah selama dua hari karena dianggap bahasanya aneh--ada di Jakarta, tapi malah bahasanya Indonesia di era lo-gue yang kuat di anak remajanya. Entahlah. Dita rasa tidak semua sekolah di Jakarta seperti itu, mungkin saja hanya lingkungan sekolah Berly yang demikian.

Berly jelas saja tidak terbiasa dengan itu, pasalnya Ibu dan ayahnya tidak pernah membiasakan ia berbicara dengan bahasa daerah atau bahasa di kota tempat keluarganya tinggal sementara. Faktor utamanya jelas karena tempat tinggal mereka yang selalu berpindah. Bukannya pun tidak pernah belajar. Berly paham dengan bahasa daerah tiap kota yang pernah keluarganya singgahi, hanya saja ia sulit membalasnya dengan bahasa yang sama. Ketika di Surabaya dan Bali, hal itu tidak pernah menjadi masalah. Hanya di Jakarta Berly merasa kesenjangan sosial dari bahasa jelas kentara dalam lingkungannya.

"Teman-teman Berly bagaimana? Baik, kan?" Dita bertanya lagi.

"Baik, Ibu. Tapi Berly ada masalah sama Kakak Kelas Berly, Bu," cerita Berly.

"Loh kenapa? Dia--"

"Nih. Ibu dengar Berly cerita, ya," Berly melepas pelukan ibunya. Ia kini duduk bersilang kaki di kasur sembari menyiapkan diri untuk bercerita. "Jadi ada helm di kantin, yang udah 2 minggu nggak diambil dan nggak berpindah tempat. Helmnya semacam helm Berly, tapi warnannya putih dan udah dekil banget, Bu. Nah, karena Berly gemes, Berly ambil helm itu terus Berly lukis jadi warna pink ada bunga-bunganya. Jadinya lucu banget pokoknya. Eh, gak taunya itu helm punya Kakak Kelas Berly. Anak kelas sebelas, dia cowok, Bu. Dia nyamperin Berly di kelas sambil gondok banget helm dia jadi pink. Padahal harusnya makasih dulu, gak, sih, Bu? Helm dekilnya jadi lucu."

Dita tertawa lebar melihat anak bungsungnya itu bercerita bersungut-sungut dengan bibirnya yang mengerucut sebal. Ia menggeleng tidak percaya dengan sikap Berly. "Astaga Berly, Berly, ada-ada saja kamu itu. Ya, jelas aja dia marah. Masa helm anak cowok berubah jadi pink? Mana bunga-bunga lagi. Sisi garangnya dia, bisa-bisa luntur kalau beneran pakai helm modifanmu," kata Dita masih tertawa.

"Ih, Ibu. Jadi Ibu rela kalau anak bungsu Ibu ini dikerjain Kakak Kelas dengan dalih tanggung jawab?"

"Memang dia minta kamu tanggung jawab? Gimana caranya?"

"Iya. Dia suruh Berly cat ulang helm dia lagi sampai selesai. Udah gitu dia request motif, Bu. Kan repot," keluh Berly. Ia memelas sedih pada ibunya. Barangkali Ibunya bisa berbuat sesuatu untuk menghentikan aksi Braga itu.

"Wah, dia minta kamu tanggung jawab? Hebat juga Kakak Kelas kamu itu. Besok Ibu nitip bawakan bekal buat dia, ya."

Berly melongo tidak percaya. "Ibu?! Tega ya .."

"Sampaikan salam Ibu. Bilangkan juga makasih, karena udah ajarin tanggung jawab ke anak Ibu satu ini," lanjut Dita yang berhasil membuat anak gadisnya semakin sebal.

Berly langsung mengeluarkan jurus tangannya ke perut Dita. Ia menggelitiki perut ibunya dari balik selimut dan membuat wanita tercintanya itu bergeliat geli sampai meminta ampun. Mereka berdua memang begini. Sewaktu jadi Tom & Jerry, sewaktu lagi bisa seperti Dora & Peta--yang di mana jika tanpa peta, Dora tidak bisa mencapai tempat tujuannya.

Dita lalu menarik tangan Berly, menempatkan anak gadisnya itu dalam pelukannya lagi. Lalu ia perlahan menaikkan selimut sampai menutupi tubuh mungil Berly.

Napas panjang pun Dita ambil banyak-banyak. Lega sekali perasaannya jika bersama Berly. Segala lelah dan tawa ia lepaskan tanpa beban. Dita sangat mensyukuri itu. "Anakku ... makasih, ya, sudah jadi anak bungsu Ibu. Sudah temani hari tua Ibu. Sudah tertawa bareng Ibu di kehidupan Ibu yang sepi ini. Berly, Ibu sayang sekali sama Berly. Janji, ya, kalau Berly akan terus cerita sama Ibu, nggak ada yang ditutup-tutupi," ujar Dita pelan, tapi ia yakin anak gadisnya bisa mendengarkan ucapannya dengan baik.

Dalam hangatnya selimut dan pelukan ibunya, Berly menangis di sana. Air matanya menolak diri jika hanya berdiam indah di pelupuk matanya. Entahlah, Berly cengeng sekali jika membicarakan perasaannya pada Dita.

Sama halnya dengan ibunya, Berly juga sangat bersyukur menjadi anak bungsu wanita setengah baya itu. Berly tidak pernah kesepian karena ada Dita yang menemani. Mereka benar-benar berdua sepanjang hari, di saat anak Dita yang lain, yang merupakan Aa dan Teteh Berly, sibuk dengan segala urusan pribadinya.

"Ibu .. Berly bahagia sekali jadi anak Ibu. Panjang umur, Ibu."

Mereka tak bicara lagi setelah itu. Yang kini terdengar hanya tangan Dita yang menepuk-nepuk pinggang Berly dan sesekali ia bersenandung merdu, menyanyikan lagu yang disukai anak gadisnya itu dari kecil. Suasana tenang itu membuat perasaan mereka menghangat dalam sekejap.

"Berly,"

"Ya, Ibu?"

"Soal yang tadi, Ibu serius. Masalah dengan Kakak kelasmu, itu Berly yang salah. Besok jangan lupa minta maaf dengan benar, juga tetap harus bertanggung jawab. Ngerti?"

"Gimana caranya minta maaf yang benar, Bu?" tanya Berly.

"Kalau Ibu minta maaf ke Ayah, setau Berly gimana?"

Berly menerawang di masa kecilnya.

Di suatu hari yang cerah di Surabaya, sekiranya Berly berumur 8 tahun. Dari gorden panjang di ruang tamu yang menjuntai dan kainnya putih tipis, yang saat itu terpancar sinar matahari, di sana Berly melihat Ayah dan ibunya duduk berdampingan di kursi teras. 

Tidak seperti biasanya, Ayah dan ibunya itu duduk berjauhan. Padahal biasanya, ibunya itu bersandar di bahu ayahnya atau ayahnya akan memeluk ibunya dengan erat. Tapi pagi itu, duduk mereka berjarak dan mereka banyak diam.

Berly yang ada di ruang tamu, sedang bermain dengan Lucia--boneka beruang miliknya--secara tidak langsung mendengar perdebatan dua orang tuanya di sana.

Jangan tanya di mana keberadaan Aa dan Teteh. Saat Berly itu kelas 2 Sekolah Dasar, mereka sudah lulus sekolah dan sudah sibuk dengan urusan pribadi mereka. Mereka sudah banyak di luar daripada di rumah. 

"Mas, aku nggak setuju kalau kita harus pindah ke Bali. Anak-anak bagaimana, Mas? Terutama Berly. Perjalanan pendidikannya gimana?" khawatir Dita.

"Sayang, kamu jelas tau gimana pekerjaan suamimu ini. Sekarang, aku lagi ada di masa emas pekerjaanku. Aku nggak bisa kalau nggak ikut kata Pak Dion buat urus Perusahaan di Bali, sedangkan aku juga nggak bisa buat ninggalin anak-anak di Surabaya, apalagi jauh dari kamu."

"Jadi pilihanku saat ini adalah kamu dan anak-anak ikut aku ke Bali," putus Jagad. "Untuk sekolah Berly, kita sama-sama cari sekolah yang terbaik buat dia di sana. Soal Aa juga Teteh, aku yakin mereka bisa nerima ini."

Saat mendengar itu, Berly lemas seketika. Ia meletakkan Lucia di meja, sedang ia membenamkan wajah di sana. Ia menangis dalam diamnya. Hal yang membuatnya sedih saat itu karena ia harus meninggalkan teman-teman bermainnya. Ia juga harus meninggalkan rumah ini, juga dengan segala isinya.

Meski saja ia masih 8 tahun saat itu. Namun, Berly adalah anak kecil yang menaruh cintanya pada setiap barang yang ia jumpai. Terlebih pada barang pribadinya atau barang di sekitarnya yang sudah menemaninya bertumbuh. Setiap ada barang yang rusak atau hilang, Berly bisa menangis berhari-hari. Apalagi jika harus meninggalkan rumah ini dan segala isinya? Berly sedih karena itu.

"Nggak, Mas. Aku nggak bisa ikut pindah. Anak-anak, terutama Ber--"

"Terserah kamu. Kalau itu maumu, tinggal saja di sini dengan anak-anak dan jangan hubungi aku," sela Jagad. "Kamu tau bahwa aku kerja buat kalian. Segala harapan keluarga kita itu bergantung dengan aku, dengan pekerjaanku saat ini. Kalau kamu tidak bisa mendukungku, cukup anggap kalau aku tidak ada dan jalani hidup kalian di sini."

Berly semakin menangis dalam diamnya. Mendengar Ayah dan ibunya bertengkar membuatnya semakin sedih.

Memang risiko jadi Anak Bungsu. Anak bungsu secara tidak langsung yang menjadi penghuni lama di rumah. Saat anak-anak yang lebih dewasa meninggalkan rumah, sedang ia berdiam diri di rumah, ia akan menjadi saksi bisu tentang riuh yang ada di rumah. Segala riuh itu akan menjadi memori terkenang sepanjang masa, seperti yang akan terjadi pada Berly.

Setelah perdebatan sengit itu, Jagad masih diam di teras. Sedang Dita, wanita itu memilih masuk rumah, lalu meraih tangan Berly yang ada di ruang tamu. Dita membawa Berly ke kamarnya dan ia mengunci pintu rapat-rapat.

Dengan lemas, ia duduk di ranjang. Dalam tangisnya, Dita memeluk tubuh Berly lama. Di sana, Dita menumpahkan segala sesaknya pada Berly. "Maafkan Ibu, ya, Berly."

"Berly gak apa-apa kalau kita tinggal di sini tanpa Ayah?"

Berly tertunduk.

"Atau Berly mau pergi dari sini? Kita akan ke tempat yang indah. Di sana banyak pantai dan banyak hal baru di sana, yang nggak ada di sini. Kita akan tinggal di kota berbeda. Berly mau melewati hari-hari baru itu sama Ibu?"

Meski menolak mentah-mentah ucapan Jagad yang memintanya pindah ke Bali, tapi Dita tetap menyampaikan itu ke Berly.

Kepala Berly terangkat. Senyum lebar terbibit di bibirnya. 

"Tapi kalau kita pergi dari sini, Berly akan kehilangan banyak hal. Nggak bisa lagi main sama Reno dan Giana, nggak bisa mainan sama mainan-mainan Berly, dan tinggalin barang-barang di rumah ini. Berly gak apa-apa, Nak?"

Dita menegaskan itu ke Berly. Meski saja ada Ames, Dewa, dan Jagad, tapi tetap saja mereka akan sibuk dengan urusannya masing-masing. Sedang, Dita .. ia akan melalui hari-harinya berdua dengan anak bungsunya, Berly.

Berly mengangguk pelan. "Berly gapapa, asal sama Ibu, kan?"

"Kalau kita pergi ke sana, Ibu sama Ayah gak akan berantem, kan?"

"Berly sedih liat Ayah dan Ibu berantem. Berly gapapa kok harus pergi dari sini, asal perginya sama Ibu."

"Ibu ingat nggak kemarin kita ngobrol apa? Berly tanya jadi anak besar itu enak, ya? Kata Ibu, jadi dewasa itu nggak mudah karena banyak perjalanan hidup yang nggak bisa ditebak. Tapi, gimana pun, kita harus tetap kuat dan menjalaninya. Iya, kan, Bu?"

"Jadi, anggap aja, ikut Ayah pergi, ini perjalanan hidup kita yang nggak bisa ditebak dan kita harus menjalaninya. Iya, kan, Bu?"

"Ayah juga pasti sedih, Bu. Ini kan rumah Nenek dan Kakek, dan Ayah udah tinggal di sini dari kecil. Sama kayak Berly, Ayah pasti sedih ninggalin rumah ini."

"Tapi kata Ibu, Ayah kan kepala rumah tangga. Ayah capek kerja buat kita, sampai ayah pulang kerja malem-malem cari uang buat kita. Jadi, Ayah ajak kita pindah juga karena Ayah kerja buat kita, kan, Bu?"

Ocehan gadis 8 tahun itu berhasil membuat tangis Dita semakin histeris. Bagaimana bisa anak bungsunya ini mengerti jika Ayah dan ibunya sedang bertengkar? Ia juga berbicara dengan baik tentang segala hal seperti itu? Juga, dengan kepolosan hatinya ia memberi pengertian pada Dita yang sedang temaram hatinya.

"Makasih, ya, Anak Ibu yang cantik. Makasih udah bicara baik ke Ibu," Dita memeluk erat putri bungsunya.

Setelah itu Dita menggandeng tangan Berly erat-erat. Ia membuka kunci kamarnya dan berjalan cepat ke teras untuk menemui suaminya.

"Mas ... " suara Dita bergetar.

Berly melihat ibunya kini bertelut lutut di hadapan ayahnya. "Maafkan keegoisanku, Mas. Aku nggak bermaksud. Ak--"

Jagad berdiri sembari membawa istrinya ikut berdiri bersamanya. "Aku tau. Kamu hanya memikirkan anak kita."

"Maaf, Mas .."

"Aku tau ini nggak mudah buat kita lalui. Tapi, anggap ini perjalanan keluarga kita, ya, Sayang?" kata Jagad. "Maaf juga kalau Mas tadi bicara kasar ke kamu. Mas nggak bersungguh-sungguh."

"Maaf juga, Mas. Aku terlalu egois. Padahal aku tau perjuanganmu buat keluarga kita nggak pernah mudah sampai ada di titik ini. Mas, jalani semua ini bareng-bareng, ya? Jangan tinggalin aku."

Jagad memeluk Dita, juga turut menggendong putri bungsungnya. "Makasih udah ngerti Ayah ya, Ibu, Berly."

Kini Berly menarik kesimpulan. Ibunya itu jika berbuat salah pada Jagad, ia dengan rendah hatinya akan mengakui kesalahannya dan meminta maaf dengan tulus.

Jadi, haruskah Berly demikian?

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • suhar

    Bagus kak ❤
    Next Part Kapan Nih kak ???

    Comment on chapter P R O L O G
Similar Tags
Let me be cruel
5649      2821     545     
Inspirational
Menjadi people pleaser itu melelahkan terutama saat kau adalah anak sulung. Terbiasa memendam, terbiasa mengalah, dan terlalu sering bilang iya meski hati sebenarnya ingin menolak. Lara Serina Pratama tahu rasanya. Dikenal sebagai anak baik, tapi tak pernah ditanya apakah ia bahagia menjalaninya. Semua sibuk menerima senyumnya, tak ada yang sadar kalau ia mulai kehilangan dirinya sendiri.
Broken Home
34      32     0     
True Story
Semuanya kacau sesudah perceraian orang tua. Tak ada cinta, kepedulian dan kasih sayang. Mampukah Fiona, Agnes dan Yohan mejalan hidup tanpa sesosok orang tua?
Trust Me
71      64     0     
Fantasy
Percayalah... Suatu hari nanti kita pasti akan menemukan jalan keluar.. Percayalah... Bahwa kita semua mampu untuk melewatinya... Percayalah... Bahwa suatu hari nanti ada keajaiban dalam hidup yang mungkin belum kita sadari... Percayalah... Bahwa di antara sekian luasnya kegelapan, pasti akan ada secercah cahaya yang muncul, menyelamatkan kita dari semua mimpi buruk ini... Aku, ka...
Behind The Spotlight
3456      1689     621     
Inspirational
Meskipun memiliki suara indah warisan dari almarhum sang ayah, Alan tidak pernah berpikir untuk menjadi seorang penyanyi, apalagi center dalam sebuah pertunjukan. Drum adalah dunianya karena sejak kecil Alan dan drum tak terpisahkan. Dalam setiap hentak pun dentumannya, dia menumpahkan semua perasaan yang tak dapat disuarakan. Dilibatkan dalam sebuah penciptaan mahakarya tanpa terlihat jelas pun ...
Rumah?
59      57     1     
Inspirational
Oliv, anak perempuan yang tumbuh dengan banyak tuntutan dari orangtuanya. Selain itu, ia juga mempunyai masalah besar yang belum selesai. Hingga saat ini, ia masih mencari arti dari kata rumah.
Merayakan Apa Adanya
518      363     8     
Inspirational
Raya, si kurus yang pintar menyanyi, merasa lebih nyaman menyembunyikan kelebihannya. Padahal suaranya tak kalah keren dari penyanyi remaja jaman sekarang. Tuntutan demi tuntutan hidup terus mendorong dan memojokannya. Hingga dia berpikir, masih ada waktukah untuk dia merayakan sesuatu? Dengan menyanyi tanpa interupsi, sederhana dan apa adanya.
Tanda Tangan Takdir
216      176     1     
Inspirational
Arzul Sakarama, si bungsu dalam keluarga yang menganggap status Pegawai Negeri Sipil (PNS) sebagai simbol keberhasilan tertinggi, selalu berjuang untuk memenuhi ekspektasi keluarganya. Kakak-kakaknya sudah lebih dulu lulus CPNS: yang pertama menjadi dosen negeri, dan yang kedua bekerja di kantor pajak. Arzul, dengan harapan besar, mencoba tes CPNS selama tujuh tahun berturut-turut. Namun, kegagal...
My First love Is Dad Dead
56      53     0     
True Story
My First love Is Dad Dead Ketika anak perempuan memasuki usia remaja sekitar usia 13-15 tahun, biasanya orang tua mulai mengkhawatirkan anak-anak mereka yang mulai beranjak dewasa. Terutama anak perempuan, biasanya ayahnya akan lebih khawatir kepada anak perempuan. Dari mulai pergaulan, pertemanan, dan mulai mengenal cinta-cintaan di masa sekolah. Seorang ayah akan lebih protektif menjaga putr...
Kamu Tidak Harus Kuat Setiap Hari
2419      1357     0     
Inspirational
Judul ini bukan hanya sekadar kalimat, tapi pelukan hangat yang kamu butuhkan di hari-hari paling berat. "Kamu Tidak Harus Kuat Setiap Hari" adalah pengingat lembut bahwa menjadi manusia tidak berarti harus selalu tersenyum, selalu tegar, atau selalu punya jawaban atas segalanya. Ada hari-hari ketika kamu ingin diam saja di sudut kamar, menangis sebentar, atau sekadar mengeluh karena semua teras...
Mimpi & Co.
1264      802     2     
Fantasy
Ini kisah tentang mimpi yang menjelma nyata. Mimpi-mimpi yang datang ke kenyataan membantunya menemukan keberanian. Akankah keberaniannya menetap saat mimpinya berakhir?