Loading...
Logo TinLit
Read Story - Jalan Menuju Braga
MENU
About Us  

"Astaga! Ibu! Kok nggak bangunin Berly, sih?"

Berly terperanjat saat jam diponselnya sudah menunjukkan pukul 06:00. Secepat kilat ia bangkit dari kasurnya dan berlari ke kamar mandi. Biasanya di jam ini ia sudah siap berangkat sekolah, tapi hari ini, di jam enam ini, ia malah masih baru bangun tidur? Astaga!

Pagi hari ini disambut dengan Berly yang bangun kesiangan. Iya, tidak lain tidak bukan, ini karena ia pulang sangat larut semalam. 

Benar, sih, memang ajakan beli helm itu terlaksana. Namun, setelahnya mereka malah mengajak Berly makan nasi goreng Mang Deden yang terkenal di daerah ini. Akhirnya, Berly ikut berbincang dan nongkrong dengan mereka sampai jam dua belas malam dan berakhir sampai rumah pukul satu dini hari. Sungguh hari yang sangat melelahkan bagi Berly.

Selepas mandi, Berly segera bersiap. Seragam putih dengan balutan rompi kotak-kotak berwarna cokelat segera ia kenakan. Ia juga dengan cepat memakai sepasang sepatunya, menyisir rambut panjangnya, dan memakai skincare routine-nya untuk sekolah. Semua itu Berly lakukan terburu-buru dan gadis itu begitu sebal dibuatnya.

Kini, jam dinding bergambar Snoopy di ruang tengah sudah menunjukkan pukul enam lebih dua puluh menit. Tak ada tanda-tanda pergerakan dari kamar Ames dan Dewa, yang berarti kedua manusia itu tidak pulang lagi. 

Sepagi ini dapur Dita sudah mengebul. Wanita setengah baya itu bersemangat memasak sejak pukul lima pagi. Keringat berderai dari pelipisnya demi membuat makan pagi untuk anak gadisnya.

Aroma manis dari adonan pancake yang dibuat Dita mengudara. Meja dapur penuh dengan bahan-bahan masakan yang sudah Dita siapkan dengan baik. 

Meski saja bangun kesiangan dan terburu-buru berangkat ke sekolah, tapi Berly tetap berlenggang ke dapur untuk membantu Dita. Berly sibuk mengisi teko berisi air hangat yang setiap pagi wajib ia dan Dita konsumsi, lalu lanjut menyiapkan alat makan dan menyiapkan nasi di piring.

"Ade," panggil Dita.

"Ya, Bu?" 

"Tadi malam kamu pulang jam berapa?" 

"Jam satu, Bu." 

"Beli helm di mana sama Kakak Kelas Ade?"

"Di ruko depan. Terus Berly diajak makan nasi goreng Mang Deden, jadinya sampe malem, Bu. Maaf, ya, Bu? Berly gak tepat waktu," Berly merasa bersalah. Pasalnya tadi adalah pertama kali dalam hidupnya keluar rumah sampai jam 1 dini hari. Untung saja Dewa tidak pulang. Kalau Aa-nya itu pulang, bisa dicuci giling lima belas kali Berly.

"Ih, gapapa atuh, Berly. Kan Ibu udah kasih ijin. Lagian Ibu yakin Kakak Kelas kamu itu anak baik, bisa jagain kamu." 

"Ibu jangan terlalu percaya. Ketemu dia aja belum," kesal Berly. 

"Mangkanya bawa main ke rumah. Biar Ibu bisa kenal laki-laki mana yang udah ajarin anak Ibu tanggung jawab," ujar Dita sembari memasukkan beberapa macam masakannya ke kotak bekal yang sudah ia bariskan di meja.

Sementara, Berly duduk di kursi makannya dengan lemas. Sepagi ini sudah mendengar Dita membahas Braga membuat semangat Berly runtuh, apalagi membahas tanggung jawab lagi dan lagi. Ia jadi teringat. Gara-gara kemarin belum tuntas cat ulang helm Braga, akhirnya nanti di jam istirahat ia harus absen ke ruang lukis dan malah ke ruangan di seberangnya--MaBes Svarga. Itu melelahkan sekali. Berly malas bukan main.

"Ade, ini bekal Ade, ya," ujar Dita. Wanita setengah baya itu meletakkan tempat makan pink milik Berly di meja makan, lalu disusul tempat makan berwarna biru dongker di sampingnya, "Kalau ini punya Kakak Kelas Ade. Jangan lupa sekalian sampaikan salam Ibu, ya?" 

Berly langsung bangkit dari kelemasannya. "Gimana? Ibu nggak serius, kan, soal bawain bekal buat Kakak Kelas Berly?" heboh Berly.

"Lah ini? Bukannya ini tanda keseriusan Ibu?" Dita menunjuk tempat makan biru dongker yang ia siapkan--yang sudah terisi lengkap dengan nasi goreng, telur setengah matang, sosis asam manis, dan jamur enoki yang ditumis. Jangan lupa, masih ada sekotak bekal lagi di sampingnya, yang berisi buah melon, buah semangka, pancake saus madu, juga sekotak susu cokelat. Menu itu sama persis dengan milik Berly.

Melihat itu Berly kembali lemas di tempat duduknya. Ia membenamkan kepalanya di meja dan Berly berceloteh kesal di sana.

"Aih, Ibu. Berly nggak mau kasih. Lagian urusan Berly sama dia itu cuma sampai tanggung jawab Berly selesai. Jadi Ibu nggak usah bawain bekal begini, deh." 

"Tolonglah. Ya?"

"Nggak mau! Pokoknya enggakkkkk Ibuuuu!" 

•••

"Ini, Kak," dengan malas Berly meletakkan tas bekal berwarna biru muda di atas meja, tepat di depan sang penerima, Braga. "Pesannya makannya harus habis, dibawa balik harus kosong dan bersih, makan yang lahap tapi pelan-pelan, dan jangan banyak minum waktu makan," meskipun dongkol bukan main, tapi Berly tetap menyampaikan pesan otomatis dari Dita itu.

Braga menggeser posisi duduknya lebih maju. Ia sampai membuang ponselnya begitu saja ke sofa. Daripada berita Maxime dan Luna Maya yang menikah hari ini, ia lebih penasaran dengan isi tas yang dibawakan Berly. "Apa ini?" tanyanya heran.

"Bekal dari Ibu," terang Berly. 

"Ibunya siapa?" 

"Ibuku," jawab Berly singkat. 

Dengan pelan Braga membuka tas biru itu, lalu mengeluarkan tempat bekal yang ada di dalam sana. Matanya berbinar saat mendapati ada dua tempat bekal berwarna biru dongker berukuran besar di sana. Tempat bekal itu pun kini dibuka Braga. Melihat isinya, Braga tersenyum tipis. "Ini semua buat aku?" tanyanya. 

"Iya." 

"Boleh dimakan?" 

Berly mengangguk. 

"Kamu?" 

"Udah habis, Kak. Sebelum ke sini, aku makan dulu di kelas." 

"Kenapa?" 

Berly mengerutkan dahi. "Apanya yang kenapa, Kak?" 

"Kenapa nggak makan disini sama aku aja?" tanya Braga serius.

Pertanyaan itu membuat Berly termenung beberapa saat. Gimana tadi katanya? Makan bersama dengan Braga? Berdua saja? Begitu maksudnya? Memang boleh?

Selanjutnya tak ada lagi tanggapan dari mereka berdua. Berly terdiam, sementara Braga sibuk dengan bekalnya. 

Di keheningan ruangan itu, di waktu Braga sibuk mengeksplor bekal yang diberikan Dita, pandangan Berly perlahan terpaku pada Braga yang kini mulai makan bekal dari Dita. Senyum laki-laki itu tak henti mengembang, mata indahnya terlihat berbinar. Laki-laki itu makan dengan lahap, tapi dengan ritme yang pelan, sesuai arahan yang Berly sampaikan. Sesekali Braga mengecap sambil jemarinya menyisir rambut tebal hitam legamnya itu. 

Menyaksikan aksi itu langsung di hadapannya, membuat Berly menelan ludah.

Astaga! Demi Neptunus! Apapun yang dilakukan Braga, laki-laki itu terlihat tampan dan mempesona dalam bingkai mata Berly. Itu adalah satu fakta yang tidak bisa Berly tepis meski ia kesal bukan main pada Braga. 

"Berly, Ini Ibu kamu yang masak?" tanya Braga di sela makannya. "Enak. Aku udah lama nggak makan masakan rumahan begini."

Ucapan Braga itu membuat Berly mengerlingkan mata. Ia meraih penuh kesadarannya. 

"Iy-iya, Kak. Ibu yang masak," jawab Berly singkat. Gadis itu kini mulai membuka cat akrilik yang disediakan Braga dan mencampur beberapa warnanya di palet daripada ia terus menerus menatap Braga. Bisa kepayang ia kalau Braga menyadari itu.

Helm Braga yang sudah berubah warna jadi hitam pekat itu akan mulai Berly beri motif gambar. Ia berencana akan membuat motif sederhana saja agar cepat selesai. Ia sudah tidak sanggup ada di keadaan seperti ini. Ia ingin segera menyudahinya.

"Wah, ada penghuni baru MaBes, nih. Udah di sini aja, Zubai--eh, Berly maksudnya!" Marlo datang di MaBes bersama dengan seorang Siswi yang digandengnya. Berly bisa menebak jika Siswi ini adalah kekasih baru Marlo. Jangan heran. Marlo ini memang sangat terkenal sebagai buaya muara yang lepas ke daratan.

"Ngapain ke sini?" tanya Braga.

"Weits, gak niat ganggu gue, Ga. Cuman mau ambil topi aja di lemari. Tadi pagi ketinggalan." 

"Ambil aja." 

Saat Marlo sudah beranjak ke walk in closet mini di ruangan ini, Siswi yang dibawa Marlo tiba-tiba saja duduk di sofa tepat disamping Braga. 

Berly sedikit terkejut, pasalnya pergerakan Siswi ini cukup cepat.

Saat melihat wajah Siswi ini, yang sudah duduk dekat dengan Braga, Berly bisa mengenali bahwa ia juga ada di kelas sepuluh, sama dengannya. Label namanya bertuliskan Natisha Riawan. Tidak ia sangka, Siswi ini berani juga mengambil posisi sedekat itu dengan Braga.

"Kak Braga ... " panggilnya pelan. 

"Hm?" 

"Ini," Natisha itu menyodorkan sebuah kertas ke Braga dengan antusias.

"Apa?" 

"Titipan dari temanku, namanya Luna. Kakak tau dia, kan? Dia captain cheerleader yang bar--" 

"Enggak. Aku nggak tau," sela Braga malas berpanjang lebar. Selain itu, mulutnya itu penuh dengan masakan Dita. 

"Iya, iya, gapapa kalau gak kenal. Tapi ini diterima, ya, Kak?" 

"Kasih aja ke dia," kata Braga sembari menunjuk Berly yang sedang tekun dengan helmnya. 

"D-dia?" Natisha itu menunjuk Berly dengan bingung. 

"Iya. Kurang jelas?" jawab Braga dingin.

Sedikit kesal, Natisha itu memutar posisi kertasnya. Kertas itu kini berubah haluan jadi tepat di hadapan Berly. "Nih!" ujarnya sedikit kesal.

Melihat secarik kertas di bawah pandangan matanya, Berly dengan cepat menatap Natisha dengan bingung. "Apa?" 

"Kata Kak Braga, kasih aja ke kamu." 

Berly mengalihkan pandangannya ke Braga. Ia memiringkan kepala dan mengangkat alis seolah meminta penjelasan. Sementara, Braga itu justru asik menikmati buah melon di tempat duduknya sambil enteng menghardikkan bahu.

"Diterima, ya. Nanti jangan lupa kasih ke Kak Braga kalau dia udah selesai makan," pinta Natisha. Matanya kedip dengan cepat pada Berly sembari tersenyum begitu lebar penuh harap.

Kertas yang entah isinya apa itu langsung diletakkan Natisha di tangan Berly dengan sedikit paksaan. Sementara Berly yang menerima masih dengan kebingungannya. Apa alasan kertas ini diberikan padanya? Padahal sang penerima ada di depan matanya dan tengah santai. Seharusnya garpu ditangan Braga itu bisa diletakkan sebentar untuk menerima ini. Menyebalkan memang.

"Gue cabut dulu, Ga." Marlo beres dengan topinya dan Natisha itu juga buru-buru berdiri lalu bersanding lagi dengan Marlo. 

Gadis itu mengaitkan tangan di lengan Marlo. "Kak, aku balik kelas dulu gapapa, ya? Aku mau ke kantin sama temen-temen," ujarnya. 

"Oh, gitu? Balik aja gapapa, Sha." 

"Oke. Bye Kak Marlo. Mari Kak Braga." Natisha itu juga turut berpamitan ke Braga dengan senyumnya yang penuh arti.

Melihat itu, Berly rasanya mual. Siswi-siswi itu ternyata sama saja. Mereka masih juga naksir berat dengan Braga meski Braga terkenal menyeramkan seantero sekolah dan sering mereka sebut Preman Sekolah. Ya, lagi pula, meski begitu, siapa yang bisa menolak pesona Braga, sih? Ibu Kantin saja naksir berat dengan Braga. Ini serius.

Selepas kepergian Natisha, Marlo justru masih berdiri di ruang tamu MaBes, sibuk dengan ponselnya. Entah dengan siapa ia berbalas pesan dan tak kunjung beranjak meski sudah berpamitan. 

"Nggak cabut, Lo?" tanya Braga.

"Bentaran. Ini si Jovan tolol banget kena hukum Pak Dharma lagi," kata Marlo. "Lagian botak itu ngapain, sih, gedein masalah mulu? Heran gue. Dia naksir kali, ya, sama Jovan? Soalnya gue liat, dia demen banget perhatian ke Jovan," celetuknya. 

"Kayaknya, iya. Jodoh mereka. Satunya suka bikin masalah, satunya suka besarin masalah. Mendingan sekarang kamu siapin aja kuadenya, nanti gampang, aku yang bayar," celetuk Braga. Cakep dan seram begini, Braga sebenarnya punya darah pelawak juga.

"Sialan lu, Ga," Marlo terkekeh. "Cabut deh gue!" 

Namun, sebelum benar-benar beranjak, Marlo menatap Braga cukup lama. Lalu ia mendekat sedikit ke sepupunya itu. "Ga, makan apaan lu?" tanya Marlo heran. Ia kini lebih mendekat lagi, duduk di samping Braga, lalu turut serta mencomot melon untuk masuk ke dalam mulutnya. "Bekal lu? Dibekalin Bi Nimah apa Tante Halimah?"

"Nih," Braga menunjuk Berly dengan dagunya. 

"Dari Berly?" 

"Dari Ibunya," koreksi Braga.

"Asik! Udah direstuin calon mertua, nih?" celetuk Marlo. 

Hal itu membuat Berly melotot. "Gimana, Kak?" Teriaknya tak santai. 

"Ga! Brag--" napas Arendra tersengal. Setelah membuka pintu MaBes dengan tergesa-gesa dan rusuh, ia kini menunduk mengatur napasnya sejenak setelah berlari 3 kilometer dari halaman utama.

Kedatangan Arendra membuat Berly mengurungkan umpatannya yang hampir meluncur ke Marlo. Ia jadi terdiam dan mengamati suasana mencekam yang tiba-tiba tercipta.

"Aduh, Koko Arendra kenapa? Capek banget kayaknya? Ikutan lomba Marathon lu?" tanya Marlo.

"Ihs, sialan! Bukan gitu. Itu, anu .. si Jovan! Agak gila itu anak!" Arendra menjelaskan dengan terbatah-batah. 

"Kenapa Jovan?" tanya Braga serius.

"Berantem sama Ruli. Itu, Ruli Kakak Kelas dua belas." 

"Ruli gold membership-nya Bu Hilda?" sahut Marlo. Hilda--guru Bimbingan Konseling di HarTam yang sudah turun temurun. Terkenal cerewet, killer, dan anti menye-menye. Julukan Bu Hilda adalah TCQ dibaca Ticiki a.k.a The Cruel Queen.

"Nah, itu tau kamu tau. Lagian, Jovan itu emang, ya? Gak ada bosennya cari masalah! Baru aja kelar disuruh lari lapangan sepuluh kali sama Pak Dharma, malah lanjut part 2! Sinting emang." 

"Kok bisa dia berantem? Masalahnya apa?" Marlo bertanya.

"Nah, aku mah kagak paham itu. Yang jelas dia mah selalu jadi sumbu pendek kalau udah kena anak resek kayak Ruli. Buruan dah tengokin dia dulu, sebelum makin runyam!" 

"Lo, liat Jovan dulu. Kalau bisa kamu tanganin mereka berdua. Aku nyusul," perintah Braga. "Biar aku telepon Bu Hilda juga masalah ini."

"Oke, Ga."

Marlo segera beranjak dan pergi bersama Arendra. Sementara Braga masih tenang merapikan tempat bekalnya yang belum habis. Ia perlahan menutup satu per satu tempat bekal, lalu menatanya kembali. "Nanti aku habisin. Sekarang aku ada urusan dulu. Kamu balik ke kelas dan jangan berani keluar kelas sebelum aku balikin tempat makan ini ke kelas kamu. Paham?" 

Berly tercengang di tempatnya alih-alih menjawab ucapan Braga. Ia tiba-tiba berpikir keras. Jadi, ini kondisi di balik layar sebelum Braga keluar sebagai pemain utama di setiap laga babak belur Svarga? 

Iya. Seperti yang selama ini Berly lihat, Braga selalu datang terakhir jika ada pertikaian yang melibatkan Svarga. Entah itu pertengkaran Svarga sendiri atau jika Svarga membantu pertikaian pihak lain.

Daripada garda utama, laki-laki itu seperti menjadi titik akhir sekaligus pemeran utama dari setiap tragedi. Entah berakhir damai atau babak belur, Braga selalu menjadi acuannya. 

Ponsel Braga yang di atas meja berdering. Nama Marlo terpampang di layar ponsel laki-laki itu. Tanpa lama, Braga segera mengangkatnya dengan mode loud speaker. 

"Gimana, Lo?" 

"Situasi gak aman, Ga. Si Ruli anying ini kayaknya abis mabok dia di sekolah, liar banget kelakuannya. Ngomongnya udah ngawur!" 

"Kenapa, sih, dia nggak ada bosen-bosennya cari masalah di sekolah?" ucap Braga kesal. "Aku bentar lagi ke sana. Sebisa mungkin kamu kekep itu Ruli. Kalau perlu tali dia di kursi. Jangan sampe lepas sebelum aku dateng. Aku perlu bicara sama dia." 

"Oh, ya. Jangan lapor Pak Dharma sama Bu Hilda dulu. Itu nanti biar jadi urusanku."

"Oke, Ga." 

Braga menutup teleponnya. Setelah itu, yang dilakukan laki-laki ini di luar kendali. 

Dengan posisi Berly masih ada di hadapannya, laki-laki ini membuka kancing seragamnya satu per satu sampai di ujung bawah. Ia melepas seragam putihnya, meninggalkan kaus putih dengan logo svarga di dada. "Kamu balik kelas sekarang, ya? Aku anter." 

Berly mematung di tempatnya duduk. Aksi apa yang baru saja ia lihat itu? Gws, mata, jiwa, dan ragaku.

"Berly?" panggil Braga karena Berly tak kunjung meresponsnya 

"Eh? Iya? Ayo. Eh--nggak, Kak. Maksudnya, nggak perlu. Aku bisa balik sendiri." 

Braga menatap lekat Berly. "Benar? Ingat, jangan keluar kelas sebelum aku kasih tas bekal ini ke kamu. Paham?" perintah Braga. 

"Iy-iya Kak." 

"Good girl." 

Braga kini mulai bersiap. Ia melepas jam digital di tangannya, juga dengan beberapa gelang kain di sana. Hal kecil itu membuat Berly gemetar secara tidak langsung. Baginya, ketika laki-laki seperti Braga ini melepas aksesoris tangannya, sudah dipastikan bahwa ia akan mempergunakan tangannya secara kasar. Ia melakukan itu karena tidak mengambil risiko atas kerusakan barangnya. 

Selepas bersiap, Braga pun melangkah keluar dari MaBes. Namun, langkahnya tertahan. Laki-laki itupun menoleh, memperhatikan Berly yang kini tengah menahan tangannya dengan lembut. "Kenapa?" tanya Braga. 

"Jangan telat antar tas bekalnya. Nanti Ibu marah," ucap Berly pelan.

"Iya. Aku bakal tepat waktu." Braga melangkahkan kaki, tapi ia masih juga tertahan. Ia pun menoleh lagi. "Kenapa lagi, Berly? Aku nggak akan ter--"

"Hati-hati, Kak ..."

Braga terdiam mendengar itu.

Sama dengan Braga, Berly juga demikian setelahnya. Dari segala kata yang tertahan di bibirnya, hanya satu kalimat itu yang bisa tersampaikan dengan baik oleh Berly. Memang, tak ada hal lain yang diharapkan Berly lebih dari Braga menjaga dirinya sendiri.

Namun, ini bukan pertama kalinya Berly berkata demikian.

Sekiranya, jika menelisik buku merah jambu milik Berly, setidaknya gadis itu sudah mendoakan keselamatan Braga ketika laki-laki itu sedang berliga babak belur bersama Svarga sebanyak 23 kali sejak ia mengenal Braga. 

Namun, dari sebanyak itu yang tertulis di lembaran kertas, hanya satu kalimat yang bisa ia ucapkan langsung di hari ini setelah sekian lama. Hati-hati, Kak.

Hati-hati, Braga.

 

How do you feel about this chapter?

0 0 0 0 0 0
Submit A Comment
Comments (1)
  • suhar

    Bagus kak ❤
    Next Part Kapan Nih kak ???

    Comment on chapter P R O L O G
Similar Tags
JANJI 25
51      42     0     
Romance
Pernahkah kamu jatuh cinta begitu dalam pada seseorang di usia yang terlalu muda, lalu percaya bahwa dia akan tetap jadi rumah hingga akhir? Nadia percaya. Tapi waktu, jarak, dan kesalahpahaman mengubah segalanya. Bertahun-tahun setelahnya, di usia dua puluh lima, usia yang dulu mereka sepakati sebagai batas harap. Nadia menatap kembali semua kenangan yang pernah ia simpan rapi. Sebuah ...
Kacamata Monita
1293      576     4     
Romance
Dapat kado dari Dirga bikin Monita besar kepala. Soalnya, Dirga itu cowok paling populer di sekolah, dan rival karibnya terlihat cemburu total! Namun, semua mendadak runyam karena kado itu tiba-tiba menghilang, bahkan Monita belum sempat membukanya. Karena telanjur pamer dan termakan gengsi, Monita berlagak bijaksana di depan teman dan rivalnya. Katanya, pemberian dari Dirga terlalu istimewa u...
Hideaway Space
118      95     0     
Fantasy
Seumur hidup, Evelyn selalu mengikuti kemauan ayah ibunya. Entah soal sekolah, atau kemampuan khusus yang dimilikinya. Dalam hal ini, kedua orang tuanya sangat bertentangan hingga bercerai. evelyn yang ingin kabur, sengaja memesan penginapan lebih lama dari yang dia laporkan. Tanpa mengetahui jika penginapan bernama Hideaway Space benar-benar diluar harapannya. Tempat dimana dia tidak bisa bersan...
Senja di Balik Jendela Berembun
25      24     0     
Inspirational
Senja di Balik Jendela Berembun Mentari merayap perlahan di balik awan kelabu, meninggalkan jejak jingga yang memudar di cakrawala. Hujan turun rintik-rintik sejak sore, membasahi kaca jendela kamar yang berembun. Di baliknya, Arya duduk termangu, secangkir teh chamomile di tangannya yang mulai mendingin. Usianya baru dua puluh lima, namun beban di pundaknya terasa seperti telah ...
Di Punggungmu, Aku Tahu Kau Berubah
2049      786     3     
Romance
"Aku hanya sebuah tas hitam di punggung seorang remaja bernama Aditya. Tapi dari sinilah aku melihat segalanya: kesepian yang ia sembunyikan, pencarian jati diri yang tak pernah selesai, dan keberanian kecil yang akhirnya mengubah segalanya." Sebuah cerita remaja tentang tumbuh, bertahan, dan belajar mengenal diri sendiri diceritakan dari sudut pandang paling tak terduga: tas ransel.
Surat yang Tak Kunjung Usai
809      532     2     
Mystery
Maura kehilangan separuh jiwanya saat Maureen saudara kembarnya ditemukan tewas di kamar tidur mereka. Semua orang menyebutnya bunuh diri. Semua orang ingin segera melupakan. Namun, Maura tidak bisa. Saat menemukan sebuah jurnal milik Maureen yang tersembunyi di rak perpustakaan sekolah, hidup Maura berubah. Setiap catatan yang tergores di dalamnya, setiap kalimat yang terpotong, seperti mengu...
Fusion Taste
163      150     1     
Inspirational
Serayu harus rela kehilangan ibunya pada saat ulang tahunnya yang ke lima belas. Sejak saat itu, ia mulai tinggal bersama dengan Tante Ana yang berada di Jakarta dan meninggalkan kota kelahirannya, Solo. Setelah kepindahannya, Serayu mulai ditinggalkan keberuntunganya. Dia tidak lagi menjadi juara kelas, tidak memiliki banyak teman, mengalami cinta monyet yang sedih dan gagal masuk ke kampus impi...
Kursus Kilat Jadi Orang Dewasa!
599      265     11     
Humor
Didaftarkan paksa ke Kursus Kilat Jadi Orang Dewasa oleh ayahnya, Kaur Majalengka--si OCD berjiwa sedikit feminim, harus rela digembleng dengan segala keanehan bin ajaib di asrama Kursus Kilat selama 30 hari! Catat, tiga.puluh.hari! Bertemu puding hidup peliharaan Inspektur Kejam, dan Wilona Kaliyara--si gadis berponi sepanjang dagu dengan boneka bermuka jelek sebagai temannya, Kaur menjalani ...
Segitiga Sama Kaki
807      479     2     
Inspirational
Menurut Phiko, dua kakak kembarnya itu bodoh. Maka Phiko yang harus pintar. Namun, kedatangan guru baru membuat nilainya anjlok, sampai merembet ke semua mata pelajaran. Ditambah kecelakaan yang menimpa dua kakaknya, menjadikan Phiko terpuruk dan nelangsa. Selayaknya segitiga sama kaki, sisi Phiko tak pernah bisa sama seperti sisi kedua kakaknya. Phiko ingin seperti kedua kakaknya yang mendahu...
Special
1630      859     1     
Romance
Setiap orang pasti punya orang-orang yang dispesialkan. Mungkin itu sahabat, keluarga, atau bahkan kekasih. Namun, bagaimana jika orang yang dispesialkan tidak mampu kita miliki? Bertahan atau menyerah adalah pilihan. Tentang hati yang masih saja bertahan pada cinta pertama walaupun kenyataan pahit selalu menerpa. Hingga lupa bahwa ada yang lebih pantas dispesialkan.