Semalam, Vino dan Finna pulang jam sebelas. Bapak masih menunggunya. Kenapa Bapak sampai berkorban seperti itu? Menahan kantuk dan lapar demi bisa makan bersama dua anak kotornya. Menurut Phiko, dua kakaknya sudah kotor.
Lihatlah, pulang-pulang mereka berdua sudah tidak memakai seragam. Celana jins Vino lututnya robek. Ada sedikit bercak jejak lipstik di ujung bibir Finna. Phiko sempat mengintip melalui celah pintu, ketika dua kakaknya dan Bapak makan malam bersama. Mereka terlihat tertawa bahagia. Kenapa Bapak tidak curiga dengan penampilan mereka?
Ah, mungkin sebagai seorang ayah, Bapak berusaha menjaga perasaan anaknya, sehingga tidak mempertanyakan sekarang. Mungkin. Oh, Bapak juga sempat menawarkan Phiko makan lagi, tapi Phiko menolak dengan alasan belajar.
Phiko tidur sekitar jam empat subuh, ia punya waktu satu jam untuk mengistirahatkan kepalanya yang mulai pening. Mengerjakan empat tugas dengan soal berbeda-beda, dilanjut belajar materi untuk mata pelajaran esok cukup membuat otaknya berasap.
Jangan ditanya, pada pukul dua belas Vino kembali pergi dari rumah. Jadinya tidur Phiko yang satu jam itu cukup nyenyak karena hanya seorang diri di kasur.
Phiko sudah siap dengan seragam lengkapnya. Lantas keluar dan menghampiri Bapak yang tengah menyiapkan sarapan. Phiko pikir, hanya Vino saja yang menjadi manusia kelelawar. Mungkin Finna juga begitu sekarang. Biasanya Finna belum pergi dan akan ikut sarapan bersama. Tapi, kali ini gadis itu menghilang.
“Finna mana, Pak?”
Pandangan Bapak terangkat, aktivitasnya memasukkan nasi goreng ke piring Phiko terhenti. Salah satu sudut bibir Bapak tertarik ke atas. “Dari kemarin kamu nanyain Finna terus.”
“Nanya aja, Pak.”
Bapak tertawa kecil. “Udah pergi dari jam lima tadi.”
Rupanya Finna pergi ketika Phiko masih tertidur. Artinya, ini pagi pertama mereka hanya sarapan berdua. Jika kita melihat sudut pandang Bapak. Kita bisa mengasihani dirinya. Satu per satu anggota keluarganya menghilang jika diajak sarapan. Tiga tahun lalu Ibu, dua tahun lalu Vino yang mulai berani kelayapan dari pagi ke pagi, dan sekarang Finna. Tahun depan sudah memasuki masanya Phiko menjadi seorang mahasiswa, dan ia ingin merantau supaya bisa dekat dengan kampus impiannya di Bandung. Tidak mungkin Phiko harus pulang-pergi Jakarta ke Bandung.
Phiko memandangi makan paginya dengan tatapan nanar. Mungkin dirinya harus mulai mengubah kedua kakaknya itu menjadi lebih baik, agar mereka tidak sering-sering meninggalkan Bapak seperti ini. Bagaimana bisa Phiko tenang di tempat rantauan, sementara Bapak nelangsa seorang diri di usianya yang mulai senja nanti.
“Hei, kenapa ngelamun?”
Kepala Phiko terangkat. Ia menggeleng dengan senyum tipis. Bapak mengusap kepala Phiko.
“Setelah lulus, Phiko mau lanjut kuliah?”
Phiko mengangguk.
“Di mana?”
“Bandung. Atau Jawa. Tapi pengennya ke Bandung, ITB.”
Bapak mengangguk-angguk. “Kalau di Jawa, mau ke mana?”
“UGM, Pak.”
“Bapak punya kenalan di Bandung, namanya Pak Surya. Temen lama Bapak. Kalau di Jawa, ada Mas Tino, saudara jauh kita. Kalau kamu keterima di salah satunya, Bapak bisa nitipin kamu ke mereka.”
“Aku mau ngekos, Pak,” elak Phiko. Ia mengira kalau Bapak ingin Phiko tinggal di rumah salah satu dari dua nama yang Bapak sebut tadi. “Gak mau ngerepotin orang.”
Senyum Bapak semakin mengembang. “Bapak tahu. Bapak hanya ingin menitipkan kamu supaya kamu ada tempat mengadu di sana. Bapak, kan, tidak tahu gimana kondisi kamu, kesehatan kamu, kalau kamu sakit siapa yang jaga.”
Bapak sudah selesai makannya. Ia beranjak menuju tempat cuci piring. Phiko pun begitu.
“Bapak ... gak marah?”
“Kenapa marah? Bapak seneng kamu punya impian besar, sampai merantau keluar kota.” Bapal tidak menolehkan kepala, tangannya sibuk mencuci piringnya.
“Bukan, bukan itu.”
Kali ini Bapak menghentikan kran air. Menghadapkan tubuhnya ke arah Phiko. “Lalu?”
“Bapak gak marah, Vino sering kelayapan dari pagi ke pagi, Finna juga sekarang ngikutin jejak Vino. Apa Bapak gak marah?”
Phiko sebetulnya berupaya menyampaikan kalau apa yang dilakukan kedua kakaknya adalah tindakan buruk bagi seorang pelajar, tapi lidahnya terlalu kelu. Bapak juga hanya tersenyum setelah mendengar penuturan Phiko.
“Mereka mungkin punya urusan masing-masing.” Bapak mengusap pipi Phiko. “Kamu fokus belajar saja, ya? Tidak perlu mikirin mereka berdua.”
Phiko mengangguk-angguk. Dari ucapan itu, Phiko rasa, Bapak kini menaruh harapan kepadanya untuk menjadi manusia baik.
“Phiko, maaf, Bapak tidak punya bekal untukmu hari ini. Sewaktu belanja bahan makanan kemarin, Bapak lupa menyisihkan untuk bekalmu,” sesal Bapak saat Phiko sedang memakai sepatu di halaman. Ia baru mengobrak-abrik tas dan dompetnya di kamar. Sayangnya ia tidak menemukan satu lembar pun uang di sana.
“Gak apa-apa, Pak. Phiko kuat jalan kaki ke sekolah.” Phiko berdiri, mencium punggung tangan Bapak.
“Maaf, Phiko.”
Phiko tersenyum. “Gak apa-apa. Tapi Bapak ada ongkos ke toko?”
Bapak menggeleng ragu. Ia benar-benar tidak menemukan uang di kamarnya. “Kemarin Bapak memberikan sebagian penghasilan untuk Finna. Dia mau pergi ke suatu tempat dan butuh ongkos.”
Ah, gadis itu! Kurang ajar, pergi ke hotel tapi memakai uang punya Bapak. Sekarang Bapak tidak punya uang. Tidak mungkin Bapak pergi ke pasar dengan jalan kaki. Phiko kembali melepaskan sepatunya. Berlalu masuk ke kamar. Lelaki itu mengambil beberapa uang lembar berwarna hijau dari kotak tabungannya. Phiko memberikannya kepada Bapak.
“Ongkos untuk Bapak. Nanti siang Bapak beli makan juga, ya?” titah Phiko.
“Loh, uang dari mana?”
“Tabungan Phiko buat masuk kuliah. Phiko gak punya ATM, jadi uangnya Phiko simpen di tempat rahasia, he-he.” Phiko terus mengulurkan uang tersebut.
Bapak memandang lembaran uang di tangan Phiko, lalu beralih menatap putra bungsunya.
“Kamu ... gak pernah jajan?”
“Udah dua tahun ini Phiko gak pernah jajan. Uang dari Bapak, semuanya dikumpulin buat nanti masuk kuliah. Tapi, untuk sekarang, uangku uang Bapak juga.”
Bapak enggan menerima uang itu. Phiko selama ini menahan lapar–jika tidak bekal–demi mengumpulkan uang. Phiko rela pulang-pergi dengan berjalan kaki. Bagaimana bisa Bapak tega mengambil hak milik putranya?
“Udah, Pak. Ambil aja. Ini uang Bapak juga.”
Bapak menarik sudut bibirnya. Terpaksa ia mengambil beberapa lembar uang hijau tersebut.
“Kita pergi sama-sama ya, Nak.”
Bapak dan Phiko berjalan beriringan menuju gapura depan. Sesekali Phiko menatap Bapak dari samping. Bapak sedikit pincang jalannya. Ini karena Bapak pernah mengalami kecelakaan lima tahun silam, ketika Bapak dan Ibu masih memiliki hubungan. Saat itu, Ibu menangis meraung-raung setelah Pak RT memberikan kabar tersebut. Dalam beberapa hari, Bapak tidak bisa jalan, Ibu telaten merawatnya. Phiko pikir, Ibu benar mencintai Bapak setulus hati. Karena Bapak tidak bisa berjalan, membuatnya tidak bisa bekerja pula. Terpaksalah saat itu Ibu yang menggantikan Bapak mencari nafkah. Ibu yang pergi ke pasar buku untuk menjaga toko milik Bapak. Dan, di sanalah Ibu bertemu seorang pria mapan juga kaya tengah mencari buku series Tritologi Buru karya Pramoedya Ananta Toer.
Mungkin, jika Bapak tidak kecelakaan hari itu, Ibu tak akan menjaga toko. Phiko menggelengkan kepala, berusaha menghilangkan segala andai-andai di kepalanya. Lagipula, hidup harus terus berjalan, semua kemungkinan itu tidak akan pernah terjadi.
∆∆∆
“Joki tugas ke si Bela berapa?”
“Empat puluh ribu.”
“Buset, mahalnya.”
“Jelas. Bikin makalah, kan.”
“Kamu serahin semua materi ke dia?”
Phiko menoleh ke arah dua teman kelasnya yang sedang bercakap-cakap mengenai joki tugas, sebuah jasa mengerjakan tugas orang lain. Jujur, ini pertama kalinya Phiko mendengar semacam itu.
Kalau bisa disimpulkan, Bela ini mengerjakan tugas orang lain kemudian dibayar. Sama seperti yang Phiko lakukan kepada Mahen dan Vino, bedanya ... entahlah. Selama tiga tahun ini, Phiko selalu mengerjakan tugas milik Vino secara cuma-cuma. Apakah seperti itu ada untungnya? Mungkin Phiko bisa ikut melakukannya. Hitung-hitung membantu Bapak dan menambah tabungan untuk masuk kuliah.
Waktu istirahat telah tiba, waktunya Phiko mengembalikan tiga buku milik anggota band gadungan ini. Phiko punya ide cemerlang.
“Jadi enam puluh ribu,” ucap Phiko di hadapan Deo, orang terdekat dari kelasnya.
Phiko itu anak IPS 3, Deo IPS 4, Tera IPS 1, sementara Mahen IPS 6 yang kelasnya berada di lantai dua. Repot sekali jika Phiko harus naik ke lantai dua.
“Lah, Vino bilang gak perlu bayar?” protes Deo. Lelaki itu berupaya merebut bukunya, tapi Phiko dengan cepat menjauhkan.
Sebelah tangan Phiko yang bebas terkepal kuat. Jadi, kakaknya yang sudah membuat band gadungan ini melimpahkan tugas padanya?
“Vino itu kakak gue. Jelas dia gak bayar.”
“Halah, Bang Fariz juga tahun lalu gak bayar.” Deo mengerlingkan bola matanya.
Tahun lalu memang ada kakak kelas yang kerap meminta Phiko mengerjakan tugasnya. Ini penyebab Phiko mengetahui materi-materi di tingkatan kelas 12 lebih dulu daripada teman-temannya. Phiko tidak ingin dapat masalah yang lebih besar, jadinya ia hanya menerima dan mengerjakannya. Kalau tidak, lelaki bernama Fariz itu pasti akan memukulnya. Phiko tidak ingin menjadi pemantik untuk api seperti Fariz.
“Jadi gimana? Mau dibayar gak? Kalau nggak, bukunya gue lempar ke sungai depan.”
“Rese lo!” Deo mendorong bahu Phiko dengan sangat kuat. Phiko yang tidak menduga sekaligus tak mempersiapkan ancang-ancang langsung terpelanting ke belakang. Terlebih tubuh Phiko itu cukup kecil, lebih kecil dari Deo yang sering berolahraga.
Deo memanfaatkan kesempatan mengambil buku miliknya dan kedua temannya yang terlempar dari tangan Phiko. Phiko dipermalukan semua orang yang berada di sepanjang koridor, belum lagi yang berada di dalam kelas. Mereka semua menertawakan Phiko.
“Makannya, jangan macem-macem sama dia.”
Suara itu terdengar saat Phiko berusaha bangkit. Phiko mengenali suara itu, seorang lelaki yang tak ia temui secara tatap muka sedari kemarin malam.
“Lo gapapa?” Vino menyambar tangan Phiko. Adiknya itu justru langsung menghempaskan secara kasar. Tanpa pamit, Phiko bahkan langsung berlari menuju perpustakaan, meninggalkan orang-orang yang makin mengerubunginya.
“Didik adik lo, biar punya sopan santun,” singgung Deo disertai senyum menyeringai.
“Berisik lo!”
Kalau ingin menangis, Phiko sudah menangis sejak menyadari ibunya tak lagi tinggal di rumah. Malam itu, Ibu dan Bapak pertama kali berinteraksi lagi setelah saling berdiam diri selama berbulan-bulan akibat pertengkaran hebat. Namun, esok harinya, ibu tidak terlihat lagi di rumah. Bapak bilang, Ibu pergi mengejar kebahagiaannya. Bapak sempat memberi tawaran kepada Phiko, jika ingin ikut mengejar kebahagiaan Ibu juga. Namun, Phiko memilih tidak, karena dua kakaknya juga tidak ingin ikut dengan Ibu.
Saat itu, Vino dan Finna yang duluan tahu tentang kenyataan, bahwa Ibu mereka berselingkuh. Vino dan Finna kerap membantu Ibu di pasar, jelas mereka sering pula melihat pria pengincar buku sastrawan Pramoedya itu datang ke toko, alasan lainnya untuk berbincang dengan Ibu. Sementara Phiko berdiam di rumah untuk menjaga Bapak yang masih belum bisa berjalan. Anehnya Bapak dan kedua kakaknya malah merahasiakan merahasiakan perselingkuhan Ibu dari Phiko. Itu yang membuat Phiko sedikit benci kepada kedua kakaknya.
Kini, untuk pertama kalinya, Phiko menangis di kamar mandi. Ia mengurungkan niat ke perpustakaan karena di sana sedang banyak orang. Dan sekarang, Phiko berada di salah satu bilik kamar mandi. Menangis terseguk-seguk, berharap tidak ada satu pun orang yang memasuki kamar mandi putra ini.
Bukan perlakuan Deo yang membuat Phiko menangis, tapi bayangan keharmonisan bersama keluarganya dahulu kala. Kedatangan Vino yang mengulurkan tangan untuk menolong barusan, membuatnya teringat betapa dekatnya ia dengan Vino. Dahulu, Phiko sering bermain dengan Vino, entah itu sepeda, perang-perangan, hingga bermain lumpur di sawah milik warga. Sementara Finna cenderung berdiam diri di rumah, anak itu malas sekali harus berpanas-panasan, sampai Ibu dan Bapak memaksa putra kembarnya untuk mengajak Finna juga.
Hubungan triplets merenggang setelah Ibu pergi dari rumah. Lebih tepatnya, ketika mereka mulai masuk SMA. Apalagi mengetahui Vino satu-satunya yang masuk jurusan IPA, membuat Phiko sangat tidak terima. Masalahnya Vino sering kelayapan, tidak cocok menjadi anak IPA yang bagi Phiko harus menjadi siswa baik-baik. Jikalau Finna, gadis itu sering mengurung diri di kamar sejak kamar luas mereka dibagi menjadi dua. Jadi, tidak ada salahnya jika Phiko memutuskan menjauh dan memiliki dunia sendiri, belajar adalah salah satu caranya meluapkan kesedihan yang harus dipendam.
“Phi? Lo di sini?”
Phiko terkejut. Ia tidak menyadari ada seseorang yang masuk. Lelaki itu mendorong-dorong pintu dari dua bilik kosong. Hingga langkah Vino terhenti pada bilik Phiko di dalamnya. Phiko bisa melihat bayangan dari kaki jenjang itu.
“Keluar, Phi. Gak baik diem terus di kamar mandi. Ada setannya loh.” Vino memutar gagang pintu beberapa kali, tapi tak mau dibuka.
“Gue gak akan ngehakimin lo. Gue cuman meringatin, kalau sama mereka jangan macem-ma—”
“Gak usah sok peduli sama gue. Pergi lo!”
Kali ini Vino terdiam mendapat bentakan dari adiknya. Phiko menghapus jejak air matanya. Sang kakak tak juga melangkah pergi. Gertakannya ternyata tak begitu berpengaruh.
“Pergi. Pergi ke dunia lo yang kotor itu. Pergi!”
Tidak peduli Vino akan tersinggung, tapi Phiko butuh kesendirian sekarang juga. Ia sedang tak ingin berhadapan dengan brandalan yang selalu kelayapan tengah malam hingga tak tahu arah pulang ke rumah, apalagi melihat tampilannya acak-acakan, tidak mencerminkan anak IPA.
Cukup lama Vino terdiam, sampai akhirnya ia mulai melangkah pergi. Phiko mengembuskan napas panjang. Ia tak akan tertipu. Lebih baik Phiko diam di sini untuk beberapa saat lagi, daripada keluar tahunya Vino masih ada di sana dan bersiap menyerang.
∆∆∆
Phiko akan selalu menjadi anak yang pertama datang, sekaligus yang terakhir keluar kelas. Lebih tepatnya, ia akan menunggu Finna keluar lebih dulu daripada dirinya. Tidak ada alasan spesifik, Phiko hanya malas bertemu dengan kakak kembarnya
Saat kelas sudah sepi dan Phiko hendak meninggalkan kelas, Mahen dan dua kacungnya satang menghadang. Mereka tersenyum menyeringai. Phiko tidak bisa mencari celah ke mana dirinya bisa kabur.
“Lo minta duit?” tanya Mahen langsung pada intinya.
Phiko tidak menggeleng, tak juga mengangguk. Phiko menatap wajah Mahen lamat-lamat, sesekali melirik Deo dan Tera yang ada di samping Mahen.
Mahen berdecih. Tangan kanannya mengambil sesuatu dari saku, beberapa lembar uang berwarna biru. Uang tersebut langsung dilempar tepat ke wajah Phiko.
“Artinya, kakak lo boleh kita mainin.”
Phiko menatap lembar-lembar uang yang kini berada di dekat kakinya.
“Tapi, kalau gak mau.” Mahen mendekat, mencengkeram rahang Phiko kuat-kuat. “Lo bisa memohon sambil berlutut di depan gue.”
Mahen melepaskan cengkeramannya, memberikan Phiko kesempatan. Phiko berpikir sejenak. Di ujung pandangannya, ia melihat Finna yang berjalan di koridor kelas IPA, kebetulan kelasnya dan kelas Vino memang berseberangan, hanya berbatas lapang basket. Finna, bukankah ia kerap pergi ke hotel untuk melakukan sesuatu? Entah apa itu. Tapi, bukankah tidak masalah jika ia berhadapan dengan Mahen? Lagipula, Finna menyukaj Mahen, pasti Finna akan senang.
Phiko menundukkan tubuhnya, mengambil uang-uang yang bertebaran di sekitarnya. Mahen dan keduanya saling melempar pandang. Tanpa pamit, Phiko melangkah meninggalkan Mahen dan dua keroconya. Uang ini bisa Phiko gunakan membeli makanan enak untuk Bapak, sisanya mungkin bisa menambah tabungan Phiko yang tadi pagi baru diambil.
Lelaki itu melipir ke apotik dekat sekolah untuk membeli beberapa obat Bapak yang sudah habis. Lumayan ternyata. Dengan mengerjakan tugas orang lain, Phiko bisa mendapatkan uang sebanyak ini. Sepertinya Phiko harus berguru kepada Bela yang temannya sempat bicarakan itu. Selesai dengan obat, saatnya Phiko berjalan menuju toko Bapak. Seperti biasa, melalui gang kecil.
“PHIKO!”
Teriakan itu terdengar saat Phiko berada di persimpangan jalan, tepatnya tempat di mana Phiko menyiduk Mahen yang mengganggu gadis sekolah lain. Selain itu, Phiko juga sangat mengenali teriakan kali ini.
“Phiko, Phiko tolong aku, Phiko.”
Phiko mulai memberanikan diri menoleh. Ia tersentak pelan. Kakak perempuannya ... sedang ditiduri oleh Mahen. Untungnya mereka masih sama-sama pakai baju dan Finna tidak menghadapkan tubuhnya ke arah langit. Mata Phiko terbelalak, tapi dirinya tak bisa berkutik juga.
“Hey, hey. Adikmu itu lebih memilih menerima uang seratus lima puluh ribu daripada menyelamatkanmu. Jangan minta tolong ke dia, Sayang.” Mahen mengangkat rahang Finna tinggi-tinggi, bahkan Finna mulai merasa lehernya seperti akan diputuskan.
“Phi–Phiko, tolong. Sakit, Phiko, punggungku sakit.” Finna mulai tampak menangis. Pipinya basah dan matanya merah, Phiko bisa lihat dengan jelas dari sini, meski jarak mereka sejauh lima meter.
Kaki kanan Phiko hendak melangkah mendekat. Melihat reaksinya, sepertinya Finna ... tidak benar-benar menjadi manusia kotor. Namun, Phiko mendadak mengurungkan niatnya saat bayangan kedekatan Vino dan Finna muncul di kepalanya. Phiko kembali melangkah mundur. Dalam hitungan ketiga, lelaki itu hilang dari pandangan Phina.
“PHIKOO!!”
“Sudah kubilang, dia gak peduli sama kamu.”
Phiko menutup kedua telinganya supaya tidak mendengar lolongan teriakan dan tangisan itu. Ia berkali-kali menggeleng kuat. Finna jahat, Finna tidak peduli padanya, Finna lebih memilih Vino dan melupakan Phiko begitu saja. Kalimat itu yang terus Phiko lantunkan dalam hatinya supaya kaki ini tidak kembali ke tempat barusan.
∆∆∆
“Aku yang pertama datang, kan, Pak?”
Bapak mengangguk beberapa kali, lalu mengusap pucuk kepala putra bungsunya. Terus terang dirinya sangat senang dengan kehadiran Phiko sore hari ini. Bapak ingin menunjukkan beberapa masukan buku yang baru datang pagi tadi. Masih disegel.
“Ini buku baru, bukan bekas. Masih pakai plastik. Beberapa di antaranya ada buku pelajaran yang mungkin bisa kamu ambil,” ucap Bapak sembari menyodorkan kardus besar ke hadapan Phiko.
“Dunia Shopie dan beberapa buku yang Bapak kasih aja belum sempet dibuka, Pak.”
Betul apa kata Bapak. Di dalamnya ada buku baru yang masih dibungkus plastik wrap. Jika dihitung, ada sebanyak 28 buku dari macam-macam mata pelajaran.
“Doakan agar toko ini banyak pengunjungnya, supaya Bapak bisa melihatmu wisuda nanti.”
Phiko hanya tersenyum menanggapi.
“Eh, iya, Pak. Phiko boleh nanya sesuatu?”
“Tentu, Nak.” Bapak meninggalkan kegiatannya memberesi rak, bergabung duduk di lantai beralaskan karpet. “Apa?”
“Kalau boleh tau ... Vino sama Finna punya hutang ke Bapak?”
Bapak memiringkan kepalanya. Cukup mengejutkan sekali Phiko ingin tahu tentang kakaknya, terutama perihal hutang.
“Ada, sih. Vino pernah minjem lima ratus ribu ke Bapak, Finna juga dua ratus ribu. Tapi, Bapak tidak pernah menganggap itu hutang. Bapak pikir, hari itu mereka memang sedang butuh dana darurat. Jadi, Bapak kasih saja. Kenapa kamu tiba-tiba tanya?”
Phiko mengulum bibir. Ia menggeleng cepat. Ternyata dugaannya benar. Vino dan Finna kerap memanfaatkan uang Bapak, sampai Bapak tidak memegang uang sama sekali. Entahlah kapan proses peminjaman uang itu terjadi. Yang pasti, Phiko ingin menuntut kedua kakaknya agar mengembalikan uang Bapak dengan cepat.
Tak lama kemudian, beberapa pengunjung mulai berdatangan. Sudah memasuki waktu bubar sekolah dan kantor juga. Phiko meninggalkan kardus di depannya. Ia mulai membantu Bapak menghadapi pelanggan. Bapak bilang, meskipun toko ini sederhana, tapi sikap yang harus mereka tunjukkan tidak boleh main-main. Bagaimana pun, dari toko ini keluarga Bapak bisa makan dan istirahat di dalam rumah yang nyaman.
“Memang, Bapak punya anak berapa? Saya rasa, kemarin yang jaganya cewek.”
Phiko melirik seorang lelaki dengan baju kemeja kotak-kotak yang kini berada di hadapan Bapak. Ia mengangkat dua buku di tangannya sambil membaca cover belakang.
“Tiga. Dua lelaki, satu gadis. Mereka lahir barengan.”
“Oh, ya? Triplets?”
Bapak mengangguk. “Saya bangga punya anak seperti mereka. Si sulung pekerja keras, si gadis paling cantik. Dan dia ini.” Bapak menoleh menatap Phiko yang pura-pura tidak melihat. “Dia yang paling pintar.”
Phiko mendengkus pelan mendengarnya. Bisa-bisanya Bapak bangga kepada anak-anaknya yang sudah menjadi kotor begitu. Bahkan Finna sendiri sangat pantas mendapatkan seperti apa yang Mahen lakukan. Bukankah itu pekerjaannya? Untuk apa Finna menangis dan meronta-ronta?
Waktu hampir menunjukkan pukul lima. Pasar buku juga mulai sepi. Orang-orang memilih pulang dan mempersiapkan makan malam daripada berjalan-jalan di pasar berbau kertas lusuh. Phiko dan Bapak menaiki angkutan umum bersama. Ini pertama kalinya bagi Phiko setelah bertahun-tahun mengasingkan diri dari Bapak. Saat sampai di depan gapura, Phiko mengajak Bapak membeli nasi goreng yang paling enak sekampung ini.
“Belikan juga untuk kakak-kakakmu, boleh?” kata Bapak saat itu.
Phiko hampir saja menggeleng. Bapak tidak tahu kalau anak-anaknya ini bermasalah. Namun, pada akhirnya ia juga mengiyakan permintaan Bapak. Bapak tidak curiga dari mana Phiko mendapatkannya, sebab Phiko sudah lebih dulu beralasan bahwa uang ini hasil hadiah atas lomba pekan lalu. Phiko memang hobi mengikuti lomba akademik tanpa seizin bapaknya.
Suara motor mengalihkan perhatian Bapak dan Phiko yang sedang membuka pintu rumah. Kala Bapak menoleh sekaligus terheran karena motor Vino terdengar di sore hari, Bapak sangat terkejut melihat keadaan dua anaknya.
“Astagfirullah, Finna, Vino. Kalian kenapa?”
Vino datang dalam keadaan memar di wajah, seragam putihnya juga kotor. Lebih parahnya lagi Finna, ujung bibirnya sobek, belum lagi rok abunya, rambutnya hitam legamnya tak lagi tertata rapi. Mereka berdua dalam kondisi mengkhawatirkan.
“Sakit, Pak,” lirih Finna.
“Ya Allah. Sini, Bapak bantu, tahan, Nak. Tahan sakitnya.” Bapak meraih tangan Finna. Dengan sekuat tenaga ia membopong Finna menuju kamarnya. Saat itu juga Finna menangis lirih.
Sementara Phiko, ia mematung sambil menatap Vino dengan tajam, begitu pun Vino. Seolah mereka sedang bertengkar dalam pandangannya. Beberapa saat setelahnya, Bapak berteriak dari kamar Finna, meminta bantuan. Sungguh, jika bisa dibandingkan, Vino itu lebih gesit daripada Phiko. Vino bergegas memarkirkan motor dan masuk ke dalam kamar adiknya.
“Tolong ambilkan air hangat dan handuk kecil,” titah Bapak yang tengah memilihkan baju di lemari Finna. Vino mengangguk dan segera menurut.
“Bapak, keluar.”
Bapak cukup terkejut mendengar perintah Finna. Meskipun lembut, tapi ini kali pertama Finna berkata sedingin itu. Bapak memberikan baju rumah pilihannya, ia terdiam cukup lama. Pikiran Bapak berkecamuk. Siapa ... yang sudah melecehkan putrinya.
Kepala Finna akhirnya terangkat pelan. “Keluar, Pak. Aku ... mau ganti baju. Aku mau sendiri dulu.”
Bapak mengangguk lemah. Ia hendak mengusap pipi Finna yang sedikit bengkak, tapi Finna langsung menepisnya. Hal ini menambah kecurigaan Bapak. Pria itu menurut, membiarkan putrinya sendirian dalam pintu tertutup, tapi Bapak akan menunggu di sini.
“Kenapa, Pak?” Vino dengan baskom di tangannya datang menghampiri.
“Adikmu ingin sendiri.” Bapak bersandar pada dahan pintu. Tubuhnya perlahan turun hingga terduduk di lantai. Vino langsung menyimpan baskom tersebut sembarangan, khawatir Bapak akan kenapa-napa. Bapak pasti syok melihat putra-putrinya pulang dalam keadaan berantakan.
“Pak, istirahat di kamar, yuk? Finna biar Vino yang urus. Bapak gak perlu khawatir.”
“Apa yang terjadi kepada kalian? Kenapa Finna takut lihat Bapak?”
Vino terdiam tak bergeming. Mata Bapak telah menggenang cairan bening. Sudah pasti Bapak mencurigai ada yang aneh sejak kedatangannya. Namun, perhatian Vino seketika teralihkan saat Phiko melewatinya begitu saja.
Phiko masuk ke dalam kamar. Sebelum Phiko menutup pintu, Vino lebih cepat menahan dengan lutut kanannya. Seketika Phiko mengerlingkan kedua mata. Membiarkan kakaknya masuk begitu saja, Phiko tak punya kuasa, dan Phiko siap menghadapi kakaknya sekarang, jika Bapak tidak mendengar.
“Lo apa-apaan nyerahin Finna ke si Mahen?”
“Finna suka sama Mahen.” Phiko bertingkah tak peduli. Ia duduk di meja belajarnya.
Vino membanting tas dari pundaknya dengan cepat. Lelaki itu juga memutar kursi belajar yang diduduki Phiko. “Lo harusnya mikir! Itu nyawa kakak lo dipertaruhkan!”
“Lo gak mikirin nyawa gue, Vin?”
“Lo tuh kenapa, sih? Selama ini, lo bertingkah seakan kita gak peduli sama lo. Padahal, selama ini lo sendiri yang ngejauh dan mentingin diri sendiri.”
“Kalian. Sudah jangan bertengkar!”
Kedua kakak beradik itu tidak mempedulikan peringatan bapaknya.
“Lo pikir aja. Selama ini lo ke mana? Siapa yang ngerawat Bapak selama sakitnya? Siapa yang ngurus Bapak selama ini? Lo ke mana? Lo bisanya cuman kelayapan gak jelas dan gak tau caranya tidur di rumah, gak tau caranya sarapan bareng kayak yang disukai Bapak!”
Akhirnya selama bertahun-tahun Phiko menjadi manusia irit bicara, hari ini Phiko meluapkan segala isi hatinya yang terpendam sejak lama. Rasanya pening sekali. Seperti seluruh energinya terkuras habis.
“Gue kerja, Phiko! Gue keluar bukan buat main-main!” Pada akhirnya emosi Vino ikut meluap, hingga dirinya berani mencengkeram kerah seragam Phiko. Tak peduli tubuhnya kini masih merasakan nyeri.
“Kerja lo balapan, kan? Ngerugiin. Lo pantes dapet itu semua. Finna juga pantes dilecehin Mahen. Bukannya dia LC?”
“PHIKO!” Vino membentak sembari ancang-ancang hendak melayangkan bogem mentah. Namun, sesuatu yang ambruk di belakangnya mengalihkan perhatian.
“Bapak.” Nada bicara Vino melemah. Ia melepaskan cengkeraman.
Mata Phiko terbelalak melihat Bapak terkapar di lantai sambil memegangi dada bagian kirinya. Bapak terkena serangan jantung.
“Pak! Pak! Bertahan. Finna! Finna! Tolong, Bapak kena serangan lagi!”
Gadis itu memburu keluar dengan baju yang sudah diganti. Seketika ia melupakan traumanya, melupakan kejadian di gang setelah pulang sekolah tadi. Melihat kondisi Bapak di lantai, otaknya kembali berfungsi dengan baik. Lebih tepatnya memaksa akal sehatnya kembali bekerja.
Sesuai pesan Bapak jika ia kembali terkena serangan. Anak-anak akan panik, tidak mungkin bagi mereka memanggil ambulans. Maka, Bapak meminta Finna untuk pergi ke rumah Pak RT meminta bantuan. Bapak juga meminta Vino melakukan pertolongan pertama, menatap mata Bapak, menyuruh Bapak supaya tenang, selagi menunggu Finna kembali bersama Pak RT. Sementara Phiko. Bapak sudah menduga Phiko akan terdiam membeku sembari memandangi dirinya.
Bapak selalu menganggap Phiko masih kecil.